Share

3. suamiku diam saja meski aku terluka

Aku menangis sambil memeluk lututku dan nyaris tidak tertidur hingga subuh menjelang. Aku merinti dengan kenyataan dan terus menangis memprotes keputusan Tuhan.

Teganya Dia menguji hambanya dengan cara seperti ini, aku hanya wanita papa yang lemah, aku tidaklah sekuat wali Allah yang tahan dengan semua ujian dan penderitaan hidup. Ini hanya perkara cinta yang kemudian dialihkan kepada wanita lain dan sakitnya aku tidak bisa menggambarnya. Sangat sangat sakit.

"Tuhan beginikah rasanya wanita-wanita di luar sana yang disakiti oleh suaminya?"aku menunggumu sendiri dengan angan-angan dalam benakku bahwa aku lebih baik bunuh diri dibandingkan harus menerima kenyataan dan menyaksikan suamiku terus-menerus berhubungan dengan wanita itu.

Dulu, aku tidak membencinya dia hanyalah istri dari sepupunya suamiku. Sekali-kali aku tidak membencinya! tapi ketika suamiku menjadikan dia istri, kecemburuan itu membuncah dan aku menjadi sangat murka, Aku benci karena Wanita itu tidak berpikir jauh tentang perasaanku atau sekedar memikirkan solidaritas sesama wanita, di mana dia juga akan merasakan sakit yang sama seperti diriku kalau diperlakukan seperti ini.

Sepertinya janda itu sudah kehilangan akal sejak ditinggalkan oleh mendiang Faisal suaminya.

Detik yang berdetak di jam dinding membuatku gila karena selain aku menghitung sakit hati aku juga terus menghitung mundur kapan suamiku akan pulang. Sepertinya dia tidak akan kunjung pulang karena hari sudah menjelang tengah malam.

Haruskah aku pergi menjemput Mas Nabil dan menunjukkan kepada safia kalau aku wanita yang berkuasa. Haruskah kutunjukkan dengan gamblang bahwa, jangan karena ia sudah menjadi istrinya, jadi Safia bisa melakukan apapun lalu mencabut hakku sebagai istri pertama?!

Derit engsel pintu dan suara pegangannya yang diputar membuatku terkejut dan langsung menoleh, itu adalah Mas Nabil yang baru saja pulang. Dia mengenakan jaket dan terlihat tertegun saat menatapku masih memeluk diri di sisi ranjang.

"Iklima, kau masih di situ?"

"Dan kau masih berkeliaran malam malam begini demi istri sepupumu!"

"Sudah, jangan begitu... Dia kini istriku."

Jawabannya sekali lagi menikam jantungku, menikah punya berkali-kali, menikam luka jahitan yang baru dengan susah payah aku jahit dengan air mata. Ia terus menyebut wanita itu sebagai istrinya seakan-akan Dia sudah mendambakannya sejak lama dan bangga memilikinya sekarang sebagai bentuk prestasi.

"Jadi, kau bahagia sekali ya dengan mendapatkan wanita itu... Aku tidak bisa menyelami isi hatimu tapi sepertinya kau telah lama berfantasi tidur dengannya!"

"Astagfirullah kau bicara apa sih?!"

"Jangan terus-menerus perkataanku tapi jawablah pertanyaanku sekali ini."

"Apa?"

"Apa kau menyukainya?"

"Tidak, bukan begitu ... Aku hanya menolongnya..."

"Tapi gesturmu saat kau memperkenalkannya denganku dan cara kau menyentuh dan melindunginya, seakan-akan dia kekasih hatimu yang telah lama hilang. Apa sejak lama kau mendambakan istrinya Faisal?!"

"Astaga kau bilang apa?"

"Sepertinya kau memang jatuh cinta dengan Sofia!"

"Tidak," sanggahnya.

"Tatapan matamu yang kukenal dulu tidak lagi sama... kau memang menyimpan perasaan terhadap wanita itu...."

"Tidak, itu salah!"

"...Tapi aku terkejut bisa-bisanya kau lelaki yang sangat romantis dan selalu menunjukkan cinta padaku berubah dalam satu hari saja. Kau langsung mengalihkan cinta dan perhatianmu untuk janda malang itu, kau kasihan padanya karena tidak ada lagi orang yang akan melindunginya sehingga mengambil keputusan yang begitu besar untuk menjadikan dirimu sebagai suaminya. Lalu apa kabar diriku!!!" Aku berteriak sebagai bentuk penekananku kepada Mas Nabil tapi dia terus memberi isyarat agar aku memelankan suara demi Novia dan Arumi tidak terbangun di kamar sebelah.

"Sekarang apakah kau ketakutan anak-anak akan tahu?"

"Aku akan memberitahu mereka dan berusaha membuat keluarga kita akur!'

"Jadi anak wanita itu akan memanggilmu ayah!"

"Ya Allah, apa salahnya dengan itu."

"Harus kamu mulai besok aku mulai mencari keadilan untuk diriku dengan cara memprotes ke sana kemari."

"Untuk apa! untuk mempermalukan diri kita?! Lagi pula ke mana kau akan mengadu! Ke ibumu? Tidakkah kau tahu kalau dia sakit dan akan stress kalau masalah pribadi kita diceritakan padanya sudah kubilang aku hanya menolong Sofia."

"Kalau pernikahan itu hanya sebatas kesepakatan menolong lalu apa perjanjian yang kau buat dengannya....."

"Aku tidak membuat perjanjian."

"Berarti kau akan menjamin kehidupannya sampai mati."

"Itu tugasku sebagai suami!"ucapnya setengah dengan nada tinggi sambil menunjuk dirinya sendiri. Seolah-olah Dia adalah lelaki yang paling bertanggung jawab di dunia ini.

"Jadi kau berjanji untuk menjamin kehidupan dan perasaannya sampai dia mati, lalu bagaimana dengan diriku yang sudah mendampingimu selama 10 tahun dan semuanya seperti sia-sia saja!"

"Siapa yang bilang sia-sia ketika hatiku masih milikmu!"

"Hatimu masih milikku tapi tubuhmu miliknya, Apakah itu adalah hal yang lucu! Aku tahu hasratmu begitu bergejolak dengan wanita janda itu, Aku tidak percaya suamiku tidak mampu mengendalikan syahwatnya."

"Kalau kau tidak percaya padaku ayo kita ke rumah nenek dan tanyakan padanya betapa aku menolak keputusan itu."

"Dan ketika kau setuju kau jadi budak cinta padanya, kau tergila-gila membelanya di hadapanku tanpa memperdulikan perasaanku, ke mana dirimu yang dulu! Dulu kau tidak membiarkan sekelip kata pun yang menusuk hatiku tapi sekarang perbuatanmu hampir membunuhku!"

"Jangan berlebihan."

"Aku tidak lebay, Mas! Aku sakit dengan perbuatanmu!"

"Aku hanya ijab kabul, bukan pergi berbulan madu dan melupakanmu."

Aku seolah menyadari sesuatu ketika dia menyebut bulan madu. Aku langsung bangun dan menarik jaketnya yang masih ia kenakan lalu mencengkeramnya sambil menatap matanya. Bola mataku yang dibasahi air mata seakan-akan buram ketika aku menatap wajah suamiku yang kucintai.

"Kau tidur dengannya? Katakan sejak kapan kau menikah, katakan padaku, kapan kau menikah!"

"Apa pentingnya?"

"Katakan! Aku tidak percaya kalian baru saja menikah malam ini atau sore tadi, aku yakin ini sudah terjadi sejak lama."

"Minggu kemarin!"

"Jadi sudah seminggu dan aku tidak menyadari sesuatu!" Bola mataku hampir saja tercabut dari rongganya begitu aku membeliak kepadanya.

"Ya Tuhan, aku hanya mencari waktu yang tepat untuk bicara!"

Plak!

Ayunan tanganku untuk memukul wajahnya tidak bisa kutahan lagi, teganya dia menipuku, tega teganya Ia melakukan ini padaku. Terus kalau dia sudah seminggu menikah, bohong kalau dia tidak menyentuh wanita itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status