Share

5. kenapa aku mengancam

"Kenapa perpisahan selalu jadi ancaman ketika seorang wanita merasa dirugikan!" tanya suamiku begitu aku memberinya ancaman panjang

"Hanya wanita bodoh yang akan terus hidup dalam duri dan sakit. Aku tidak akan menjadikan anakku sebagai alasan bertahan, bahkan aku bisa hidup tanpamu," jawabku dengan air mata meluncur, meski begitu, tidak ada lagi isakan tangis, tidak ada lagi kepiluan hingga membuat aku harus sesenggukan dan menyesali takdir. Aku kehilangan ekspresi, aku sudah berada di puncak rasa sakit di mana aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa lagi.

"Kumohon...." Lelaki itu menjajajarkan diri dengan posisiku yang kini terkulai duduk lemas di lantai dengan air mata yang berderai-derai. Dia berusaha merayu wajahku untuk mengurus lelehan bening yang meluncur di sana tapi aku menepis tangannya. Rasanya jijik diri ini disentuh olehnya.

Bagaimana tidak sakit hati ini kalau aku membayangkan semua sentuhan itu juga dilakukan kepada mantan istri sepupunya. Aku benar benar terluka saat membayangkannya.

"Yang masih terus tidak bisa kumengerti kenapa begitu cepat kau membuka hatimu untuk Sofia?"

"Aku berusaha untuk menerima keputusan keluargaku dan memperlakukan dia selayaknya istri."

Kalau dia berusaha memperlakukan Sofia selayaknya istri lalu bagaimana dengan istri yang sudah ada. Apakah usahanya yang begitu keras untuk bertanggung jawab pada Sofia juga sama dengan usahanya untuk menjaga perasaanku? Kurasa tidak.

"Lalu selagi engkau berusaha untuk memperlakukannya selayaknya istri dan membuka hatimu, kau tidak berusaha untuk jujur padaku! Kenapa kau menyembunyikan itu dariku, tidakkah kau berpikir bahwa perbuatanmu akan menyakitiku!"

"Aku tahu kau akan terluka... tapi tidak kumenyangka kalau kau akan sedramatis ini."

Siapa yang tidak akan drama kalau semuanya berjalan begitu cepat dan mengejutkan.

"Jadi kau menganggap tangisan dan luka hatiku adalah drama?"

Kejam sekali suamiku!

"...Mengapa kita tidak mencoba bertukar posisi sehingga kau merasakan luka yang ada di hatiku." Lelaki itu terdiam.

"Ah, percuma baik bicara pada orang yang sedang dibutakan oleh cinta. Aku akan pergi," ujarku sambil mengusap air mata lalu beranjak perlahan untuk meninggalkannya. Aku akan pergi ke kamar anakku untuk tidur dengan mereka sehingga hatiku tidak terlampau tersakiti mengingat ranjang dan tempat tidur kami yang sudah dibagi.

Kututup rapat pintu kamar anakku lalu kuhampiri ranjang mereka di mana mereka sedang tertidur pulas dan terlihat imut tanpa dosa. Aku belai wajah anakku yang kuharap tidak akan pernah mengetahui apa yang telah terjadi. Luka yang ada di batin ini tidak perlu ditanggung oleh mereka juga. Tak sanggup rasanya membayangkan anak-anak mengetahui kalau mereka punya saudara tiri.

Mungkin benar aku wanita yang dramatis. Segala sesuatu yang kuperhitungkan hanya tentang luka dan penderitaan itu saja. Tapi Aku harus bagaimana? berita dan kabar mengejutkan ini telah memukul mental dan menghancurkan hidupku. Bayangkan ketika kau berada di rumahmu dan bahagia dengan kehidupan rumah tanggamu, sert anak-anakmu sehat. Yang kau pikirkan hanya fokus membahagiakan mereka dan berbakti pada suamimu tapi tiba-tiba saja ia menikah lagi. Apakah itu tidak menyakitkan, sungguhkah, hanya diriku saja yang merasa sebagai korban.

Lalu tentang jalang itu... Apa yang akan aku lakukan padanya. Dia berlindung di balik kesedihan karena ditinggalkan mati oleh suaminya. Kalau dia juga berlindung sebagai wanita lemah yang tengah dilanda kesedihan dan penderitaan hidup. Orang-orang akan membelanya karena bersimpati atas luka dan ujian yang sedang ia hadapi. Tapi yang tidak masuk akal sampai sekarang kenapa keluarganya sampai menjodohkan dia dengan mas Nabil, Tidak adakah kan di dekat suami lain selain suamiku dan mengapa juga nenek tega melakukan ini kepada kami.

Keesokan pagi.

Aku tercenung di kursi meja makan, aku bingung, semalaman aku menangis hingga membuat wajahku sembab dan kepalaku pusing. Entah kenapa aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan di pagi hari ini setelah rutinitas monoton selama bertahun-tahun sebagai ibu rumah tangga. Aku tidak mengerti apa yang harus aku lakukan sekarang. Apakah aku harus membersihkan rumah ataukah aku harus membuat sarapan? Ataukah aku harus mendahulukan cucian pakaian yang sudah menumpuk.

Bagaimana aku akan fokus dengan semua tugas-tugas itu di saat hatiku sedang tidak baik-baik saja. Aku sedang dilanda kesedihan dan kesusahan hati yang mana Aku tidak bisa mengalihkannya kepada pikiran yang lain.

"Bunda tidak menyiapkan sarapan?" tanya Novia saat menemuiku di ruang keluarga Dia terlihat sudah rapi dengan tas sekolah dan sepatunya.

"Begini, bunda sedang tidak enak badan jadi rada sedikit Uang belanja lebih, kau bisa beli makanan di sekolah saja."

"Baiklah."

"Maaf ya, bunda gak siapkan bekal."

"Ga apa apa Bunda, istirahatlah." Anakku kemudian mengecup punggung tanganku lalu mengajak adiknya menuju ke pintu karena di depan sana bis sekolah sudah menjemput mereka.

Memastikan kedua anakku naik ke bis dengan aman aku langsung pergi ke kamar untuk mandi dan ganti pakaian. Aku telah mempersiapkan mental dan semua ucapanku untuk pergi memprotes kepada nenek mertua. Aku tahu aku akan mulai menangis atas semua penghinaan dan ucapannya di kemudian nanti tapi aku tetap harus bicara padanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status