"Kenapa perpisahan selalu jadi ancaman ketika seorang wanita merasa dirugikan!" tanya suamiku begitu aku memberinya ancaman panjang
"Hanya wanita bodoh yang akan terus hidup dalam duri dan sakit. Aku tidak akan menjadikan anakku sebagai alasan bertahan, bahkan aku bisa hidup tanpamu," jawabku dengan air mata meluncur, meski begitu, tidak ada lagi isakan tangis, tidak ada lagi kepiluan hingga membuat aku harus sesenggukan dan menyesali takdir. Aku kehilangan ekspresi, aku sudah berada di puncak rasa sakit di mana aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa lagi."Kumohon...." Lelaki itu menjajajarkan diri dengan posisiku yang kini terkulai duduk lemas di lantai dengan air mata yang berderai-derai. Dia berusaha merayu wajahku untuk mengurus lelehan bening yang meluncur di sana tapi aku menepis tangannya. Rasanya jijik diri ini disentuh olehnya.Bagaimana tidak sakit hati ini kalau aku membayangkan semua sentuhan itu juga dilakukan kepada mantan istri sepupunya. Aku benar benar terluka saat membayangkannya."Yang masih terus tidak bisa kumengerti kenapa begitu cepat kau membuka hatimu untuk Sofia?""Aku berusaha untuk menerima keputusan keluargaku dan memperlakukan dia selayaknya istri."Kalau dia berusaha memperlakukan Sofia selayaknya istri lalu bagaimana dengan istri yang sudah ada. Apakah usahanya yang begitu keras untuk bertanggung jawab pada Sofia juga sama dengan usahanya untuk menjaga perasaanku? Kurasa tidak."Lalu selagi engkau berusaha untuk memperlakukannya selayaknya istri dan membuka hatimu, kau tidak berusaha untuk jujur padaku! Kenapa kau menyembunyikan itu dariku, tidakkah kau berpikir bahwa perbuatanmu akan menyakitiku!""Aku tahu kau akan terluka... tapi tidak kumenyangka kalau kau akan sedramatis ini."Siapa yang tidak akan drama kalau semuanya berjalan begitu cepat dan mengejutkan."Jadi kau menganggap tangisan dan luka hatiku adalah drama?"Kejam sekali suamiku!"...Mengapa kita tidak mencoba bertukar posisi sehingga kau merasakan luka yang ada di hatiku." Lelaki itu terdiam."Ah, percuma baik bicara pada orang yang sedang dibutakan oleh cinta. Aku akan pergi," ujarku sambil mengusap air mata lalu beranjak perlahan untuk meninggalkannya. Aku akan pergi ke kamar anakku untuk tidur dengan mereka sehingga hatiku tidak terlampau tersakiti mengingat ranjang dan tempat tidur kami yang sudah dibagi.Kututup rapat pintu kamar anakku lalu kuhampiri ranjang mereka di mana mereka sedang tertidur pulas dan terlihat imut tanpa dosa. Aku belai wajah anakku yang kuharap tidak akan pernah mengetahui apa yang telah terjadi. Luka yang ada di batin ini tidak perlu ditanggung oleh mereka juga. Tak sanggup rasanya membayangkan anak-anak mengetahui kalau mereka punya saudara tiri.Mungkin benar aku wanita yang dramatis. Segala sesuatu yang kuperhitungkan hanya tentang luka dan penderitaan itu saja. Tapi Aku harus bagaimana? berita dan kabar mengejutkan ini telah memukul mental dan menghancurkan hidupku. Bayangkan ketika kau berada di rumahmu dan bahagia dengan kehidupan rumah tanggamu, sert anak-anakmu sehat. Yang kau pikirkan hanya fokus membahagiakan mereka dan berbakti pada suamimu tapi tiba-tiba saja ia menikah lagi. Apakah itu tidak menyakitkan, sungguhkah, hanya diriku saja yang merasa sebagai korban.Lalu tentang jalang itu... Apa yang akan aku lakukan padanya. Dia berlindung di balik kesedihan karena ditinggalkan mati oleh suaminya. Kalau dia juga berlindung sebagai wanita lemah yang tengah dilanda kesedihan dan penderitaan hidup. Orang-orang akan membelanya karena bersimpati atas luka dan ujian yang sedang ia hadapi. Tapi yang tidak masuk akal sampai sekarang kenapa keluarganya sampai menjodohkan dia dengan mas Nabil, Tidak adakah kan di dekat suami lain selain suamiku dan mengapa juga nenek tega melakukan ini kepada kami.Keesokan pagi.Aku tercenung di kursi meja makan, aku bingung, semalaman aku menangis hingga membuat wajahku sembab dan kepalaku pusing. Entah kenapa aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan di pagi hari ini setelah rutinitas monoton selama bertahun-tahun sebagai ibu rumah tangga. Aku tidak mengerti apa yang harus aku lakukan sekarang. Apakah aku harus membersihkan rumah ataukah aku harus membuat sarapan? Ataukah aku harus mendahulukan cucian pakaian yang sudah menumpuk.Bagaimana aku akan fokus dengan semua tugas-tugas itu di saat hatiku sedang tidak baik-baik saja. Aku sedang dilanda kesedihan dan kesusahan hati yang mana Aku tidak bisa mengalihkannya kepada pikiran yang lain."Bunda tidak menyiapkan sarapan?" tanya Novia saat menemuiku di ruang keluarga Dia terlihat sudah rapi dengan tas sekolah dan sepatunya."Begini, bunda sedang tidak enak badan jadi rada sedikit Uang belanja lebih, kau bisa beli makanan di sekolah saja.""Baiklah.""Maaf ya, bunda gak siapkan bekal.""Ga apa apa Bunda, istirahatlah." Anakku kemudian mengecup punggung tanganku lalu mengajak adiknya menuju ke pintu karena di depan sana bis sekolah sudah menjemput mereka.Memastikan kedua anakku naik ke bis dengan aman aku langsung pergi ke kamar untuk mandi dan ganti pakaian. Aku telah mempersiapkan mental dan semua ucapanku untuk pergi memprotes kepada nenek mertua. Aku tahu aku akan mulai menangis atas semua penghinaan dan ucapannya di kemudian nanti tapi aku tetap harus bicara padanya.Di sinilah aku sekarang berdiri di depan sebuah rumah yang cukup besar dan bercat hijau. Di bagian pagar depannya yang dicat dengan hitam ada tumbuh pohon bunga bugenvil. Warnanya yang hijau dan merah muda membuat suasana rumah terkesan semarak dan indah.Aku perlahan mendorong pintu pagar lalu berangsur masuk ke sana. Kutemukan mertuaku sedang duduk di meja makan sementara nenek Mas Nabil sedang duduk di kursi goyang sambil memperhatikan siaran TV."Eh, Iklima, apa kabar?" Ibu mertua menyambutku dengan ramah tapi begitu melihat mataku yang sudah merah oleh air mata dan rona kesedihan yang tidak bisa kusembunyikan, dia langsung canggung dan kehilangan senyumannya."Mana anak anak?" tanya ayah mertua yang tengah makan."Sekolah," jawabku lirih. Ku cium di tangan ayah mertua lalu dia menatapku dengan wajah canggung. Air mataku tumpah di punggung tangannya dan ia hanya menepuk pundakku dengan perlahan sambil menggeleng pelan.Aku lalu beralih kepada nenek yang masih duduk di kursi roda
Aku pulang dengan luka hati yang demikian besar akibat kata-kata dan perbuatan nenek yang sangat menyakitkan. Apakah salah jika aku memprotes tentang keputusannya yang tidak begitu menguntungkan untuk diriku? Herannya dia malah menawarkan akulah yang akan diceraikan oleh suamiku. Dia dia mau minta aku untuk meninggalkan suamiku agar dia bisa bahagia dengan Sofia. Yang benar saja.Aku lemas, terkulai sesampainya di rumah, aku pergi ke kamar lalu menutup pintunya dengan rapat kemudian menumpahkan semua tangisanku sambil menghenyakkan diri di pinggir tempat tidur. Kubenamkan wajahku di kasur hingga aku bisa menangis dengan kencang tanpa seorangpun yang bisa mendengarnya. Aku menangis meluahkan segala rasa dan kekecewaan serta memprotes keputusan tuhan yang begitu mengejutkan dan rasanya tidak adil.Kata orang segala sesuatu yang terjadi pasti ada hikmahnya. Mustahil Tuhan merencanakan sesuatu jika itu tidak baik bagi umatnya. Namun di waktu sekarang, ku sama sekali tidak melihat solusi,
Aku kembali ke rumah yang baru kudatangi jam 07.00 pagi tadi. Keanggunan bunga bugenvil yang diterpa angin, bergoyang perlahan menyambut kedatangan kami yang tengah terbakar oleh api kemarahan dan kekecewaan. Aku menatap daun kelopaknya yang berwarna pink keunguan lalu tiba-tiba tersadar dengan sentakan tangan Ayah yang memintaku untuk segera turun dari mobilnya."Ayo turun."Ayah memberi isyarat dengan anggukan dan tatapan wajahnya untuk pertama kali terlihat sangat tegas dan menyeramkan."Ayah, aku takut....""Kenapa takut ketika mereka memintamu untuk menjadi istri anak mereka dan menantu di rumah ini mereka sama sekali tidak takut. Jika mereka bisa berbuat sesukanya lantas aku pun bisa memprotes!" jawab ayah dengan tegas."Tidak ayah...""Rupanya keluarga ini punya ilmu pengasihan dan sesuatu yang bisa menundukkan orang sehingga kau yang selama ini ayah kenal punya mental kuat, menjadi ketakutan dan gentar," ujar Ayahku sambil menarik tangan ini dari mobilnya."Bu-bukan begitu, ba
Setelah berbicara panjang lebar dengan keluarga itu Ayah kemudian memaksaku untuk pulang dan mengantarku ke rumah.Di mobil Ayah terus mengoceh, bicara panjang lebar tentang bagaimana caraku mengambil sikap dan berusaha untuk tetap tegar lagi tegas."Kau dengar apa yang nenek tua itu katakan ketika kita keluar!" tanya ayah kepada Bunda, sebenarnya Ibuku mendengarnya dengan jelas tapi beliau tidak ingin memperparah kemarahan ayah. Ibuku dengan penuh kelembutan dan kasih sayangnya berusaha untuk menenangkan suaminya dengan cara mengelus bahunya."Sabar Mas... Jangan menjadikan harga diri kita sama seperti mereka."Ayah mendengus ayah lalu beralih kepadaku."Dengar Iklima, kau harus mendesak Nabil untuk segera bercerai dan meminta dia kembali padamu. Bagaimanapun kalian punya anak dan anak harus dipertahankan kebahagiaannya.""Iya ayah," jawabku sambil menelan ludah. Kedengarannya mudah tapi prakteknya sangat susah."Aku berharap bertemu dengannya begitu aku mengantarmu pulang." Ayah ter
Aku menyadari betul dengan siapa aku berhadapan, Sofia anak orang kaya dengan aset warisan yang banyak, kusadari bahwa tidak masuk akal menikahkan suamiku dengan dirinya hanya demi wanita itu ada yang menafkahi dan melindungi. Tanpa mas Nabil pun, dia tetap punya uang dan keluarganya tetap melindunginya.Mungkin poinnya, suamiku mirip dengan mantan suaminya, keluarga kami juga akrab satu sama lain, jadi karena Sofia sulit move on dan nyaris gila, maka nenek mengambil keputusan untuk membuat Nabil menerima akad atas dirinya.Ya tuhan, tapi tetap saja, kenapa harus menikah?!Meski keluargaku tidak sekaya keluarga Sofia tapi Ayahku juga pegawai badan usaha milik negara yang penghasilannya tak bisa dikatakan sedikit, kami hidup seperti masyarakat pada umumnya, tidak mewah tapi berkecukupan. Punya rumah yang bagus serta dua buah mobil, ayah juga punya aset sawah dan perkebunan, juga kolam ikan. Sebenarnya nilai dan derajat keluarga kami sama saja dengan keluarga Mas Nabil.Mungkinkah k
"kak mau kemana?"tanya sepupuku Rihanna begitu melihat Mas Nabil keluar dari kamar kami dengan cara membenturkan pintu dengan keras."Pergi.""Kak, kok kakak pergi terus sih? Kakak tahu sendiri kan, kalau mbak iklimah sangat sedih?""Tolong jaga dia ya, aku ada urusan di luar," ucap suamiku yang berkata dengan lembut kepada adik sepupuku."Kak, tolonglah...""Kau tidak akan mengerti urusan orang dewasa belajar dengan tekun dan jaga keponakanmu."Sekuat apapun aku dan orang yang ada di rumah ini untuk menahannya, dia yang sangat mementingkan istri barunya tidak akan peduli dengan perasaan ataupun perkataan kami.Tidak ada yang bisa kulakukan selain hanya meneteskan air mata. Saat ini pikiranku kelam, menghitam dan aku tidak melihat sedikit pun cahaya yang akan menuntunku kepada keputusan terbaik. Akankah pernikahan Suamiku menjadi akhir dari pernikahan kami.Hal terburuk yang sampai saat ini terus menusuk hati dan perasaanku adalah kenapa aku yang begitu yakin dengan kebahagiaan perni
Kedua putriku terlihat kaget dan bingung, mereka menetap kami dengan wajah ketakutan sementara suamiku yang menyadari tentang sikap anaknya itu langsung tersenyum dan menghampiri mereka."Kenapa ayah berteriak?""Ah, tidak, tadi, ada tikus. Jangan khawatir Sayang, kalian tidurlah," ucap suamiku sambil mengecup kening anaknya."Jangan bertengkar ayah," kata Novia dengan sedih, sepertinya ia menyadari percakapan kami."Tidak sayang.""Kami tidak ingin ayah dan bunda bertengkar.""Tidak kok," jawab Mas Nabil dengan senyum dan pelukan, aku hanya menatap itu dan terdiam sambil melirik adik sepupuku yang menggelengkan kepala sambil memijit di keningnya.Saat anak-anak kembali ke kamarnya Mas Nabil memberiku isyarat agar kami berdua bisa bicara di kamar saja. Aku mengikuti langkahnya masuk ke kamar kami lalu mengunci pintu."Sudah, aku tidak mau banyak bicara lagi.""Aku juga tidak ingin banyak bicara, hati dan mentalku lelah hingga membuat perasaanku tidak nyaman serta badanku menjadi sakit
"lebih baik kau memusuhiku dan tidak melayaniku dibandingkan kau melakukannya dengan hati yang tersakiti," ucapnya lirih."Aku memang sakit hati, tapi peranku sebagai seorang istri tidak bisa diabaikan, jangan khawatir, pergilah ke kantor, hasilkan uang yang banyak agar aku dan istri barumu bisa berfoya-foya," jawabku sambil tertawa. Aku segera menyapu dan mengabaikan dirinya yang masih di dapur."Apakah kau sedang merencanakan sesuatu untuk menghancurkan keluarga kita?""Apakah hatimu sewas-was itu karena kesalahan yang kau buat?" tanyaku sambil semakin mengejek perkataannya."Dia terpaku dan tidak mampu menjawabku, dan meski aku telah menyiapkan sarapan lezat serta menghidangkannya ke atas meja dia sama sekali tidak berani menyentuhnya, jangankan menyentuh melirik pun tidak."Pergi dan ganti bajumu lalu makan sarapanmu aku akan tersinggung kalau kau tidak makan," ujarku sambil menepuk bahunya pelan, suamiku semakin merinding dengan perlakuanku."Aku takut dengan perubahanmu.""Janga