Share

7. pulang dengan luka

Aku pulang dengan luka hati yang demikian besar akibat kata-kata dan perbuatan nenek yang sangat menyakitkan. Apakah salah jika aku memprotes tentang keputusannya yang tidak begitu menguntungkan untuk diriku? Herannya dia malah menawarkan akulah yang akan diceraikan oleh suamiku. Dia dia mau minta aku untuk meninggalkan suamiku agar dia bisa bahagia dengan Sofia. Yang benar saja.

Aku lemas, terkulai sesampainya di rumah, aku pergi ke kamar lalu menutup pintunya dengan rapat kemudian menumpahkan semua tangisanku sambil menghenyakkan diri di pinggir tempat tidur. Kubenamkan wajahku di kasur hingga aku bisa menangis dengan kencang tanpa seorangpun yang bisa mendengarnya. Aku menangis meluahkan segala rasa dan kekecewaan serta memprotes keputusan tuhan yang begitu mengejutkan dan rasanya tidak adil.

Kata orang segala sesuatu yang terjadi pasti ada hikmahnya. Mustahil Tuhan merencanakan sesuatu jika itu tidak baik bagi umatnya. Namun di waktu sekarang, ku sama sekali tidak melihat solusi, tidak pula melihat hikmah atau pelajaran yang bisa kupetik. Ada yang ada di wajahku saat ini hanyalah luka dan Air mata serta kekecewaan betapa aku disakiti oleh suamiku dan keluarganya.

Tok tok....

Aku tak sadar tertidur dalam tangisan dan kelelahan mentalku, aku terbangun saat Rihanna sepupuku mengetuk pintu.

"Mbak ada Tante Vina dan Om Rizal, ayo bangun...."

"Oh ..." Aku terkejut karena dia menyebut nama orang tuaku. Kalau aku tidak mengira di waktu yang sekarang ini mereka akan datang di mana Aku sama sekali belum menyiapkan mental. Bagaimana aku menceritakan kepada orang tuaku apa yang sedang terjadi, serta apa pula respon mereka.

Ku basu wajahku di wastafel lalu menatap diriku yang menyedihkan di balik kaca. Aku berusaha menghalau air mata tapi rasa sakit yang terus berkelindan di hati ini membuatku tidak mampu menghentikan tangisanku. Kenangan tentang begitu romantisnya suamiku serta bayangan bagaimana ia memperlakukan wanita itu, meliuk-liuk di dalam kepalaku dan membuatku pusing dan nyaris jatuh di kamar mandi.

Rasa cemburu itu membuat dada ini berkobar tapi aku bisa apa...

*

Aku sudah mengganti baju merias sedikit wajahku lalu keluar ke kamar dengan senyum yang terasa begitu menyakitkan. Rupanya sangat sakit memaksakan senyum di saat kita sedang begitu bersedih. Luar biasa, seperti tertusuk duri, tercabik dan seolah menelan racun empedu.

Dari sofa ruang tengah Bunda langsung berdiri dan menyambangi diriku serta memegangi kedua tanganku lalu bertanya apa kabarku.

"Sayang, apa kabarmu?" Ada bicara Ibuku terdengar prihatin Aku yakin dia sudah tahu apa yang terjadi.

"Ah, aku baik-baik saja bunda jawabku yang memaksakan diri untuk ceria dan tertawa. Kedua orang tuaku yang tahu versi sifat anaknya saling memandang dan menggelengkan kepala mereka sementara aku tetap memaksakan diri untuk tersenyum meski mata ini sudah berkaca-kaca.

"Duduklah kemari dan bicaralah kepada ayah dan bunda," ujar ayah sambil menepuk sofa yang ada di sisinya. Aku terus berusaha untuk tersenyum memasuki mata ini sudah tidak mampu membendung lelehan bening. Aku ingin meraung tapi aku kasihan pada orang tuaku mereka telah susah payah membesarkanku dengan darah dan air mata, haruskah aku memberikan mereka penderitaan di hari tua mereka? Haruskah mereka terbebani dengan penderitaan yang ada.

Tidak, jangan!

"Apa kalian sudah makan aku akan segera menyiapkan sup ayam dan ikan kesukaan ayah," ujarku sambil mengalihkan diriku kedua orang tuaku menahan lengan ini dan memaksaku untuk tetap duduk.

Bunda memperhatikan wajahku yang sembab sambil membelainya. Air mata Bunda menetes hingga membuatku juga tidak mampu menahan air mata.

"Jangan tersenyum di saat kau begitu sedih karena itu hal yang menyakitkan."

"Aku bisa apa?"

"Tertawamu terlihat palsu dan itu menyakitkan kami. Meski kau berusaha ceria tapi matamu tidak mampu berbohong," ujar bunda.

Aku langsung menangis dan memeluknya, menangis sepuasnya seperti anak kecil yang kehilangan mainan, menangis dan meraung di pundak Ibuku lalu kemudian bergantian kualihkan diriku ke pelukan ayahku.

"Mereka memperlakukanku dengan tidak adil, aku bisa apa Ayah apa?"

"Apa kau ingin Ayah bicara dengan mertuamu?"

"Itu tidak akan berguna karena yang berkuasa adalah neneknya."

"Sehebat apa wanita itu yang memperlakukan putriku dengan tidak adil? Kau adalah Putri semata wayang kami dan kami sangat menyayangimu, beraninya mereka memperlakukan kau dengan cara seperti ini!"ayah menggeram sambil mencengkeram genggaman tangannya.

"Kalau Nabil dan istri barunya punya keluarga yang membela mereka lalu apa bedanya dengan kau?"

"Protes ayah malah akan mengundang masalah dan akan membuat diriku diceraikan oleh suamiku. Aku mungkin bisa menerima perpisahan tapi aku masih terus memikirkan tentang Novia dan Arumi, ayah."

"Ya Tuhan, malangnya cucunya," ucap ayah sambil menahan air mata.

"Menurut orang lain suamiku hanya menikah... tapi menurutku dia sedang menciptakan neraka. Aku sangat terluka dan putus asa, Aku harus berpikir untuk bunuh diri ayah..."

"Tidak, pernikahannya bukanlah akhir kehidupanmu. Ikut denganku!" Ucap Ayah sambil mencekal lenganku lalu menyeret ku ke mobilnya.

Aku aku kebingungan kenapa ayah menarikku dan ke mana dia akan mengajakku pergi, Bunda juga bingung tapi dia tidak bisa berbuat banyak selain hanya mengikuti suaminya.

"Kita kemana mas?"

"Kita akan pergi ke rumah keluarga itu dan lihat seperti apa mereka memperlakukan putriku secara langsung!" Ucap ucap Ayah dengan rahang yang sudah sangat tegang dan wajah yang memerah karena murka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status