Share

Kembali ke Desa

“Ribuan prajurit mungkin bisa menghancurkan istana dari luar, tetapi seorang prajurit  yang menyusup dengan cerdik bisa membunuh raja yang berlindung didalam istana.”

Kata-kata Jayendra itu masih terngiang di benak Raksha. Karena itu juga, Raksha memutuskan untuk kembali ke desanya setelah tujuh hari dilatih Jayendra. Sekilas dia melihat para penduduk desa terdiam kaget melihat kedatangannya, tetapi mereka memilih membisu, khawatir prajurit Kanezka akan menyiksanya nanti.

“Hei, bocah!”

Raksha berhenti saat salah satu prajurit Kanezka menyeru memanggilnya. Derap langkah kaki zirah berdatangan menghampirinya. Dia perlahan bungkuk untuk menaruh hormat dengan wajah tertunduk kepada mereka. Tidak disangka, orang yang memanggilnya itu adalah, Suja Bhagawanta, sang komandan pasukan Kanezka yang membunuh keluarganya sebelumnya.

“Kukira kau sudah mati, bocah.” seru Suja remeh seraya menyepak wajah Raksha kasar.

Raksha terpelanting, tetapi kini dia bisa menahan rasa nyeri itu berkat Kanuragan Ozora dalam dirinya. Dia pura-pura meringis agar prajurit Kanezka tidak curiga.

Sang komandan tiba-tiba menginjak lengan kiri Raksha hingga dia mengaduh pelan. “Perban apa ini, bocah?!”

“T-tanganku terluka, tuan. Tidak ada obat jadi hanya bisa kuperban. Luka ini sudah bernanah....” jawab Raksha setenang mungkin agar musuhnya itu percaya dengan ceritanya.

Suja buru-buru melepas injakannya dengan ekspresi jijik. “Bocah sinting! Jangan dekat-dekat denganku!”

Raksha kembali membungkuk dan menundukkan kepalanya. Namun Suja langsung menjambaknya kasar sehingga tatapannya tertuju langsung padanya.

“Bukannya kabur kau malah kembali kesini, bocah. Apa kau sudah bosan hidup?!”

“S-saya tidak tahu harus kemana, tuan. Saya takut diburu hewan buas dan siluman kalau pergi tanpa arah...”

Suja tertawa mengejek bersamaan dengan pasukannya. “Kau lebih takut diserang hewan buas daripada kami?! Dasar bocah sinting! Kau dan penduduk desa ini sama dungunya! Hahahahaha!”

Raksha memilih diam membisu sambil menahan gejolak amarahnya.

“Mana mayat keluargamu?!”

Raksha tahu ini pertanyaan menjebak.

“Saya meninggalkan mereka, tuan.”

Suja menatap Raksha agak lama tanpa kata-kata. Setelah itu, dia melirik ke salah satu prajuritnya. “Apa kata-katanya bisa dipercaya?” tanyanya.

“Ya, tuan. Kami melihat ada mayat yang tengah dikerubungi gagak pagi tadi, kemungkinan itu dari mayat keluarganya.” jawab sang prajurit.

Suja mengangguk puas.

“Bagus! Kalau kau berani mengubur mereka maka akan kukubur kau hidup-hidup sekarang juga! Biarkan mayat mereka dibiarkan sampai dimakan gagak! Biar nusantara tahu kalau pengkhianat tebusannya adalah mati mengenaskan!”

Raksha hampir mengumpat saat Suja meremehkan keluarganya. Namun sekali lagi, dia menelan semua amarahnya untuk rencana yang jauh lebih besar di masa depan.

Sebelum Raksha kembali ke desanya, dia sudah mempersiapkan kemungkinan kalau prajurit Kanezka akan mempertanyakan mayat keluarganya. Raksha menggunakan mayat prajurit yang dia bunuh menjadi sasaran gagak menggantikan mayat keluarganya. Dia bahkan sempat menanggalkan zirah prajurit itu agar tidak mencurigakan.

Di tengah lamunannya, tiba-tiba Suja menampar pipi kanan Raksha.

“Kalau kau ingin hidup disini, kerja! Jangan harap kau bisa mendapatkan keringanan karena kalian pengkhianat adalah benalu nusantara! Kalian harusnya bersyukur atas kebaikanku selama ini!”

Suja pergi seraya meludahi Raksha.

Raksha membisu sampai akhirnya Suja dan rombongannya pergi meninggalkannya. Setelah dirasa sepi, dia kembali menghampiri rekannya sesama penduduk desa yang sebaya, namanya Ari, untuk membantunya kerja.

Ari dan ratusan pemuda di desa ini diperkerjakan oleh pasukan Kanezka untuk memasok makanan seperti beras hasil panen, buah-buahan, dan daging sapi ternak dari desa. Seluruh hasil pertanian dan peternakan desa harus diserahkan seluruhnya kepada pasukan Kanezka yang markasnya tepat di kediaman tetua desa di ujung utara.

Penduduk desa hanya mendapat sebagian dari yang para pemuda ini bawa ketika mereka kembali ke desa. Sebagian kecil ini amat sedikit, bahkan bisa dikatakan kurang untuk seluruh penduduk desa. Awalnya para penduduk desa protes, tetapi mereka yang protes hanya tinggal nama. Selain mati disiksa prajurit Kanezka, sebagian penduduk desa juga harus mati kelaparan karena tidak adanya makanan dan minuman.

“Raksha, kau kembali?” tanya Ari kebingungan.

“Ya, begitulah.” jawab Raksha singkat.

“Raksha, aku turut berduka atas apa yang terjadi pada keluargamu. Maaf aku tidak bisa apa-apa. Kami semua ketakutan. Kami tidak bisa melawan.” Ari meminta maaf dengan nada bergetar.

“Sudahlah. Semua sudah terjadi.” Raksha membantu Ari memasukkan buah-buah hasil panen ke gerobak kayu yang akan dibawa ke markas prajurit Kanezka nanti.

 “Hei, Raksha, apa kau berpikir kalau pasukan Kanezka akhir-akhir ini semakin sadis? Sepertinya mereka tidak sabar dengan apa yang mereka cari.”

“Mencari siapa memang? Bukannya mereka hanya ingin menghukum kita yang dicap pengkhianat oleh Raja Winadyata?” tanya Raksha balik.

“Tidak. Mereka sebenarnya sedang mencari seorang pendekar Dunia Arwah tangguh yang berpengaruh besar di Nusantara. Entah siapa. Mungkin dari keluarga Mavendra.”

“Mavendra? Ada keluarga Mavendra yang bersembunyi di desa ini?”

“Ssssttt....” Ari buru-buru menutup bibir Raksha dengan telunjuknya. “Itu yang kudengar dari orang-orang desa. Jangan sampai terdengar oleh prajurit Kanezka, nanti mereka malah menuduh kita yang tidak-tidak!” tegurnya.

Raksha mengangguk paham. “Pantas saja mereka begitu bengis. Mungkin mereka melakukan itu  pada orang-orang desa agar orang dari keluarga Mavendra itu keluar dari persembunyiannya.”

“....sayangnya sampai sekarang itu tidak berhasil.”

“Kau berharap mereka menemukannya?”

“Tentu saja, Raksha!” sentak Ari tiba-tiba seraya menarik rompi Raksha. “Kalau mereka menemukannya, maka urusan mereka di desa ini sudah selesai, bukan?! Mereka tidak akan lagi memaksa kita kerja paksa memecahkan batu seperti orang dungu! Mereka juga tidak akan mencuri hasil panen kita! Kita ini korban, Raksha! Kau bahkan kehilangan keluargamu karena kebiadaban mereka! Aku tidak peduli lagi mau itu Mavendra atau Winadyata, selama aku bisa kembali ke kehidupanku yang damai, itu sudah cukup! Akan kutinggalkan semua ilmu Pendekar Dunia Arwah demi itu!” tubuh Ari bergetar usai meluapkan kekesalannya. Air matanya berurai. Raut wajah pucatnya menampikkan ekspresi lelah, marah dan sedih bersamaan.

Raksha tahu kalau jawaban Ari ini mewakili pikiran para penduduk desa yang masih bertahan hidup sampai sekarang. Dia sendiri pernah berpikiran seperti itu sebelum akhirnya tragedi berdarah menimpa keluarganya dan dia diberi kesempatan oleh Jayendra untuk membalas kebiadaban para Prajurit Kanezka. Dia tidak mungkin melibatkan Ari ataupun penduduk desa lainnya dalam rencananya.

“Kau benar, Ari.” jawab Raksha setelah jeda panjang. “Bagaimana kalau kau istirahat saja? Biar aku yang membawa ini ke markas Kanezka.” lanjutnya.

Ari perlahan melepas Raksha. Walau malu untuk mengakuinya, kecemasan dan ketakutan yang menghantui pikirannya akhir-akhir ini membuat dia cepat lelah. Setelah berulang kali ditawarkan Raksha, akhirnya dia menerima tawaran Raksha.

Setelah gerobaknya penuh, Raksha lanjut membawanya ke markas utama pasukan Kanezka. Sepanjang perjalanannya, dia melihat pemuda-pemuda desa lainnya yang baru saja kembali dari markas dengan gerobak kosong atau gerobak yang hanya berisi sedikit buah dan beras, yang berarti hanya itu jatah untuk penduduk desa hari ini. Wajah para pemuda itu pucat dengan memar di tiap wajah dan badan. Kemungkinan besar mereka disiksa terlebih dahulu sebelum keluar.

Raksha tiba persis didepan pintu gerbang yang dijaga oleh prajurit Kanezka. Dia baru sadar kalau dia hanya sendirian tanpa ada orang lain dari desa yang menemani.

Sebenarnya, ini sesuai dengan ekspetasi Raksha. Rencananya dimulai dari sini.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kawa Kunaen
Kene prank!! Katanya gratis..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status