Share

Titik Balik

“Hei, bangun.”

Raksha merasakan ada yang menggenggam pundaknya dengan tangan yang terasa besar dan hangat. Dia awalnya menolak bangun, tetapi sesorang terus memanggilnya hingga kesadarannya lama-lama pulih.

Sekilas Raksha memaksakan diri untuk membuka matanya, dia melihat pria jangkung bertubuh kekar mengenakan jubah panjang penuh robek berwarna coklat tua usang. Rambut pria itu panjang berantakan berwarna hitam. Tatapannya hangat, berbeda dengan para prajurit Kanezka yang mencekam dan menakutkan. Sebelum Raksha membuka mulutnya, pria itu memeluknya erat.

“Maaf. Ini pasti berat bagimu.” ujar pria itu menahan sendu.

Kata-kata itu membuat Raksha teringat akan tragedi yang menimpa keluarganya. Dia melihat sekitar, dan ternyata tragedi itu bukanlah mimpi buruk belaka. Semua pembunuhan sadis itu nyata dan terjadi persis di depan matanya. Beberapa saat setelah itu, dia kembali menangis.

“Tidak apa-apa. Menangislah. Tumpahkan semua kesedihan dan kemarahanmu atas tragedi ini.” hibur pria itu.

Raksha membanjiri dada pria misterius itu dengan air matanya. Beberapa saat berlalu sampai tangisnya berhenti. Dia termenung ketika pria itu melepas pelukannya lalu menatapinya.

Pria itu mengambil sesuatu dari balik jubahnya. Sebuah bungkusan daun pisang berisi kepalan nasi dan kendi berisi air minum.

“Makan ini, lalu minum. Kamu membutuhkannya.” pinta pria itu.

Raksha termenung sejenak. Perutnya bergemuruh lapar dan kerongkongannya terasa kering, tetapi nafsunya tidak ada sama sekali.

“Aku tidak lapar, tuan....” ujar Raksha pelan.

“Aku bisa mendengar perutmu yang keroncongan, Raksha. Makan.” balas pria itu.

Raksha terkesiap saat pria itu tahu namanya. Awalnya dia pikir pria itu adalah prajurit Kanezka karena postur tubuhnya yang tegak dan gagah seperti pendekar. Tetapi, dia merasa asumsinya salah karena tidak pernah ada satupun prajurit Kanezka yang mengingat nama penduduk desa ini. Mereka menyebut para penduduk desa ini dengan sebutan binatang atau pengkhianat.

Raksha berhenti melamun ketika pria itu meraih telapak tangannya lalu menempatkan makanan dan minuman itu di tangannya.

“Kau mungkin tidak nafsu, tapi kau membutuhkan ini untuk tenaga. Apa kau tidak ingin mengubur keluargamu?” tegas pria itu.

Raksha melirik jasad keluarganya lalu menelan ludah. Dia tidak punya pilihan lain. Perlahan, dia membuka bungkusan daun pisang itu lalu memakan kepalan nasi didalamnya. Tidak terasa enak, tapi setidaknya cukup untuk mengganjal perutnya yang keroncongan. Setelah itu, dia menghabiskan minuman yang ada di kendi dengan sekali teguk.

Mendadak serasa ada yang mendetum di dalam dada Raksha, seolah-olah jantungnya serasa hampir copot karena itu. Keringatnya bercucuran setelah itu, tetapi anehnya, tubuhnya terasa lebih ringan. Dia bahkan tidak lagi merasakan lelah seperti sebelumnya. Luka lebam, bengkak, dan sayatan yang terpatri di tiap sisi tubuhnya masih membekas tetapi tidak terasa perih lagi. Apa yang terjadi?

 Di tengah kebingungannya, Raksha baru sadar kalau pria itu tengah menatapinya sambil tersenyum puas.

“A-ada apa, tuan?” tanya Raksha bingung.

“O-oh....tidak apa-apa. Bagaimana keadaanmu? Apa sudah baikan?” tanya balik pria itu seraya menggenggam perlahan pundak dan lutut Raksha bergantian. Sesekali mengeratkan genggamannya seolah sedang menguji keras tubuhnya Raksha.

“Saya rasa baik, tuan.” jawab Raksha mengambang. “Maaf....tuan siapa? Saya rasanya tidak pernah mengenal tuan di desa ini.” Dia memberanikan diri bertanya.

Pria itu berhenti meraba tubuh Raksha. Dia menatapi Raksha lekat. “Aku memang bukan orang desa sini, Raksha. Tapi pertanyaannya yang benar adalah.....kenapa kau tidak menanyakan kalau aku ini adalah prajurit Kanezka atau bukan, Raksha?”

“Awalnya saya mengira seperti itu, tuan. Postur tubuh tuan begitu perkasa, seperti para prajurit Kanezka. Tetapi tuan memanggil saya dengan nama saya. Jadi saya tidak menduga kalau tuan adalah prajurit Kanezka. Mereka tidak pernah menyebut kami dengan nama kami.”

Pria itu mengangguk-angguk, tetapi sorot matanya masih serius. “....kalaupun aku bukan prajurit Kanezka, kenapa kau memilih mempercayaiku? Aku bisa saja seorang bandit yang ingin meracunimu, bukan?” tantangnya.

Tidak pernah terbesit sedikitpun dalam benak Raksha akan pikiran seperti itu. Namun dia tetap punya alasan untuk menjawab pertanyaan pria itu. “Saya ragu kalau bandit akan mengincar saya. Saya hanyalah pemuda yang kini tidak memiliki harta dan keluarga, tuan.” jawab Raksha sendu.

“Pelajaran pertama.” sela pria itu sambil mengarahkan telunjuknya persis tepat di wajah Raksha sampai-sampai Raksha tersentak kaget. “Selama kau hidup, kau pasti memiliki sesuatu yang berharga yang akan direbutkan paksa oleh orang jahat. Pertahankan itu sekuat yang kau bisa demi harga dirimu.”

Raksha diam sejenak, sampai akhirnya dia mengangguk karena pria itu seolah menunggu jawabannya.

“Pelajaran kedua.” Pria itu menunjukkan jari tengahnya sekarang. “Jangan pernah menganggap semua orang yang baru saja kau temui itu baik padamu. Mereka bisa saja memiliki maksud yang buruk. Bukankah desamu ini terjajah karena kalian terlalu naif?”

Raksha terkesiap kaget. Perkataan pria itu benar karena sebelumnya, tetua desa menyambut para prajurit Kanezka yang semula mereka anggap sedang bertamu untuk istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanannya kembali ke ibukota. Namun tidak ada seorang pun di desa yang menyangka di malamnya, para prajurit Kanezka beraksi. Hal pertama yang mereka lakukan adalah membunuh tetua desa dan siapapun yang berani melawan, hingga akhirnya semua orang di desa diperbudak dan diperlakukan semena-mena dengan tuduhan bahwa desa ini adalah sumber dari pengkhianat Nusantara.

“Apa kau mengerti, Raksha?”tanya pria itu menekan.

“Y-ya, tuan. Saya, kami semua, terlalu naif.” jawab Raksha pelan.

“Bagus. Lalu, kenapa kau memilih untuk mempercayaiku?”

Raksha diam agak lama. DIa tidak sadar kalau dia mundur dua langkah untuk menjaga jarak dengan pria itu. “Saya percaya karena saya merasa tuan akan membantu saya. Saya tidak punya alasan yang jelas, tuan. Ini hanya insting saya.”

Pria itu tertawa lepas mendengar jawaban jujur Raksha. Raut mukanya kembali santai seperti sebelumnya. “Bagus. Apa kau ingin mengubur keluargamu sekarang?”

Raksha menegadah sejenak, melihat langit malam sudah datang menaungi. Sekilas dia mengedarkan pandangannya, tidak terlihat prajurit Kanezka yang patroli ataupun penduduk desa. Kemungkinan mereka mengira Raksha sudah tewas sehingga mereka meninggalkannya begitu saja. Ini kesempatan baginya.

“Ya, tuan. Saya ingin mengubur mereka sekarang.” Raksha bergegas mengangkut jenazah ibunya, yang tidak dia sangka ternyata begitu ringan, seolah-olah dia sedang mengangkat satu ikat padi.

Raksha yang penasaran akhirnya mengangkat jenazah adiknya dan ayahnya, yang ternyata sama ringannya. Ini aneh, pikirnya. Dia tahu kalau dia biasa membawa batu-batu berat saat disuruh kerja paksa oleh prajurit Kanezka, tetapi dia tidak menyangka kalau jenazah keluarganya itu menjadi begitu ringan. Ini tidak wajar.

Di tengah keheranannya, Raksha baru sadar kalau pria itu menatapinya dengan raut muka puas.

“Kenapa? Kau ingin mengangkut sendiri semua keluargamu?” pancing pria itu.

Pertanyaan yang aneh, pikir Raksha. Dia merasa kalau pria itu seolah tahu kalau dia ingin melakukan itu.

“Ya, tuan. Saya bisa membawa mereka semua sendirian.” Raksha mengambil sepotong kain usang didekatnya lalu mengikat ketiga jenazah keluarganya di punggungnya sehingga dia bisa mengangkat mereka bersamaan ke tanah kosong untuk  dikuburkan. Dugaannya benar, dia bisa mengangkut semua jenazah keluarganya begitu enteng. Ini menjadi pertanyaan didalam kepalanya.

“Anu, tuan....”

“Ya, Raksha?”

“Saya merasa ada sesuatu yang tidak wajar yang terjadi pada saya.”

“Apa itu berdampak baik atau buruk bagimu?”

“Dampaknya baik, tuan.”

“Selama itu baik bagimu, kenapa kau pertanyakan lagi, Raksha?”

Raksha termenung. Pertanyaan terakhir pria itu membuat Raksha berpikir kalau dia seharusnya berpikir kedepan akan kehidupannya. Dia pun akhirnya memilih untuk diam selama perjalanan untuk fokus mengubur jenazah keluarganya terlebih dahulu.

“Raksha, kau boleh memanggilku Jayendra.” ujar pria itu tiba-tiba di tengah perjalanan.

Raksha merasa nama itu adalah nama yang familiar dan sering dia dengar ketika dia mengantar hasil olahan padi desanya ke ibukota dulu, tetapi dia lupa. Seingatnya, nama Jayendra itu adalah nama yang unik dan hanya orang dari kalangan bangsawan yang boleh menggunakan nama itu.

“Terima kasih Tuan Jayendra.” balas Raksha sopan.

“Simpan tenagamu, Raksha. Masih banyak yang harus kita lakukan malam ini.”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Elljie Bigboy
bagus lanjut kn
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status