“Semuanya! Ikuti aku!”Usai Sena menyimpan tongkat emasnya di balik punggungnya, dia pun langsung mengangkut Wanda yang masih tidak sadarkan diri. Seruannya yang keras membuat perhatian puluhan pendekar dewa angin yang masih kewalahan untuk kembali bangkit untuk melarikan diri. Ardiman yang ikut dibantu bangkit oleh para pendekar dewa angin pun kini sadar akan kehadiran Sena yang baru saja menolongnya untuk menjauh. Dia melihat Rakshasa sedang mengalihkan perhatiannya untuk melawan Raksha.“Suradarma….kau…membantu…kami…?” ujar Ardiman di tengah tubuhnya yang sekarat dan tertatih-tatih.“Sekarang bukan saatnya untuk mencurigaiku dan Raksha, Tuan Ardiman! Kita harus segera melarikan diri!” seru Sena balik.Ardiman tidak bisa membantahnya. Kondisinya dan seluruh pasukannya sudah sekarat dan kalau Rakshasa kembali menyerangnya maka kematian adalah kepastian yang akan menimpa mereka semua. Dia pun akhirnya memilih untuk menghilangkan kecurigaan terhadap Sena dan Raksha, lalu memilih memuta
“Kami harus menghajar anda, Yang Mulia?”Asoka dan Gardapati masih kebingungan dengan perintah Raksha. Mereka berdua bahkan kaget ketika melihat Raksha memanggil Suja dari balik bayangannya.“Suja, kau pukul perutku. Asoka kau cabik punggungku. Gardapati kau gigit pundakku.” Perintah Raksha sembari menunjuk ke arah perut, punggung, dan pundaknya.“Apa Yang Mulia yakin dengan ini?” tanya Suja sama bingungnya.“Aku hanya ingin memastikan Sena percaya dengan ceritaku tadi. Cepat lakukan sebelum terlambat!” tegas Raksha sambil menyeru.Asoka dan Gardapati pun berhenti ragu. Asoka yang pertama kali melesat ke punggung Raksha lalu mencakar sebagian punggung Raksha dengan tinju cakarnya yang sengaja dia tidak buat terlalu mematikan agar tuannya bisa menahannya.Raksha bisa merasakan guratan yang tajam di sepanjang pinggangnya hingga darahnya sempat menyembur perlahan, tetapi dia masih bisa menahannya karena dia tahu Asoka menahan diri. Sepersekian detik setelah itu, Gardapati datang menerjan
“Ah, akhirnya kita sampai, Raksha!”Sena buru-buru beranjak sambil menatap pelabuhan Kota Udayana yang semakin dekat dari perahunya. Dari terpaan angin kencang dan air yang tidak berombak, dia tahu kalau perahu yang tengah dia tumpangi itu akan membawa dirinya dan Raksha beberapa menit lagi.Raksha yang melihat ke arah yang sama awalnya menghela napas lega karena dia pun ingin istirahat sejenak. Namun kecurigaan tiba-tiba datang menyelimuti pikirannya ketika dia melihat seorang pria jangkung bertubuh gemuk yang mengenakan seragam katun berwarna ungu dengan rompi dan ikat pinggang berwarna kuning tengah duduk di ujung pelabuhan Udayana. Pria itu adalah Panji Mahadri, salah satu pendekar Dewi Pertiwi yang dulu pernah hampir membunuhnya karena kebenciannya terhadap pendekar Kanuragan Wiratama.Raksha semakin waspada ketika melihat ada dua pria paruh baya yang mengenakan pakaian seragam katun ungu yang sama seperti Panji tengah berdiri tegak di sebelah Panji. Kedua pria paruh baya itu ber
“Ah, ini tidak adil!”Sena menendang kursi yang ada di ruang jeruji depannya. Emosinya yang masih meletup-letup memaksa dia untuk duduk di salah satu ranjang jeruji sambil memijat-mijat dahinya yang mendadak terasa pusing. Niatannya untuk segera istirahat di Padepokan Kanuragan Wiratama pupus sudah karena keluarga Mahadri memaksa Raksha dan Sena masuk ke dalam penjara karena masih diduga mencuri pusaka suci milik Keluarga Jagadita dan Keluarga Nismara.“Padahal baru saja kita bebas dari penjara Keluarga Jagadita, sekarang Keluarga Mahadri malah memenjarakan kita lagi?! Ada apa dengan kebebalan mereka?! Mereka bahkan bilang kalau kita bisa bebas kalau kita bisa mengembalikan pusaka suci Keluarga Jagadita dan Keluarga Nismara?! Apa mereka itu dungu?! Sudah kubilang berkali-kali kalau kita berdua ini bukan pencuri!” Sena masih meluapkan amarahnya sambil mengepal kedua tinjunya keras. Cahaya perak Kanuragan Khsatriyans sempat memancar terang untuk membentuk tombak perak yang akan dia guna
“Raja Widyanata Harapan Baru Nusantara!”“Mari songsong Masa Depan Gemilang bersama Dewa Kartikeya...!”Raksha membuka kedua matanya dengan berat hati, Teriakan para prajurit kerajaan Kanezka itu hampir saja membuat kepalanya pecah. Belum lagi derap langkah kaki zirah mereka yang terdengar serentak keras menggetarkan jantungnya hebat.“Musnahlah kalian, Sakra! Musnahlah kalian Yaksha! Musnahlah kalian Rakshasa!”“Terkutuklah kalian, Mavendra!”“Celakalah kalian, Pendekar Dunia Arwah...!”“Hancurlah kalian, Titisan Ashura! Kalian tidak ada tempat di bumi Nusantara!”Teriakan para prajurit Kanezka semakin terdengar jelas. Dunia yang Raksha lihat masih setengah buram. Seluruh sendi tubuhnya masih terasa linu karena dia menghabiskan istirahat malamnya di hamparan tanah kering penuh batu kerikil beratapkan langit sambil diterpa angin yang dinginnya menusuk tulangnya.Raksha terhuyung-huyung hampir jatuh karena terlalu cepat bangun. Lebam di sekujur tubuhnya pun sontak menusuk, tapi sebisa
“Hei, bangun.”Raksha merasakan ada yang menggenggam pundaknya dengan tangan yang terasa besar dan hangat. Dia awalnya menolak bangun, tetapi sesorang terus memanggilnya hingga kesadarannya lama-lama pulih.Sekilas Raksha memaksakan diri untuk membuka matanya, dia melihat pria jangkung bertubuh kekar mengenakan jubah panjang penuh robek berwarna coklat tua usang. Rambut pria itu panjang berantakan berwarna hitam. Tatapannya hangat, berbeda dengan para prajurit Kanezka yang mencekam dan menakutkan. Sebelum Raksha membuka mulutnya, pria itu memeluknya erat.“Maaf. Ini pasti berat bagimu.” ujar pria itu menahan sendu.Kata-kata itu membuat Raksha teringat akan tragedi yang menimpa keluarganya. Dia melihat sekitar, dan ternyata tragedi itu bukanlah mimpi buruk belaka. Semua pembunuhan sadis itu nyata dan terjadi persis di depan matanya. Beberapa saat setelah itu, dia kembali menangis.“Tidak apa-apa. Menangislah. Tumpahkan semua kesedihan dan kemarahanmu atas tragedi ini.” hibur pria itu.
Sinar rembulan yang menaungi membuat malam ini tidak terlalu temaram. Keheningan malam kala itu terusik dengan suara galian tanah yang tengah dilakukan Raksha.Raksha menatap kedua tangannya yang berwarna coklat karena tanah. Dia masih tidak percaya dia bisa menggali lubang cukup dalam lalu mengubur jenazah keluarganya hanya dengan kedua tangannya semata. Lebih anehnya lagi, tangannya tidak terasa sakit dan tubuhnya tidak terasa lelah. Jayendra pun tidak membantunya sama sekali saat dia mengubur mayat keluarganya. Sejauh manapun Raksha berpikir, dia masih merasa kalau hal ini tidak masuk akal.“Raksha, ini.” Jayendra tiba-tiba datang memberikan tiga pasak batang kayu.Raksha tidak tahu Jayendra dapat pasak kayu itu dari mana, tetapi dia menerimanya lalu menggunakannya untuk dijadikannya nisan untuk makam almarhum ayah, ibu, dan adiknya. “Saya harap mereka dapat hidup damai di dunia arwah.” ujar Raksha lirih.“Kau bisa mengunjungi mereka kalau kau mau, Raksha.” sela Jayendra.“M-maksu
Langkah prajurit Kanezka yang menghampiri kala itu terasa mendetum di dada Raksha. Baru saja Raksha berdiri, si prajurit langsung menampar pipinya keras hingga Raksha terpelanting.“Ah! Aku ingat kau! Kau bocah yang tadi siang! Kau masih hidup ternyata?!” seru prajurit itu berang. Dia melirik makam keluarga Raksha. ”Kau sampai mengubur keluargamu?! Dasar bocah kurang kerjaan! Buat apa repot-repot?! Desa ini akan habis dibakar! Orang-orang akan tahu kalau pengkhianat hukumannya mati!” lanjutnya kasar.Dulu mungkin Raksha pasti akan ketakutan setiap ada prajurit Kanezka memojokannya. Namun sekarang semuanya berubah. Semua ketakutan itu kini telah berganti menjadi amarah.Tamparan prajurit itu tidak terlalu ketara seperti sebelumnya sehingga Raksha cukup kuat untuk bangkit dan menatap balik prajurit itu. Namun si prajurit masih memandang remeh Raksha yang dia pikir adalah seorang pemuda yang lemah dan tidak berdaya.Si prajurit memfokuskan dirinya sehingga lengan kanannya memancarkan cah