Aku tersengal selagi masih mencengkeram kerah baju suamiku dan menatapnya dengan tatapan, Aku ingin berteriak tapi tenggorokanku tercekat dan nafasku seolah-olah diikat dengan batu yang sangat besar. Nafasku sesak begitu membayangkan kalau dia sudah seminggu menikah, mereka tentu saja bulan madu. Di malam Minggu kemarin mereka pasti sudah sangat berbahagia dan menumpahkan madu asmara. Pecah telur, pecah perawan.
Ya Tuhan aku meracau, aku gila, pikiranku runyam membayangkan bagaimana mereka saling berpelukan, itu membuatku gila."Katakan Apakah kau sudah tidur dengan wanita itu!"Suamiku hanya menelan ludah yang berarti kalau dia membenarkan pertanyaan itu. Aku langsung gelap mata, aku memukulnya, menamparnya dan mencakar wajahnya, menjampak rambutnya, memukuli dada dan perutnya tapi dia diam saja, membisu dan hanya berdiri seolah-olah pukulanku sama sekali tidak sakit.Aku memukulnya sampai aku tersengal dan jatuh sendiri karena kelelahan. Sebenarnya, aku sudah tahu memukuli dan menegur Orang yang jatuh cinta tidak akan mempan. Pukulannya itu hanya seperti sebuah sentilan yang tidak akan ada rasanya sama sekali. Percuma semuanya."Teganya kau menyakitiku membohongiku! Bisa-bisanya kau bercinta tanpa membayangkan bagaimana sakitnya hatiku Jika aku tahu!""Iklima itu hanya kewajiban sebagai laki-laki.""Kewajiban!?"aku kembali menggeram mendengar dia menggumamkan kata kewajiban."Kemarin kau menuruti keputusan nenekmu sebagai bentuk kewajiban anak dan cucu yang baik kepada keluarganya. Lalu kau sampai membohongiku dan tidak menceritakan apapun padaku, biasanya kau bercerita, tapi untuk yang satu ini kau tidak menceritakannya. Lalu kau menjilat wanita itu dan menidurinya dengan dalil bahwa itu hanya kewajiban tanpa kau menikmatinya sedikitpun, jangan munafik!""Sumpah!"Plak!Untuk sekali aku aku menamparnya dan dia langsung kehilangan kata-kata sambil memegang pipinya."Sumpah? Beraninya kau bersumpah, bagaimana seseorang akan mencapai kenikmatan kalau dia tidak menikmati sesi percintaan. Safia adalah wanita yang cantik dan mempesona, tubuhnya semampai dan langsing, kalau dia ada di antara keluarga maka semua orang akan menatapnya dan aku yakin sejak saat itu kau menyukainya!""Tidak.""Fakta bahwa kau menidurinya membuktikan bahwa kau sama saja dengan laki-laki hidung belang di dunia ini! Jika kau belum menikmati tubuhnya maka aku masih memintamu bercerai, tapi, ketika kau sudah .... aku bisa apa.""Kau berharap aku bercerai?""Setidaknya berpura-puralah untuk menunjukkan bahwa kau tidak menyukai wanita itu sehingga aku tidak terlalu kecewa, tapi kau terlampau jujur! Gestur dan pandangan matamu menunjukkan bahwa kau sangat mencintainya." Aku langsung menangis dengan tubuh yang meluncur ke lantai dengan lemas. Aku tergugu pilu sementara suamiku masih saja berdiri di tempatnya dan tidak berusaha untuk mengambil hatiku."Haruskah besok aku pergi ke kantor polisi dan menggugat Kalau suamiku sudah berani menikah tanpa izin!""Jangan...""Berarti kamu memalsukan dokumen ketika menikahi dia tanpa sepengetahuanku! Apakah kau memalsukan tanda tanganku!""Tidak.""Jadi kau hanya menikah siri!""Iya.""Karena aku tidak menyetujui pernikahan kalian, maka jatuhkan talakmu kalau begitu!""Apa? Baru menikah langsung bercerai?""Apa salahnya menjadikan wanita itu janda untuk kedua kalinya dibandingkan harus menjandakan diriku dan membuat anakku kehilangan ayahnya, kau lebih memilih siapa!""Kamu memintaku untuk memilih disaat Aku begitu mencintaimu!?""Kalau kau mencintaiku kau tidak akan menyakitiku!""Jangan meniru dialog film!""Dialog film katamu!"Beraninya ia meremehkan hatiku, meremehkan perasaanku, kalaupun memang dialog film Apakah itu tidak mewakili perasaan si penutur? Ya Allah, sejak kapan suamiku menjadi lelaki yang tidak berperasaan."Jadi pesona Wanita itu sudah membutakan dirimu sehingga membuatmu lupa denganku, dengan anak anak kita?""Tidak begitu, dia hanya istri kedua, aku berjanji, hanya istri kedua!""Apa kau mau membuat kesepakatan denganku?""Apa syaratmu hingga kau tak marah marah lagi.""Kau tidak boleh bertemu dengannya tanpa izinku jika aku tidak mengizinkanmu bertemu sebulan, 2 bulan, bahkan sampai bertahun-tahun maka kau tidak boleh menemuinya.""Tapi ....""Itu jika kau masih mau denganku, hidupku, rumah tanggaku, aturanku!""Jangan mengambil alih tugas sebagai kepala rumah tangga!""Harus begitu!""Jangan pula memberinya uang tanpa izin!""Lagi?" Lelaki itu terbelalak."Juga, pernikahan kalian hanya sementara, begitu dia mendapatkan calon suami yang layak, maka kau harus meninggalkannya!""Apa?""Kalau kau tak mau, itu artinya, kita harus bercerai!" jawabku dengan tatapan dingin."Kenapa perpisahan selalu jadi ancaman ketika seorang wanita merasa dirugikan!" tanya suamiku begitu aku memberinya ancaman panjang "Hanya wanita bodoh yang akan terus hidup dalam duri dan sakit. Aku tidak akan menjadikan anakku sebagai alasan bertahan, bahkan aku bisa hidup tanpamu," jawabku dengan air mata meluncur, meski begitu, tidak ada lagi isakan tangis, tidak ada lagi kepiluan hingga membuat aku harus sesenggukan dan menyesali takdir. Aku kehilangan ekspresi, aku sudah berada di puncak rasa sakit di mana aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa lagi."Kumohon...." Lelaki itu menjajajarkan diri dengan posisiku yang kini terkulai duduk lemas di lantai dengan air mata yang berderai-derai. Dia berusaha merayu wajahku untuk mengurus lelehan bening yang meluncur di sana tapi aku menepis tangannya. Rasanya jijik diri ini disentuh olehnya.Bagaimana tidak sakit hati ini kalau aku membayangkan semua sentuhan itu juga dilakukan kepada mantan istri sepupunya. Aku benar benar terluka
Di sinilah aku sekarang berdiri di depan sebuah rumah yang cukup besar dan bercat hijau. Di bagian pagar depannya yang dicat dengan hitam ada tumbuh pohon bunga bugenvil. Warnanya yang hijau dan merah muda membuat suasana rumah terkesan semarak dan indah.Aku perlahan mendorong pintu pagar lalu berangsur masuk ke sana. Kutemukan mertuaku sedang duduk di meja makan sementara nenek Mas Nabil sedang duduk di kursi goyang sambil memperhatikan siaran TV."Eh, Iklima, apa kabar?" Ibu mertua menyambutku dengan ramah tapi begitu melihat mataku yang sudah merah oleh air mata dan rona kesedihan yang tidak bisa kusembunyikan, dia langsung canggung dan kehilangan senyumannya."Mana anak anak?" tanya ayah mertua yang tengah makan."Sekolah," jawabku lirih. Ku cium di tangan ayah mertua lalu dia menatapku dengan wajah canggung. Air mataku tumpah di punggung tangannya dan ia hanya menepuk pundakku dengan perlahan sambil menggeleng pelan.Aku lalu beralih kepada nenek yang masih duduk di kursi roda
Aku pulang dengan luka hati yang demikian besar akibat kata-kata dan perbuatan nenek yang sangat menyakitkan. Apakah salah jika aku memprotes tentang keputusannya yang tidak begitu menguntungkan untuk diriku? Herannya dia malah menawarkan akulah yang akan diceraikan oleh suamiku. Dia dia mau minta aku untuk meninggalkan suamiku agar dia bisa bahagia dengan Sofia. Yang benar saja.Aku lemas, terkulai sesampainya di rumah, aku pergi ke kamar lalu menutup pintunya dengan rapat kemudian menumpahkan semua tangisanku sambil menghenyakkan diri di pinggir tempat tidur. Kubenamkan wajahku di kasur hingga aku bisa menangis dengan kencang tanpa seorangpun yang bisa mendengarnya. Aku menangis meluahkan segala rasa dan kekecewaan serta memprotes keputusan tuhan yang begitu mengejutkan dan rasanya tidak adil.Kata orang segala sesuatu yang terjadi pasti ada hikmahnya. Mustahil Tuhan merencanakan sesuatu jika itu tidak baik bagi umatnya. Namun di waktu sekarang, ku sama sekali tidak melihat solusi,
Aku kembali ke rumah yang baru kudatangi jam 07.00 pagi tadi. Keanggunan bunga bugenvil yang diterpa angin, bergoyang perlahan menyambut kedatangan kami yang tengah terbakar oleh api kemarahan dan kekecewaan. Aku menatap daun kelopaknya yang berwarna pink keunguan lalu tiba-tiba tersadar dengan sentakan tangan Ayah yang memintaku untuk segera turun dari mobilnya."Ayo turun."Ayah memberi isyarat dengan anggukan dan tatapan wajahnya untuk pertama kali terlihat sangat tegas dan menyeramkan."Ayah, aku takut....""Kenapa takut ketika mereka memintamu untuk menjadi istri anak mereka dan menantu di rumah ini mereka sama sekali tidak takut. Jika mereka bisa berbuat sesukanya lantas aku pun bisa memprotes!" jawab ayah dengan tegas."Tidak ayah...""Rupanya keluarga ini punya ilmu pengasihan dan sesuatu yang bisa menundukkan orang sehingga kau yang selama ini ayah kenal punya mental kuat, menjadi ketakutan dan gentar," ujar Ayahku sambil menarik tangan ini dari mobilnya."Bu-bukan begitu, ba
Setelah berbicara panjang lebar dengan keluarga itu Ayah kemudian memaksaku untuk pulang dan mengantarku ke rumah.Di mobil Ayah terus mengoceh, bicara panjang lebar tentang bagaimana caraku mengambil sikap dan berusaha untuk tetap tegar lagi tegas."Kau dengar apa yang nenek tua itu katakan ketika kita keluar!" tanya ayah kepada Bunda, sebenarnya Ibuku mendengarnya dengan jelas tapi beliau tidak ingin memperparah kemarahan ayah. Ibuku dengan penuh kelembutan dan kasih sayangnya berusaha untuk menenangkan suaminya dengan cara mengelus bahunya."Sabar Mas... Jangan menjadikan harga diri kita sama seperti mereka."Ayah mendengus ayah lalu beralih kepadaku."Dengar Iklima, kau harus mendesak Nabil untuk segera bercerai dan meminta dia kembali padamu. Bagaimanapun kalian punya anak dan anak harus dipertahankan kebahagiaannya.""Iya ayah," jawabku sambil menelan ludah. Kedengarannya mudah tapi prakteknya sangat susah."Aku berharap bertemu dengannya begitu aku mengantarmu pulang." Ayah ter
Aku menyadari betul dengan siapa aku berhadapan, Sofia anak orang kaya dengan aset warisan yang banyak, kusadari bahwa tidak masuk akal menikahkan suamiku dengan dirinya hanya demi wanita itu ada yang menafkahi dan melindungi. Tanpa mas Nabil pun, dia tetap punya uang dan keluarganya tetap melindunginya.Mungkin poinnya, suamiku mirip dengan mantan suaminya, keluarga kami juga akrab satu sama lain, jadi karena Sofia sulit move on dan nyaris gila, maka nenek mengambil keputusan untuk membuat Nabil menerima akad atas dirinya.Ya tuhan, tapi tetap saja, kenapa harus menikah?!Meski keluargaku tidak sekaya keluarga Sofia tapi Ayahku juga pegawai badan usaha milik negara yang penghasilannya tak bisa dikatakan sedikit, kami hidup seperti masyarakat pada umumnya, tidak mewah tapi berkecukupan. Punya rumah yang bagus serta dua buah mobil, ayah juga punya aset sawah dan perkebunan, juga kolam ikan. Sebenarnya nilai dan derajat keluarga kami sama saja dengan keluarga Mas Nabil.Mungkinkah k
"kak mau kemana?"tanya sepupuku Rihanna begitu melihat Mas Nabil keluar dari kamar kami dengan cara membenturkan pintu dengan keras."Pergi.""Kak, kok kakak pergi terus sih? Kakak tahu sendiri kan, kalau mbak iklimah sangat sedih?""Tolong jaga dia ya, aku ada urusan di luar," ucap suamiku yang berkata dengan lembut kepada adik sepupuku."Kak, tolonglah...""Kau tidak akan mengerti urusan orang dewasa belajar dengan tekun dan jaga keponakanmu."Sekuat apapun aku dan orang yang ada di rumah ini untuk menahannya, dia yang sangat mementingkan istri barunya tidak akan peduli dengan perasaan ataupun perkataan kami.Tidak ada yang bisa kulakukan selain hanya meneteskan air mata. Saat ini pikiranku kelam, menghitam dan aku tidak melihat sedikit pun cahaya yang akan menuntunku kepada keputusan terbaik. Akankah pernikahan Suamiku menjadi akhir dari pernikahan kami.Hal terburuk yang sampai saat ini terus menusuk hati dan perasaanku adalah kenapa aku yang begitu yakin dengan kebahagiaan perni
Kedua putriku terlihat kaget dan bingung, mereka menetap kami dengan wajah ketakutan sementara suamiku yang menyadari tentang sikap anaknya itu langsung tersenyum dan menghampiri mereka."Kenapa ayah berteriak?""Ah, tidak, tadi, ada tikus. Jangan khawatir Sayang, kalian tidurlah," ucap suamiku sambil mengecup kening anaknya."Jangan bertengkar ayah," kata Novia dengan sedih, sepertinya ia menyadari percakapan kami."Tidak sayang.""Kami tidak ingin ayah dan bunda bertengkar.""Tidak kok," jawab Mas Nabil dengan senyum dan pelukan, aku hanya menatap itu dan terdiam sambil melirik adik sepupuku yang menggelengkan kepala sambil memijit di keningnya.Saat anak-anak kembali ke kamarnya Mas Nabil memberiku isyarat agar kami berdua bisa bicara di kamar saja. Aku mengikuti langkahnya masuk ke kamar kami lalu mengunci pintu."Sudah, aku tidak mau banyak bicara lagi.""Aku juga tidak ingin banyak bicara, hati dan mentalku lelah hingga membuat perasaanku tidak nyaman serta badanku menjadi sakit