Share

Dendam Rusmini
Dendam Rusmini
Penulis: Tri Widiyani

Tatapan Suamiku

Habis shubuh, tak sengaja kubaca di sebuah grup jual beli kotaku di F* tentang info seorang yang hilang. Foto wanita yang terpajang seperti tak asing bagiku, mataku langsung tertumbuk pada postingan itu.

'Salam buat semua anggota grup, minta infonya siapa tahu ada yg lihat, adek saya pergi dari rumah tapi dah 1 minggu nggak balik. Saya sampai cari ke mana pun belum ketemu. Adek saya anaknya masih kecil nangis terus cari ibunya. Mohon infonya tolong hubungi 0801111555 atas perhatian dan bantuannya saya ucapkan makasih.'

Wanita di foto itu apakah dia Mimin? wajahnya mirip sekali. Bedanya Mimin tidak mengenakan jilbab seperti wanita di foto. Kulihat ulang foto itu, tertera nama Rusmini di ujung postingan.

"Ayo, Mi, cepetan nanti keburu siang." Suara Mas Andi mengagetkanku. 

"Iya, Pi, sebentar." Kujawab sesaat setelah Mas Andi meninggalkan kamar, aku masih penasaran dengan berita di grup F* tadi.

Segera kuklik tanda titik tiga di atas postingan itu, menyimpannya agar bisa kulihat ulang nanti. Harus segera belanja ke pasar untuk stok bahan usaha katering membuatku tak punya banyak waktu di pagi hari. Niatku awalnya mencari suplier bawang merah murah dari grup jual beli di F* jadi tertunda oleh postingan wanita hilang tadi.

Mas Andi sudah menungguku di mobil, sekelebat kulihat bayangan Mimin melintas dari arah garasi menuju ke dapur produksi. Tampak tatapan Mas Andi mengikuti gerak Mimin tak berkedip, begitu lekat menatapnya. Mimin memang cantik, apa suamiku menatapnya karena hal itu?

Ngapain Mimin tadi lewat garasi. Harusnya dia masih sibuk di dapur bersama karyawan yang lain. Habis shubuh biasanya karyawan sudah mulai memasak, malam hari mereka sudah mempersiapkan semua bumbu dan bahan masakan untuk esok hari.

"Itu Mimin tadi ngapain, Pi?"

"Oh, eh tadi dia nitip beli handuk. Mau nitip Mami tapi belum kelihatan katanya, jadi nitip sama Papi."

"Emang selama ini dia nggak pernah handukan? Hampir seminggu kerja di sini kok baru nitip beli handuk." Aku berkata dengan heran.

Mas Andi terlihat sedikit gugup dan salah tingkah. Ada apa dengannya? 

"Ya mana aku tahu, Mi. Mana sempat nanyain, dititipin beli ya masa nggak mau."

"Sebentar kutanya Mimin, kasihan barangkali dia perlu nitip beli sesuatu yang lain lagi," kataku.

"Eeh, sudah siang nggak keburu terbeli semua belanjaan nanti, ngapain ngurusin yang nggak penting amat. Ayo berangkat saja!" 

Suamiku mulai menyalakan mesin mobil, kelihatan sangat tidak sabar lagi, tapi menurutku tepatnya seperti mencegahku untuk menemui Mimin.

Tak butuh waktu lama sebenarnya untuk sampai ke pasar yang tak jauh dari rumah. Mas Andi pun sudah cekatan terbiasa belanja bersamaku, sudah empat tahun kami kelola usaha katering bersama. Tapi karena aku juga merangkap sebagai seorang guru, waktu di pagi hari harus benar-benar kuatur supaya tak terlambat berangkat mengajar.

***

"Mimiin." 

Setengah terburu kupanggil Mimin diantara tiga karyawanku yang lain. Mereka sudah selesai menyiapkan pesanan katering untuk menu sarapan pagi,  tepat pukul tujuh nanti sudah harus diantar ke pelanggan.

Aku sudah bersiap berangkat mengajar, jadi serasa dikejar waktu.

"Iya, Bu. Saya di sini." Mimin yang sedang duduk membungkus kerupuk untuk persiapan menu katering siang segera berdiri dan berjalan menemuiku.

"Ini pesanan handukmu. Kalau perlu sesuatu lagi langsung temui aku saja, jangan nitip sama bapak." Aku memberi tahu Mimin supaya tidak jadi kebiasaan nitip Mas Andi.

Wajarnya Mimin minta maaf dan memahami perkataanku, tapi dia diam membisu, kulihat ada semburat rasa kesal di wajahnya. Bukankah itu sedikit aneh? Apa ucapanku membuatnya tersinggung?

"Ya sudah, teruskan kerjanya, Min." 

Tak punya banyak waktu membuatku tak menghiraukan lagi tingkah tak wajar Mimin. Segera kutuju motor maticku, bergegas berangkat ke sekolah, aku sudah berpamitan tadi saat Mas Andi masih sibuk mengarahkan karyawan untuk menata pesanan ke dalam mobil. 

[Mi, pulang jam berapa? Jangan kecapekan]

Mas Andi mengirimkan pesan lewat WA, dia memang suami yang baik, selalu memperhatikan kegiatanku. Evaluasi penilaian akreditasi di sekolah membuatku sibuk semingguan ini untuk mempersiapkannya.

[Pulang agak sore. Semua pekerjaan di rumah lancar 'kan, Pi?]

[Lancar, hati-hati pulangnya nanti, love you Mami]

Aku tersenyum membaca balasan pesan WA Mas Andi. Dia suami penyayang dan selalu memahami istrinya. Teringat saat dua tahun yang lalu kami harus kehilangan calon keturunan kami, yang meninggal dalam kandungan di akhir usia kehamilan karena terlilit tali pusar. Mas Andi begitu sabar membangkitkan kembali diriku yang larut dalam kesedihan.

Kami bahkan sudah saling memanggil Mami dan Papi untuk menyambut kehadiran buah hati kami, tapi belum ditakdirkan terlahir di pangkuan kami. Hingga saat ini belum dititipkan kembali kehamilan di rahimku.

Kembali ada notifikasi pesan masuk ke ponselku. Pesan WA dari Mbak Septi salah satu karyawan kateringku. Karyawan kami dulunya hanya ada tiga. Hampir seminggu yang lalu bertambah Mimin sebagai karyawan baru.

Aku belum begitu mengenal Mimin, Mas Andi yang menerimanya. Katanya Mimin saudara jauh dari temannya, karena kasihan sangat membutuhkan pekerjaan jadi kusetujui saja untuk menerima Mimin. Doaku semoga dengan membantu Mimin menjadi bertambah jalan rizki bagi usaha kami.

Kubaca pesan WA dari Mbak Septi.

[Bu, kapan ibu ada waktu, saya ingin membicarakan sesuatu]

Mbak Septi sepertinya punya masalah serius rupanya. Aku kurang berinteraksi dengan karyawanku belakangan ini. Mas Andi yang mengatur pekerjaan mereka, waktuku tersita untuk persiapan evaluasi akreditasi.

[Iya mbak, nanti malam ya, hari ini aku pulangnya sore, tentang apa ya mbak? Nggak keburu kan ketemunya?]

[Mmm ... itu Bu, tentang Mimin sama bapak]

Deg!

Ada apa dengan suamiku? Apakah ...?

[Mbak Septi, aku harus mengajar lagi, nanti kutelepon ya.]

[Nanti saja kita ketemu, Bu, supaya jelas]

Aku teringat kembali postingan di F* tadi pagi, wanita yang mirip Mimin itu siapa? Mas Andi yang menerimanya sebagai karyawan dan mengetahui data diri Mimin.

Ingin rasanya segera pulang, tapi aku harus mengajar lagi, masih ada tugas yang harus kuselesaikan juga. Sepertinya aku harus menghubungi pengunggah postingan di F* itu nanti.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status