Share

2. Bangun dan sedih

Aku tersadar saat Rihanna sepupuku memanggil diri ini dengan lembut. Dia anak bibiku dari kampung yang sedang bersekolah di kota, di tingkat SMA, aku mengajaknya tinggal di rumah agar dia tidak perlu membayar kos dan hidup tanpa pengawasan.

"Mbak...." Dia mengguncang bahuku dengan lembut sehingga aku tersadar sedikit mengerjap, berat rasanya kepala ini untuk sekedar memaksa kelopak mata terbuka aku benar-benar enggak untuk melihat dunia dan menatap kembali kenyataan yang baru saja memukul mentalku.

Kita sudah berapa lama aku pingsan tapi suasana rumah sudah senyap.

"Di mana Mas Nabil?"

"Sudah pulang."

"Sudah pulang?" Suaraku seolah tidak mau keluar dari tenggorokan mendengar kata bahwa 'dia sudah pulang.'

Ada tempat lain untuk dia pulang dan bukan lagi rumahku, ada rasa sakit yang luar biasa ketika tahu bahwa hatiku bukan lagi pelabuhan untuk dia mendamaikan diri dari peliknya hari-hari yang ia lalui. Sekarang ada cinta dan wanita baru yang layak ia sebut 'tempat pulang' dan itu kenyataan yang benar-benar tidak bisa kuterima.

"Jadi dia pulang mengantar wanita itu?"

"Iya, dia bilang dia harus mengantarnya karena besok anak mbak Sofia mau sekolah."

Wah, penting sekali dia mengantar istrinya tepat waktu agar bisa cepat beristirahat sehingga bangun lebih pagi untuk meniup ke anaknya yang bersekolah. Apa kabar dengan diriku yang selama ini selalu bangun sebelum dia bangun dan dia tidak pernah mengapresiasi atau mengkhawatirkan diriku meski anakku juga bersekolah.

Kemanapun Kami pergi dia tidak pernah mengkhawatirkan jadwal pulang demi agar diriku bisa beristirahat agar tidak terbangun dalam keadaan lemas dan lesu di pagi hari. Mungkin dia terlalu nyaman karena aku adalah ibu rumah tangga yang disiplin dan tepat waktu tidak kusangka pengabdianku adalah sebuah kepolosan yang ia manfaatkan sebagai bentuk kebodohan dan dia begitu yakin kalau aku akan terus mengabdi padanya tidak peduli apapun pilihannya.

Wah, aku memang naif, bodoh yang dianggapnya sangat tolol tanpa obat, ya Tuhan sakit sekali hatiku hingga air mata ini meleleh lagi.

Rihanna yang melihat diriku menangis langsung mensejajarkan dirinya dengan diriku, iya menggenggam tangan diriku dengan tatapan sedih.

"Mbak jangan nangis dong, pasti ada solusi dan cara agar semua masalah ini selesai."

"Aku tidak melihat solusinya jika safia sudah lancang mengambil Mas Nabil dan menikahinya. Aku bisa apa kalau mereka sudah menikah," ucapku dengan suara tertahan karena tidak ingin anak-anak mendengarku, kamar kami hanya dibatas oleh tembok dan itu mungkin saja kedengaran sehingga membangunkan mereka.

"Jika Mbak bersikeras dan bersikap tegas aku yakin Mas Nabil pasti akan memikirkan ulang masalah ini," bisiknya.

"Jadi aku akan terus buat masalah dan terus cari gara-gara? itu bukan gayaku, aku tidak melihat solusi selain sebuah perceraian."

"Kalau mbak mengalah begitu saja, artinya mereka menang dong. Kok bodoh banget sih, minimal kasih dong pelajaran, aku aja yang bukan istrinya gregetan."

"Aku bisa apa?"

Sungguh, dalam pernyataan barusan Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku tidak bisa berpikir saking pusing dalam sok punya diri ini menerima kenyataan bahwa suamiku tiba-tiba membawa pulang istri baru. Haruskah aku pergi ke rumah ibu mertua dan memprotes kebijaksanaan mereka.

Meski aku menangis darah mungkin mereka tidak akan tersentuh, karena kalau memang mereka memikirkan tentang diriku, tentu mereka juga akan mempertimbangkan pendapatku sebelum menjodohkan suamiku dengan wanita itu. Ataukah aku harus memprotes kepada orang yang memegang tahta tertinggi di dalam keluarganya yakni Neneknya?! Wanita tidak berprasaan itu kalau sudah mengambil keputusan dia tidak bisa digoyahkan. Dan aku hanya akan seperti manusia konyol yang pergi memprotes tanpa mendapatkan hasil, ya, konyol sekali.

"Aku yakin ini adalah keputusan neneknya. Aku yakin wanita itu tidak mau Sofia hidup sia-sia tanpa ada yang menjaminnya. Satu-satunya satu-satunya orang yang bisa menjamin keselamatan dan keuangannya hanya suamiku."

Tapi suamiku tidaklah benar-benar kaya, beraninya lelaki itu memutuskan untuk menikah kembali tanpa mempertimbangkan bagaimana sulitnya kami mencukupkan ekonomi keluarga. Beraninya dia!

"Lalu apa yang akan Mbak lakukan esok hari?"

"Aku... tolong bantu aku agar anak-anak tidak tahu dulu, Aku tidak ingin dan belum siap menerima tangisan atau keluhan mereka untuk sementara waktu karena aku sendiri belum bisa menata hatiku."

"Baik Mbak. Tapi bagaimana kalau Mas Nabil pulang dan terjadi pertengkaran lagi pasti mereka akan mendengarnya...."

"Usahakan ajak mereka menjauh begitu aku memberimu kode ketika aku ingin bicara dengan mas nabil, aku mohon..."

Sekarang waktu sudah bergulir di jam 11 malam, Suamiku belum kunjung pulang di dalam benak ini aku mulai berhalusinasi dan membayangkan kalau dia sedang tidur dengan istri barunya. Bercinta dengan saling melumat bibir, berpelukan dan saling melepaskan pakaian satu persatu hingga tenggelam dalam madu asmara yang begitu nikmat. Anganku bukan angan-angan porno yang menjijikan tapi entah kenapa itu berkelebat di dalam benakku dan hampir membuatku gila.

"Arrrgggh!" Aku membanting bantal dan meremas rambutku sendiri. Aku mengambil handuk lalu menggigitnya, menyumpal mulutku dan mencoba melampiaskan isi hatiku dengan cara berteriak agar anak-anak tidak mendengarnya. Aku menangis, lalu terdiam menatap pantulan diriku dari kaca di mana Aku terlihat bodoh sekali tapi kepiluan yang ada di dalam diri ini tidak bisa kuelakkan, sakit dan tidak tertahankan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Vanda Marla
ceritanya mirip2, suami2 pada kawin lg
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status