“Hahhh…..Hahh….”
Raksha berlari berulang kali membuka mulutnya lebar untuk mengambil napas sebanyak mungkin. Dadanya sudah kembang kempis, jantungnya berdegup cepat, tubuhnya bercucuran keringat deras, bahkan kepalanya pun semakin pusing. Namun dia berusaha sekuat mungkin untuk terus menapakkan kakinya yang sudah pegal itu untuk terus berlari memutari bukit sekitar 10.000 kaki dari desanya.
Raksha berlari semenjak tengah siang hingga langit kian jingga. Kedua pergelangan tangan dan kakinya diikat rantai besi dari gurunya. Rantai itu adalah rantai khusus yang membuat kekuatannya tertahan sehingga dia tidak bisa melepaskan seluruh tenaga dalamnya. Gurunya bilang rantai ini biasa dipakai Prajurit Kerajaan Kanezka untuk melemahkan Pendekar Dunia Arwah.
“Berlarilah sekuat yang kau bisa, Raksha. Putari bukit ini.”
“Berapa putaran, guru?”
“Sebanyak yang kau bisa….sampai kau sadar kalau berlatih menjadi pendekar Dunia Arwah tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.”
Sekilas, Raksha mengingat kembali percapakan terakhirnya dengan gurunya sebelum dia mulai disuruh berlari mengitari bukit dekat desanya. Memang, setelah menjalani latihan berat ini, dia tidak merasakan sedikit pun antusias yang sama seperti sebelumnya. Hanya ada rasa nyeri, lelah, dan pahit. Sempat terpintas berkali-kali keinginan untuk menyerah. Namun pada akhirnya, dia tetap memilih untuk mengangkat kakinya dan menganyun kedua lengannya untuk lanjut berlari.
Raksha terhuyung, Lututnya yang sudah lemas membuat dia tersandung lalu terjatuh. Dia tersungkur sejenak sambil mengatur napasnya. Kulitnya serasa terbakar karena panas tubuhnya. Semua rasa antusias yang dia rasakan sebelum memulai latihan ini luntur saat rasa sakit di tiap ototnya itu menerpa. Rasa sesal berulang kali menyelimuti hatinya, tetapi pada akhirnya, dia lanjut merangkak sambil menunggu rasa sakit di kakinya mereda.
Setelah dirasa sudah kuat lagi, Raksha bangun. Dia tidak langsung berlari, tetapi berjalan perlahan, mempersiapkan tubuhnya lagi, lalu lanjut berlari pelan. Rasa sakit dan nyeri kembali menusuk, tetapi Raksha memfokuskan dirinya untuk mengatur tempo napas dan kecepatan larinya untuk meredakan semua kesakitan itu. Hal yang dia tuju adalah konsisten untuk terus berlari.
Langit jingga di sore kala itu perlahan gelap, menandakan malam telah tiba. Raksha tidak sadar kalau di belakangnya, Jayendra berjalan cepat mengikutinya dari belakang entah sejak kapan. Raksha lari lambat sehingga Jayendra masih bisa mengimbangi kecepatannya.
“Kau lari dari pagi sampai malam, Raksha.” ujar Jayendra di sebelah Raksha. Muridnya itu tampak kaget, tetapi dia masih mempertahankan kecepatan larinya.
“Y-ya….guru….” Raksha langsung terengah-engah hanya untuk menjawab gurunya itu.
“Kau menyiksa dirimu lebih dari yang seharusnya, Raksha. Apa kau begitu inginnya menjadi Pendekar Dunia Arwah?”
“Bukan itu, guru. Aku tidak punya pilihan lain.”
“Tidak punya pilihan lain?”
“Aku lebih baik mati saat berlatih seperti ini darpiada aku mati dalam kesedihan ditinggalkan keluargaku dan direnggut kebebasanku”
Jayendra tersenyum. Dia melihat tatapan muridnya yang nanar dan kabur. Tangannya bergerak cepat untuk merangkul Raksha yang tumbang karena sudah tidak kuat lagi. Dia bisa merasakan muridnya masih mendorongnya perlahan untuk lanjut berlari, tapi ketika dia melihat tatapan kosong muridnya, dia tahu kalau Raksha sudah kehilangan kesadaran. Muridnya ini benar-benar berupaya untuk menembus batasan pada dirinya, pikir Jayendra sambil tersenyum.
“Cukup, istirahatlah, muridku. Kita akan lanjutkan ini di tengah malam.” Jayendra mengusap sekilas kedua mata muridnya itu hingga tertutup. Dia lalu melepas rantai yang mengikat kedua pergelangan tangan dan kaki muridnya. Tepat setelah itu, Raksha tersungkur pingsan
***
“Ah!”
Raksha mendadak bangun dengan perasaan gundah. Langit malam penuh bintang adalah hal pertama yang dia lihat. Rasa nyeri dan letih yang melanda tidak lagi menahan tubuhnya sehingga dia reflek lanjut berlari untuk mengelilingi bukit walau kesadarannya belum sepenuhnya pulih.
Sebelum Raksha menapakkan kakinya lagi, dia reflek berhenti ketika melihat mayat harimau ada didepannya. Darah harimau itu masih mengucur dari lehernya yang robek, tetapi Raksha yakin kalau harimau itu telah mati karena dia tidak mendengar suara hembusan napas dan dadanya pun tampak datar.
“Kau sudah bangun, Raksha.”
“Guru?!” Raksha kaget karena baru sadar gurunya itu tengah duduk di batu besar yang ada sekitar 15 kaki di sebelahnya.
“Saya akan lanjut ber-“
“Jangan. Lanjutkan saja besok pagi. Sekarang kita akan fokus pada pengendalian arwah.” sela Jayendra.
Raksha merasakan tubuhnya lebih ringan dari biasanya. Dia baru tahu ternyata rantai di pergelangan tangan dan kakinya hilang, yang berarti gurunya telah melepaskannya.
“Harimau itu hampir memangsamu ketika kau tertidur.” Jayendra menunjuk bangkai harimau yang ada didepan muridnya.
Di Nusantara ini, selain hewan buas yang dapat mengancam siapapun, ada juga siluman yang dapat menyerang untuk memangsa manusia dengan taruhan nyawa. Semenjak pendekar Dunia Arwah diburu, para siluman kian buas sehingga Pendekar Pedang Cahaya harus turun tangan untuk membasmi mereka. Hal ini berbeda dengan Pendekar Dunia Arwah yang menjinakan siluman dengan ritual dan menyuguhkan sesajen sehingga para siluman tidak mengganggu manusia.
Raksha menelan ludahnya. “T-terima kasih, guru….”
“Dia baru saja mati, Raksha. Bagi pendekar dunia arwah pemula sepertimu, membangkitkan arwah untuk mahluk yang baru saja mati jauh lebih mudah. Cobalah.”
Raksha sebenarnya masih bingung ketika mendengar instruksi gurunya. Dia membuka perban yang melilit lengan kirinya seraya mengingat kembali momen dimana dia menyerap arwah prajurit dulu.
Tepat setelah itu, lengan kiri Raksha memancarkan aura ungu tua yang menekan. Semakin dia memfokuskan diri pada aura itu, dia merasakan kalau lengan kirinya itu terhubung dengan tangan mistis yang kuat dan tangguh yang bisa dia gunakan untuk merenggut sesuatu yang menjadi sasarannya.
Raksha menatap cermat mayat harimau yang ada didepannya itu. Dia tidak hanya melihat jasad, tetapi juga api ungu kehitaman yang redup didalam jiwanya. Dia tahu api ungu kehitaman itu tidak bisa dilihat oleh sembarang, kecuali pendekar dunia arwah.
“Apa yang kau lihat adalah arwah murni si harimau sebelum dia pergi ke dunia arwah, Raksha. Kau bisa merenggutnya untuk membuat dia menjadi prajurit arwahmu.” Jayendra menjelaskan.
“B-baik, guru….” balas Raksha meyakinkan dirinya sendiri.
Raksha menghampiri jasad harimau itu lalu meraih perlahan api ungu kehitaman didalamnya dengan telapak tangan kirinya yang menembus masuk ke dalam jasad sang harimau. Rasanya seperti merogoh jeroan binatang dengan tangannya sendiri, pikirnya.
Raksha bisa merasakan sensasi hangat ketika dia menggenggam api jiwa sang harimau. Namun rasa hangat itu mendadak berganti menjadi sengatan panas yang perih. Dia hampir menjerit karena panas yang menusuk. Dia bahkan bisa mendengar suara auman harimau yang menggelegar dalam kepalanya.
“AUUMMM!!!”
“A-apa ini?!”
“Jangan takut, Raksha! Arwah pasti akan memberontak apabila kau ragu dan takut! Tunjukkan padanya kalau kau adalah pimpinan mereka! Kau adalah raja mereka yang baru!”
Raksha menguatkan cengkeraman tangan kirinya, tetapi auman sang harimau malah lebih keras, begitu juga dengan panas yang menusuk sepanjang lengan kanannya. Kalau dia biarkan, dia tahu kulit lengannya akan melepuh.
“Tidak ada artinya kalau kau menekannya dengan kekerasan, Raksha!” tegur Jayendra.
Raksha perlahan melonggarkan cengkeramannya, tetapi tangannya masih menggenggam keras ‘jantung’ dari api jiwa sang harimau. Rasa perih dari panas yang mendera masih terasa, tetapi tidak separah sebelumnya.
“Jangan buat ini semakin sulit. Aku butuh bantuanmu, harimau. Jadilah prajurit arwahku maka akan kulindungi kau dari segala bahaya yang membahayakan jiwamu.” Raksha menyerukan itu dalam hati, berharap api jiwa sang harimau mengerti.
Tidak ada lagi auman sang harimau. Panas yang semula menyelimuti pun perlahan hilang, lalu kembali dingin. Raksha tidak lagi mencengkeram api jiwa sang harimau karena api itu kini melilit lengan kirinya, seolah menyatu dengan tubuhnya.
“….terima kasih.” Raksha lega karena dia bisa merasakan arwah sang harimau ada dalam genggamannya. Perlahan dia menarik lengan kirinya dari jasad sang harimau.
Raksha membuka telapak tangan kirinya lalu memunculkan api jiwa sang harimau yang lalu memendar menjadi sosok harimau yang diselimuti api ungu kehitaman di sebelahnya. Sosok arwah harimau itu menunduk penuh hormat di hadapannya.
“Bagus, kau berhasil, Raksha.” Puji Jayendra.
“Ya, guru.” balas Raksha singkat seraya bersimpuh hormat pada gurunya.
“Para arwah memilihmu menjadi pimpinan bukan karena kekuatan semata, tetapi juga karena kekuatan hatimu. Ingat itu baik-baik kalau kau tidak mau ditinggalkan oleh prajurit arwahmu.” Jayendra beranjak dari batu besar tempat dia duduk.
“Masih banyak latihan untuk menyempurnakan kemampuan silat dan pengendalian arwahmu, Raksha. Ini baru permulaan. Bersiaplah menghadapi semua latihan ini kalau kau ingin mengalahkan prajurit Kanezka yang menjajah desamu.”
Raksha mengepalkan kedua tangannya keras karena kebencian dan dendam yang begitu besar akan kezaliman prajurit Kanezka. Dia telah diberi kesempatan untuk membalas dan dia bersumpah tidak akan menyia-nyiakan semua ini.
“Siap, guru!”
“Ribuan prajurit mungkin bisa menghancurkan istana dari luar, tetapi seorang prajurit yang menyusup dengan cerdik bisa membunuh raja yang berlindung didalam istana.”Kata-kata Jayendra itu masih terngiang di benak Raksha. Karena itu juga, Raksha memutuskan untuk kembali ke desanya setelah tujuh hari dilatih Jayendra. Sekilas dia melihat para penduduk desa terdiam kaget melihat kedatangannya, tetapi mereka memilih membisu, khawatir prajurit Kanezka akan menyiksanya nanti.“Hei, bocah!”Raksha berhenti saat salah satu prajurit Kanezka menyeru memanggilnya. Derap langkah kaki zirah berdatangan menghampirinya. Dia perlahan bungkuk untuk menaruh hormat dengan wajah tertunduk kepada mereka. Tidak disangka, orang yang memanggilnya itu adalah, Suja Bhagawanta, sang komandan pasukan Kanezka yang membunuh keluarganya sebelumnya.“Kukira kau sudah mati, bocah.” seru Suja remeh seraya menyepak wajah Raksha kasar.Raksha terpelanting, tetapi kini dia bisa menahan rasa nyeri itu berkat Kanuragan O
Gerbang pintu terbuka lebar dari dalam. Raksha mengedarkan pandangannya sekitar, melihat puluhan prajurit Kanezka di berbagai sisi tengah sibuk dengan aktivitasnya. Ada yang sedang berlatih bersama, ada yang sedang membereskan zirah mereka, dan sebagian besar lainnya hilir mudik di halaman.Markas pasukan Kanezka yang ada di desa Raksha ini adalah kediaman tetua desa yang dibuatkan benteng kayu sementara. Semenjak tetua desa dibunuh beserta keluarganya, rumah tetua desa yang relatif paling besar dibandingkan rumah penduduk desa lainnya dijadikan markas sementara oleh Kanezka.Di halaman tetua desa yang luasnya hampir 300 kaki, banyak tenda darurat yang dibuat oleh prajurit Kanezka untuk menyimpan perlengkapan mereka. Tenda khusus untuk tempat makanan ada di pojok timur, dekat dengan posisi dapur.Sekilas Raksha melihat, para prajurit Kanezka disini hilir mudik tampak sibuk, seolah-olah mereka sedang dikejar sesuatu. Apa sang komandan telah memberikan perintah baru pada mereka? Baru sa
“Guru adalah salah satu anggota keluarga kerajaan Mavendra?” Raksha bertanya lagi untuk memastikan. Jayendra hanya mengangguk singkat untuk menjawabnya.“Maaf, guru, saya bukan bermaksud lancang, tapi yang saya dengar dari kebanyakan orang, keluarga Mavendra sudah-”“Tewas semua? Itu setengah benar. Sebagian dari kami masih hidup dan kabur dari cengkeraman Kanezka. Mereka ingin memastikan kematian setiap dari kami.”“Kalau begitu guru harus kabur! Nyawa guru terancam!”“....lalu membiarkan orang-orang didesamu mati sia-sia?”Raksha membisu. Dia tidak bisa mengiyakan pertanyaan itu karena dia tidak mau desanya hancur.“Aku tidak memiliki pilihan lain.” Jayendra membuka sebagian jubahnya, memperlihatkan luka sayatan hebat sepanjang punggung dan perutnya. Tidak ada darah yang timbul dari luka itu, tetapi sebagian warna kulit di sekitar lukanya itu berwarna hitam. “Di perang terakhir melawan Kanezka, aku terkena racun mematikan yang membuatku gerakanku terbatas. Aku masih butuh waktu untu
Siluman adalah arwah hewan buas atau hewan mistik yang ada di nusantara. Jayendra menjelaskan, bagi para Pendekar Dunia Arwah, mengendalikan siluman adalah sesuatu yang berisiko, tetapi sangat membantu ketika dibutuhkan.Biasanya para Pendekar Dunia Arwah yang masih amatir bergerak secara berkelompok, kurang lebih terdiri dari lima sampai sepuluh orang, untuk mengendalikan satu siluman yang tangguh. Namun sekarang tantangannya adalah Raksha hanya seorang dan taruhannya adalah nyawa Raksha sendiri.“Saya sudah berjanji pada guru dan saya tidak mau menarik balik kata-kata saya lagi, guru.” tegas Raksha walau dia masih sedikit cemas dalam hatinya.“Ada garis yang tipis yang membedakan apakah orang itu pemberani atau nekat, Raksha. Kau bisa saja mati konyol.”“Kalau aku tidak bisa mengendalikan siluman, maka semua rencanaku untuk membalas Kanezka akan sia-sia, guru. Tolong berikan saya kepercayaan. Saya akan lakukan apa yang saya bisa untuk melindungi guru.”Jayendra tertegun sejenak mend
Semilir angin berhembus menerpa pelan rumput panjang di sekitar Raksha. Tempat dia berada sekarang lebih sunyi daripada sebelumnya. Sekitar 15 kaki didepannya, terdapat siluman harimau yang tubuhnya dua kali lebih besar dari siluman harimau lainnya. Raksha tahu kalau siluman harimau didepannya itu adalah pimpinan siluman harimau yang memburunya.“Jadi ini yang kau incar, bocah? Duel denganku?” tantang siluman harimau itu dengan nada berat.“....tidak ada artinya kalau aku tidak berhasil meyakinkanmu.” Raksha memasang kuda-kuda. Aura ungu dari Kanuragan Ozora yang tengah menyelimuti lengan kirinya memancar terang seiring dengan kian membaranya kanuragan yang ada di dalam tubuhnya.“Kupikir kau hanyalah bocah nekat yang mempertaruhkan nyawamu dengan nafsu belaka. Tetapi aku salah. Kau memikirkan semua ini dengan matang.”Sang siluman harimau itu berdiri dengan dua kakinya. Api arwah berwarna hitam menyelimuti seluruh tubuhnya sehingga bentuknya yang semula menyerupai harimau kini beruba
Raksha merasakan lagi dinginnya semilir angin malam yang menerpa tubuhnya. Adrenalin yang membuncah di tubuhnya sejak duelnya dengan Asoka membuat dia sempat lupa kalau malam ini begitu dingin. Tangan kirinya yang tengah mencengkeram kuat kepala Asoka perlahan dia longgarkan karena dia tidak lagi merasakan hawa membunuh dari musuhnya itu.Sesaat setelah Raksha melepas cengkeramannya, Asoka tumbang. Gemersik rerumputan yang terdengar karena terbuai angin malam kala itu menyadarkan Raksha bahwa siluman harimau lainnya yang berhasil dia tipu sebelumnya baru saja tiba di lokasinya. Mereka semua tidak percaya kalau pimpinan mereka tengah tersungkur tidak berdaya di hadapan seorang pemuda yang telah mereka remehkan sebelumnya.“Kukira Mavendra sudah tamat.” Asoka menatap lemah Raksha. “...ternyata mereka masih belum menyerah melawan kezaliman Kerajaan Kanezka. Kau telah memilih jalan yang penuh darah.” lanjutnya.“Aku telah kehilangan semuanya. Kau boleh bilang ini adalah jalan penuh darah,
“AAHHHH!!!”Para penduduk desa menjerit ketika cetakan besi panas itu menempel keras di tiap punggung mereka dengan keji oleh prajurit Kanezka. Simbol bintang yang terpatri dari luka bakar akibat cetakan besi panas itu terpampang jelas di tiap penduduk desa, termasuk Raksha. Bau luka bakar bercampur darah kering menaungi sehingga menambah rasa mual pada siapapun yang ada disana.“Malam bulan purnama nanti adalah kesempatan terakhir kalian, pengkhianat nusantara! Panggil Mavendra kesini atau kalian akan menjadi santapan para siluman!”Seruan terakhir sang komandan hanya dibalas ringisan tiap penduduk desa yang masih menahan sakit dan perih. Tidak ada satupun dari mereka berani menjawab seruan Suja.Kesal karena merasa tidak dianggap, Suja tiba-tiba menjambak salah satu anak perempuan yang ada didekatnya. Perempuan itu menjerit takut sambil memanggil kedua orang tuanya, tetapi tidak ada penduduk desa yang berani menolongnya.“Ayah! Ibu! Tolong!” seru perempuan itu ketakutan.“Tu-tuan, m
“Hei, bangun bocah!”Prajurit Kanezka baru saja masuk dengan perasaan berang ke tenda dimana Raksha berada. Kekesalannya kian memuncak karena melihat Raksha masih duduk dengan kondisi lengan dan kakinya diikat rantai perak sambil menundukkan kepalanya tanpa menanggapinya.“Semuanya sedang mempersiapkan diri untuk memburu Mavendra, aku malah ditugaskan untuk mengurus bocah sinting ini! Ah malang betul nasibku!”Sang prajurit meracau sambil menghampiri Raksha dengan perasaan keki. Dia langsung menjambak kepala Raksha kasar. Namun dia malah keheranan karena tatapan Raksha begitu tajam dan menusuk, seolah dia bersiap untuk bertarung dengannya. “Apa-apaan tampangmu itu, bocah?! Kau menantang-“Tangan sang prajurit yang hendak menampar Raksha tiba-tiba tertahan oleh seseorang dibelakangnya. Tubuhnya mendadak merinding karena dia bisa merasakan hawa membunuh yang kuat. Sekilas dia melihat ke belakang, mulutnya menganga kaget saat sadar kalau prajurit arwah Raksha adalah orang yang menahan