Share

Bab 3 Lucian Grey

'Kenapa ... belum sampai-sampai?' batin Elea dengan kening berkerut.

Sudah sekitar dua menit berlalu sejak Elea meninggalkan ruang pesta dengan Eric. Kakinya sudah mulai sakit dan tubuhnya pun mulai terasa panas, tapi entah kenapa setelah melalui lorong yang begitu panjang, dirinya masih belum mencapai tempat tujuan. Namun, karena tidak enak bila menggerutu kepada Eric hanya karena hal kecil seperti ini, Elea pun hanya terdiam.

Beruntung tidak lama setelah dirinya memikirkan hal tersebut, mereka mencapai sebuah ruangan di ujung lorong dan Eric pun menghentikan langkahnya. Saat melihat pria paruh baya itu membuka pintu ruangan dengan kartu khusus. 'Wah, memang orang-orang kalangan atas berbeda. Bahkan hotel saja sudah memberikan mereka kartu spesial,' batin Elea dengan kagum, mencoba mempertahankan pandangannya yang anehnya mulai sulit fokus.

"Silakan, Elea," undang Eric dengan sebuah senyuman, mempersilakan gadis tersebut untuk masuk terlebih dahulu.

Elea pun memaksakan sebuah senyuman dan melangkah masuk. Pandangan gadis itu menyapu seisi ruangan, mendapati sebuah meja dengan kudapan dan minuman terletak di tengah ruangan, dikelilingi sofa empuk berbahan kulit yang menunjukkan tempat itu telah disiapkan khusus untuk menjamu tamu. Kemudian, ada dua pintu menuju kamar lain yang tidak Elea ketahui berujung ke mana.

Belum ada dua langkah masuk ke dalam ruangan, Elea mendengar suara klik di belakangnya. Gadis itu mengerutkan kening, lalu menoleh untuk melihat ke belakang.

"Pak—"

Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Elea terkejut dengan sosok Eric yang telah berada begitu dekat dengannya. Hal tersebut membuat gadis itu refleks melangkah mundur. Kepanikan dan fokus yang sedikit berantakan membuat Elea menginjak ujung gaun panjangnya, dan dia pun terjatuh ke sofa dengan keras.

"Ah!"

"Ada apa, Elea?" tanya Eric sembari mengurung Elea dengan dua lengan tepat di sisi kepala gadis tersebut. "Kenapa kamu lari, hmm?"

Dengan wajah diselimuti kepanikan, Elea berkata setengah berseru, "Pak Eric, tolong jaga sikap Bapak!" Gadis itu berusaha berdiri cepat dan menjauh, tapi dia merasakan sebuah tangan menariknya dan membanting tubuhnya kembali ke sofa. Saat melihat wajah Eric tepat di hadapan dengan tangan pria itu menggerayangi pinggangnya, Elea berteriak, "Lepaskan aku! Apa yang kamu pikir kamu lakukan!? Lepas!"

Melihat wajah gadis itu terlihat takut dan marah di waktu yang bersamaan, Eric merasa dirinya semakin tergoda. Pria tua itu terkekeh dan wajah mesumnya dihiasi sebuah senyuman lebar.

Dengan tangan keriputnya, pria tua itu mengelus wajah Elea, membuat seluruh tubuh gadis itu merinding. "Elea, Sayang. Jangan nakal, oke? Jangan pura-pura lagi dan ayo kita bersenang-senang," ujar Eric sembari mulai menyibakkan rok gaun Elea. "Jelas semua orang yang datang ke pesta malam ini adalah mereka yang ingin mendapatkan kesempatan dengan menjual aset berharga mereka," tutur pria tersebut dengan mata terbakar nafsu kala melihat paha mulus gadis di hadapannya, "tubuh mereka."

Mendengar hal tersebut, Elea mematung. 'Pesta malam ini ... khusus untuk mereka yang ... ingin menjual tubuh?' Pikiran gadis itu pun melambung kepada sosok Will, mempertanyakan apa pria itu tahu mengenai hal tersebut. Namun, sebelum Elea bisa berpikir jelas tentang keterlibatan Will dalam hal ini, dia merasakan tangan Eric menyentuh kulitnya. "Lepas! Aku bukan kemari untuk menjual tubuhku, dasar pria tua mesum!" makinya sembari melayangkan tangannya dan berujung mencakar wajah Eric.

"Argh! Gadis sialan!" geram Eric ketika merasakan cakaran Elea pada wajahnya. Marah, dengan kasar pria itu mencekik gadis di hadapan dan menekan tubuh Elea ke sofa. Alhasil, kepala gadis itu terbentur tanganan sofa dengan keras dan membuat pandangan Elea berkunang-kunang. "Diam! Jangan harap aku akan melepaskanmu malam ini!"

Elea berniat untuk kembali melawan, tapi entah kenapa dia merasa tenaganya menghilang. Ditambah dengan pandangan yang semakin membuyar akibat benturan pada kepalanya, gadis itu semakin tidak bisa melawan penyerang mesum yang berusaha untuk menanggalkan pakaiannya itu!

"Tolong ...," ujar Elea dengan lemah. Saat tubuhnya menggeliat di luar kendali, Elea yakin bahwa ada yang salah dengan dirinya. Mengingat anggur yang dia teguk sebagai satu-satunya hal yang dia konsumsi malam ini, gadis itu yakin ada yang salah dengan minuman tersebut. "Kak Will ...!" panggilnya dengan suara tersedak tangisan. "Kak Will! Tolong aku ...."

Mendengar suara lemah Elea, Eric terkekeh. "Astaga, apa kamu kira Kak Will-mu itu akan datang?" Pria tua itu melanjutkan, "Dia sendiri yang menghubungiku untuk menjualmu kepadaku di malam lalu, tidak mungkin dia akan menghentikan hal ini! Ha ha ha!"

Ucapan Eric terasa bagai petir bagi Elea. Gadis itu merasa hatinya tertusuk ratusan belati, dan air mata pun mengalir menuruni wajahnya. 'Tidak mungkin ...,' batinnya pilu. Tidak ingin percaya. Namun, ketika melihat wajah Eric semakin mendekat padanya, Elea berteriak kencang sembari menutup mata, "Tidak!!"

BRAK!

Suara pintu yang terbanting terbuka terdengar. Hal tersebut diikuti dengan suara pukulan yang diiringi retakan tulang memilukan.

"Argh!"

Dentuman dari tubuh yang terjatuh ke lantai dan geraman kesakitan bisa terdengar bergema di ruangan tersebut, dan Elea pun membuka matanya. Gadis itu melihat satu sosok berdiri tepat di belakang sofa tempat dirinya terbaring. Ekspresi yang terlukis di wajah pria itu terlihat mengerikan dan dingin, seakan sangat terganggu dengan apa yang terjadi.

Mendadak, kepala pria itu tertunduk, mempertemukan netra hijau indahnya yang begitu dingin dengan netra hitam milik Elea. Mata gadis itu langsung membesar, mengenali pria tersebut. "Kamu—"

"Baj*ngan!" teriak Eric dengan wajah marah, tubuhnya sedikit terhuyung ketika berdiri. "Beraninya kamu menendang wajahku!" geramnya dengan darah mengalir keluar dari lubang hidungnya, membuatnya terlihat menyedihkan. "Apa kamu tidak tahu siapa aku?!"

Dengan dua tangan masuk ke dalam kantung celananya, pria berbalut kemeja putih dengan dua kancing teratas terbuka itu memiringkan kepalanya. "Apa aku perlu tahu?" balasnya dengan suara dalam, terlihat acuh tak acuh dengan ucapan lawan bicaranya.

"Aku adalah Eric Tan! Produser ternama di Capitol!" teriak Eric sembari menuding pria tampan bernetra hijau itu. "Akan kupastikan kamu menyesali tindakanmu malam ini!"

"Aku? Menyesali tindakanku?" Pria bernetra hijau itu menutup setengah wajahnya dengan tangan, menyembunyikan sebuah seringai mengejek yang terarah kepada sosok Eric. "Yakin bukan dirimu yang akan menyesal telah mengganggu tidurku malam ini, Eric?"

Melihat sikap pria di hadapannya, Eric mengerutkan keningnya. Jujur, dia tidak percaya ada orang dengan kedudukan lebih tinggi darinya malam ini di pesta, tapi dia juga tidak sebodoh itu untuk mencoba-coba mencari masalah tanpa tahu jelas identitas lawannya, terlebih ketika cara pandang pria tersebut terasa familier untuknya.

Mendadak, mata Eric membelalak. 'Netra hijau! Mungkinkah—' Dia langsung menggeser maniknya untuk melihat tangan kanan pria di hadapan, dan tubuhnya pun bergetar kala mendapati keberadaan tato ular yang melingkari pergelangan tangan pria tersebut. "K-kamu ...," Eric menelan ludah, "Lucian Grey?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status