Sinar rembulan yang menaungi membuat malam ini tidak terlalu temaram. Keheningan malam kala itu terusik dengan suara galian tanah yang tengah dilakukan Raksha.
Raksha menatap kedua tangannya yang berwarna coklat karena tanah. Dia masih tidak percaya dia bisa menggali lubang cukup dalam lalu mengubur jenazah keluarganya hanya dengan kedua tangannya semata. Lebih anehnya lagi, tangannya tidak terasa sakit dan tubuhnya tidak terasa lelah. Jayendra pun tidak membantunya sama sekali saat dia mengubur mayat keluarganya. Sejauh manapun Raksha berpikir, dia masih merasa kalau hal ini tidak masuk akal.
“Raksha, ini.” Jayendra tiba-tiba datang memberikan tiga pasak batang kayu.
Raksha tidak tahu Jayendra dapat pasak kayu itu dari mana, tetapi dia menerimanya lalu menggunakannya untuk dijadikannya nisan untuk makam almarhum ayah, ibu, dan adiknya.
“Saya harap mereka dapat hidup damai di dunia arwah.” ujar Raksha lirih.
“Kau bisa mengunjungi mereka kalau kau mau, Raksha.” sela Jayendra.
“M-maksud, tuan?”
“Tidak perlu menyembunyikan sesuatu dariku. Pendekar Dunia Arwah sejatinya tidak aneh dengan mengunjungi dunia arwah.”
“Kekuatan saya tidak sampai sebesar para Pendekar Dunia Arwah.” jawab Raksha setelah jeda lama. Tubuhnya mendadak gemetaran takut ketika dia mengingat kembali para pendekar Dunia Arwah yang ada didesanya dibunuh secara perlahan dan kejam oleh pendekar Kanezka. Siksaan yang dia derita selama ini bisa dibilang masih beruntung dibandingkan yang lain.
Sejenak Raksha berdoa atas kepergian keluarganya yang berakhir tragis. Sekelebat kenangannya ketika dia bekerja mengangkut hasil padi bersama ayahnya, membantu ibunya menyiapkan makan besar, dan bermain bersama adiknya di ladang sawah, membuat dia kembali meneteskan air mata.
“Saya tidak mengerti, tuan. Kami sekeluarga hanyalah orang desa kecil yang tidak pernah tahu intrik kekuasaan Kerajaan Kanezka. Sedikitpun kami tidak pernah menzalimi siapapun. Namun kami yang menjadi kambing hitamnya. Kami yang menjadi korbannya. Ini adalah malapetaka. Sebuah kesialan yang luar baisa.” ujar Raksha lirih.
“Apa kau sedang menyalahkan Kanezka?”
“T-tentu saja, tuan! Siapa lagi kalau bukan orang-orang biadab itu?!” Raksha mendadak marah karena emosinya yang meluap-luap, tetapi air muka Jayendra masih tampak tenang.
“Apa kau pernah berpikir kalau kau juga turut andil dalam tragedi ini?”
Raksha mendadak berdiri karena tidak terima dirinya disalahkan. “Apa maksud anda, tuan?! Saya-”
“Kau lemah. Itulah kesalahanmu.”
Raksha mematung. Semua kemarahannya mendadak redup karena dia tidak bisa membantah pernyataan Jayendra.
“Apa kau pikir setelah Sang Pahlawan Abimanyu meninggal, Nusantara akan kembali damai? Tentu saja tidak. Orang-orang serakah dan jahat yang berambisi menguasai nusantara akan bermunculan sepeninggalan Abimanyu. Apa mereka memikirkan kalian yang tidak bersalah ini? Tidak. Bagi mereka, cara apapun akan mereka lakukan, termasuk membunuh keluargamu dan menghancurkan desamu tanpa alasan yang jelas. Mereka tidak akan menunggumu sampai kau siap melawan mereka.”
Raksha mengepal kedua tangannya. Kesedihannya berangsur berubah menjadi kemarahan yang meledak-ledak dalam hatinya. “Ini tidak adil, tuan.”
“Dunia tidak pernah adil, Raksha. Ingat itu baik-baik.”
Raksha menundukkan kepalanya lalu berlutut di hadapan makam keluarganya. Air matanya kembali berurai. Andai saja dia bisa melihat masa depan. Andai saja dia menerima tawaran Guru Klan Pendekar Dunia Arwah dulu untuk menjadi pendekar yang hebat yang bisa melindungi keluarganya. Mungkin dia masih bisa menikmati kehangatan keluarganya. Namun semuanya sudah terlambat. Yang tersisa hanyalah penyesalan.
“Semuanya belum berakhir, Raksha.” tegur Jayendra perlahan sambil menggenggam pundak kanan Raksha. “Kau masih hidup, yang berarti ini adalah kesempatan bagimu untuk membalaskan dendam.”
“Dendam?”
Soal amarahnya, Raksha tidak perlu berpikir terlalu panjang. Para bedabah Kanezka itu pantas mendapatkan kematian yang perlahan dan menyakitkan. Tetapi apa dia bisa? Dia tahu kalau ada sesuatu dalam dirinya yang berubah, sampai-sampai tubuhnya terasa jauh lebih kuat, enteng, bahkan luka-lukanya pun pulih dengan ajaib. Namun dia masih berpikir lebih dari sepuluh kali untuk memperkirakan apakah dia memang punya kesempatan untuk melawan mereka semua.
“A-apa saya bisa, tuan?” tanya Raksha penuh harap sambil menatap Jayendra.
“Pertanyaan itu hanya kau yang bisa jawab, Raksha.” balas Jayendra santai. “....atau kau ingin menanyakan keluargamu?” lanjutnya seraya menyentuh tanah di sekitar makam keluarga Raksha.
Mendadak Raksha merasakan ada aura yang menekan saat melihat Jayendra. Aura itu kian menguat hingga memendarkan warna ungu tua kehitaman di lengan kiri Jayendra. Siapa sebenarnya dia? Saat itu, Raksha belum sadar kalau Jayendra tengah mengeluarkan jurus sakti Pendekar Dunia Arwah, yakni Pembangkit Jiwa.
Beberapa saat berlalu, Raksha merasakan ada beberapa orang baru yang hadir. Suatu perasaan nostalgia yang mendadak berkecamuk di hatinya tanpa alasan yang jelas. Setelah dia menatap makam keluarganya, dia terdiam tidak percaya ada arwah ayah, ibu dan adiknya tengah mengelilinginya. Penampilan mereka sama seperti mereka sebelum meninggal, bedanya, mereka diselimuti aura berwarna hitam keunguan.
“Ayah! Ibu! Ira!” tangis Raksha meledak seraya memeluk ketiga arwah keluarganya. Ketiganya tersenyum seraya membuka mulutnya untuk bercakap, tetapi tidak terdengar kata yang terucap. Raksha mengerti karena tidak sembarang orang yang bisa mengerti bahasa arwah, apalagi memanggil arwah orang yang baru saja mati.
Walau tanpa kata-kata, Raksha mengerti kalau setiap dari mereka tidak menyesal ataupun marah atas tragedi yang menimpa mereka. Namun bagi Raksha, dia masih tidak menerima kezaliman yang menimpa keluarganya. Kemarahannya yang semula menggebu kini kian meruncing menjadi determinasi untuk membalas dendam. Entah caranya bagaimana, kalaupun dia harus melalui neraka untuk itu, apapun akan dia lakukan.
“Jaga dirimu, Raksha.”
“Jangan salahkan dirimu.”
“Nanti kita main lagi, kak!”
Ketiga arwah keluarga Raksha pun berangsur redup, bagai api yang hendak padam, lalu menghilang di hadapannya. Raksha termenung sejenak menatapi kepergian mereka lalu menyeka air mata yang merembes memenuhi kedua pipinya.
Tatapan Raksha menajam. Dia bisa merasakan getaran di telapak tangan kirinya. Getaran ini pernah dia rasakan ketika Jayendra mengeluarkan jurus pembangkit jiwanya.
Perlahan Raksha memfokuskan diri, getaran yang semula tidak terkendali di telapak tangan kirinya kini dapat dia kendalikan hingga berkalibrasi sesuai dengan denyut nadinya. Dia bahkan bisa melihat aura ungu tua tipis yang terpancar sekilas di telapak tangan kirinya.
“Tuan Jayendra! Ini-”
Raksha berhenti. Dia tidak melihat Jayendra dimanapun. Sebelum dia berteriak dan mencari Jayendra lebih jauh, terdengar langkah kaki zirah yang datang mendekat. Dari langkahnya yang berat, dia tahu kalau itu langkah kaki prajurit Kanezka.
“Hei! Siapa disana?!” seru sang prajurit seraya berjalan cepat ke arah Raksha.
Jantung Raksha berdegup cepat. Kalau dia kabur sekarang, maka makam keluarganya akan dihancurkan karena Kanezka tidak akan membiarkannya. Kalau dia melawan, maka nyawanya adalah taruhannya.
Kemana Jayendra di saat genting seperti ini?
Langkah prajurit Kanezka yang menghampiri kala itu terasa mendetum di dada Raksha. Baru saja Raksha berdiri, si prajurit langsung menampar pipinya keras hingga Raksha terpelanting.“Ah! Aku ingat kau! Kau bocah yang tadi siang! Kau masih hidup ternyata?!” seru prajurit itu berang. Dia melirik makam keluarga Raksha. ”Kau sampai mengubur keluargamu?! Dasar bocah kurang kerjaan! Buat apa repot-repot?! Desa ini akan habis dibakar! Orang-orang akan tahu kalau pengkhianat hukumannya mati!” lanjutnya kasar.Dulu mungkin Raksha pasti akan ketakutan setiap ada prajurit Kanezka memojokannya. Namun sekarang semuanya berubah. Semua ketakutan itu kini telah berganti menjadi amarah.Tamparan prajurit itu tidak terlalu ketara seperti sebelumnya sehingga Raksha cukup kuat untuk bangkit dan menatap balik prajurit itu. Namun si prajurit masih memandang remeh Raksha yang dia pikir adalah seorang pemuda yang lemah dan tidak berdaya.Si prajurit memfokuskan dirinya sehingga lengan kanannya memancarkan cah
“Hahhh…..Hahh….”Raksha berlari berulang kali membuka mulutnya lebar untuk mengambil napas sebanyak mungkin. Dadanya sudah kembang kempis, jantungnya berdegup cepat, tubuhnya bercucuran keringat deras, bahkan kepalanya pun semakin pusing. Namun dia berusaha sekuat mungkin untuk terus menapakkan kakinya yang sudah pegal itu untuk terus berlari memutari bukit sekitar 10.000 kaki dari desanya.Raksha berlari semenjak tengah siang hingga langit kian jingga. Kedua pergelangan tangan dan kakinya diikat rantai besi dari gurunya. Rantai itu adalah rantai khusus yang membuat kekuatannya tertahan sehingga dia tidak bisa melepaskan seluruh tenaga dalamnya. Gurunya bilang rantai ini biasa dipakai Prajurit Kerajaan Kanezka untuk melemahkan Pendekar Dunia Arwah.“Berlarilah sekuat yang kau bisa, Raksha. Putari bukit ini.”“Berapa putaran, guru?”“Sebanyak yang kau bisa….sampai kau sadar kalau berlatih menjadi pendekar Dunia Arwah tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.”Sekilas, Raksha menging
“Ribuan prajurit mungkin bisa menghancurkan istana dari luar, tetapi seorang prajurit yang menyusup dengan cerdik bisa membunuh raja yang berlindung didalam istana.”Kata-kata Jayendra itu masih terngiang di benak Raksha. Karena itu juga, Raksha memutuskan untuk kembali ke desanya setelah tujuh hari dilatih Jayendra. Sekilas dia melihat para penduduk desa terdiam kaget melihat kedatangannya, tetapi mereka memilih membisu, khawatir prajurit Kanezka akan menyiksanya nanti.“Hei, bocah!”Raksha berhenti saat salah satu prajurit Kanezka menyeru memanggilnya. Derap langkah kaki zirah berdatangan menghampirinya. Dia perlahan bungkuk untuk menaruh hormat dengan wajah tertunduk kepada mereka. Tidak disangka, orang yang memanggilnya itu adalah, Suja Bhagawanta, sang komandan pasukan Kanezka yang membunuh keluarganya sebelumnya.“Kukira kau sudah mati, bocah.” seru Suja remeh seraya menyepak wajah Raksha kasar.Raksha terpelanting, tetapi kini dia bisa menahan rasa nyeri itu berkat Kanuragan O
Gerbang pintu terbuka lebar dari dalam. Raksha mengedarkan pandangannya sekitar, melihat puluhan prajurit Kanezka di berbagai sisi tengah sibuk dengan aktivitasnya. Ada yang sedang berlatih bersama, ada yang sedang membereskan zirah mereka, dan sebagian besar lainnya hilir mudik di halaman.Markas pasukan Kanezka yang ada di desa Raksha ini adalah kediaman tetua desa yang dibuatkan benteng kayu sementara. Semenjak tetua desa dibunuh beserta keluarganya, rumah tetua desa yang relatif paling besar dibandingkan rumah penduduk desa lainnya dijadikan markas sementara oleh Kanezka.Di halaman tetua desa yang luasnya hampir 300 kaki, banyak tenda darurat yang dibuat oleh prajurit Kanezka untuk menyimpan perlengkapan mereka. Tenda khusus untuk tempat makanan ada di pojok timur, dekat dengan posisi dapur.Sekilas Raksha melihat, para prajurit Kanezka disini hilir mudik tampak sibuk, seolah-olah mereka sedang dikejar sesuatu. Apa sang komandan telah memberikan perintah baru pada mereka? Baru sa
“Guru adalah salah satu anggota keluarga kerajaan Mavendra?” Raksha bertanya lagi untuk memastikan. Jayendra hanya mengangguk singkat untuk menjawabnya.“Maaf, guru, saya bukan bermaksud lancang, tapi yang saya dengar dari kebanyakan orang, keluarga Mavendra sudah-”“Tewas semua? Itu setengah benar. Sebagian dari kami masih hidup dan kabur dari cengkeraman Kanezka. Mereka ingin memastikan kematian setiap dari kami.”“Kalau begitu guru harus kabur! Nyawa guru terancam!”“....lalu membiarkan orang-orang didesamu mati sia-sia?”Raksha membisu. Dia tidak bisa mengiyakan pertanyaan itu karena dia tidak mau desanya hancur.“Aku tidak memiliki pilihan lain.” Jayendra membuka sebagian jubahnya, memperlihatkan luka sayatan hebat sepanjang punggung dan perutnya. Tidak ada darah yang timbul dari luka itu, tetapi sebagian warna kulit di sekitar lukanya itu berwarna hitam. “Di perang terakhir melawan Kanezka, aku terkena racun mematikan yang membuatku gerakanku terbatas. Aku masih butuh waktu untu
Siluman adalah arwah hewan buas atau hewan mistik yang ada di nusantara. Jayendra menjelaskan, bagi para Pendekar Dunia Arwah, mengendalikan siluman adalah sesuatu yang berisiko, tetapi sangat membantu ketika dibutuhkan.Biasanya para Pendekar Dunia Arwah yang masih amatir bergerak secara berkelompok, kurang lebih terdiri dari lima sampai sepuluh orang, untuk mengendalikan satu siluman yang tangguh. Namun sekarang tantangannya adalah Raksha hanya seorang dan taruhannya adalah nyawa Raksha sendiri.“Saya sudah berjanji pada guru dan saya tidak mau menarik balik kata-kata saya lagi, guru.” tegas Raksha walau dia masih sedikit cemas dalam hatinya.“Ada garis yang tipis yang membedakan apakah orang itu pemberani atau nekat, Raksha. Kau bisa saja mati konyol.”“Kalau aku tidak bisa mengendalikan siluman, maka semua rencanaku untuk membalas Kanezka akan sia-sia, guru. Tolong berikan saya kepercayaan. Saya akan lakukan apa yang saya bisa untuk melindungi guru.”Jayendra tertegun sejenak mend
Semilir angin berhembus menerpa pelan rumput panjang di sekitar Raksha. Tempat dia berada sekarang lebih sunyi daripada sebelumnya. Sekitar 15 kaki didepannya, terdapat siluman harimau yang tubuhnya dua kali lebih besar dari siluman harimau lainnya. Raksha tahu kalau siluman harimau didepannya itu adalah pimpinan siluman harimau yang memburunya.“Jadi ini yang kau incar, bocah? Duel denganku?” tantang siluman harimau itu dengan nada berat.“....tidak ada artinya kalau aku tidak berhasil meyakinkanmu.” Raksha memasang kuda-kuda. Aura ungu dari Kanuragan Ozora yang tengah menyelimuti lengan kirinya memancar terang seiring dengan kian membaranya kanuragan yang ada di dalam tubuhnya.“Kupikir kau hanyalah bocah nekat yang mempertaruhkan nyawamu dengan nafsu belaka. Tetapi aku salah. Kau memikirkan semua ini dengan matang.”Sang siluman harimau itu berdiri dengan dua kakinya. Api arwah berwarna hitam menyelimuti seluruh tubuhnya sehingga bentuknya yang semula menyerupai harimau kini beruba
Raksha merasakan lagi dinginnya semilir angin malam yang menerpa tubuhnya. Adrenalin yang membuncah di tubuhnya sejak duelnya dengan Asoka membuat dia sempat lupa kalau malam ini begitu dingin. Tangan kirinya yang tengah mencengkeram kuat kepala Asoka perlahan dia longgarkan karena dia tidak lagi merasakan hawa membunuh dari musuhnya itu.Sesaat setelah Raksha melepas cengkeramannya, Asoka tumbang. Gemersik rerumputan yang terdengar karena terbuai angin malam kala itu menyadarkan Raksha bahwa siluman harimau lainnya yang berhasil dia tipu sebelumnya baru saja tiba di lokasinya. Mereka semua tidak percaya kalau pimpinan mereka tengah tersungkur tidak berdaya di hadapan seorang pemuda yang telah mereka remehkan sebelumnya.“Kukira Mavendra sudah tamat.” Asoka menatap lemah Raksha. “...ternyata mereka masih belum menyerah melawan kezaliman Kerajaan Kanezka. Kau telah memilih jalan yang penuh darah.” lanjutnya.“Aku telah kehilangan semuanya. Kau boleh bilang ini adalah jalan penuh darah,