Share

Hukum Saja Suamiku

"Ayo arak sekarang saja, nggak usah nunggu lama lagi.'' riuh suara beberapa warga bersahutan.

"Mohon maaf Pak Sapto, Bapak 'kan masih satu kampung dengan kami meski beda RW dan RT, tentu Bapak paham jika saya sebagai ketua RT punya tanggung jawab menjaga kenyamanan warga di sini.'' Pak RT berkata dengan santun kepada papa.

"Jadi ... Saya mengharap kelapangan hati Bapak, dengan sangat menyesal terpaksa harus menyaksikan putranya diarak ke balai RT. Tujuannya bukan untuk mempermalukan Pak Sapto, tapi sebagai hukuman sosial bagi Pak Andi dan jadi pelajaran berharga bagi warga yang lain."

Kulihat papa merangkul pundak mama, papa mengangguk lemah, menyerahkan keputusan kepada Pak RT. Papa pasrah Mas Andi akan diapa-apakan warga. Aku ikut merangkul pundak mama, kami bertiga saling berengkuhan, sangat memilukan.

“Sekarang kamu sadar apa yang telah kamu lakukan sangat melukai kami, Andi?” tanya Papa.

“Iya, Pa. Sadar, Pa. Maafkan Andi.  Aku nggak mengira kejadiannya akan berdampak mengerikan seperti ini.” 

Mas Andi masih menunduk dengan wajah pias, lututnya tampak mulai bergetar.

Kenapa kamu tidak berpikir panjang, Mas ...  kasihan papa sama mama, mereka lebih terpukul daripada aku.

"Kamu kejam, Bu Hanum! Kamu yang merencanakan jebakan ini ‘kan? Dasar pecundang, kenapa harus meminta bantuan warga untuk menghadapiku!” Mimin berteriak kepadaku.

Kurang ajar, beraninya dia bilang aku kejam. Kelakuannya merebut suamiku bukankah itu lebih dari kejam? Dasar perempuan tak punya urat malu, tak juga sadar dan menyesal setelah tertangkap basah begini.

"Setiap orang akan menuai hasil perbuatannya, Min. Kamu telah menanam dosa, ini baru hukuman dunia yang kamu tuai, belum lagi di akhirat nanti,'' sergahku geram.

"Sudah! Jangan kelamaan cepat arak saja!" Seorang warga kembali bersuara.

"Tenang dulu! Silahkan denda saja saya, berapapun akan saya penuhi, tolong jangan arak saya. Beri kesempatan saya untuk memperbaiki diri." Mas Andi mencoba bernegosiasi.

"Kami tidak terima bapak berbuat mesum di lingkungan kami. Denda yang bapak bayar tidak akan bisa menolak tulah akibat zina, bisa jadi bencana di sini," ucap salah seorang warga lantang.

“Iya, kami tidak terima, denda tidak akan membuat jera!” teriak yang lain tak kalah lantang.

Warga tetap riuh sepakat menyatakan minta mengarak pasangan itu. 

“Selama ini lingkungan RT kami terjaga dari perbuatan asusila, Pak, tidak ada yang berbuat seperti Pak Andi. Jadi harus ditindak tegas, supaya tidak jadi contoh buruk.'' Pak RT berkata dengan sangat tegas.

"Tapi dengan mengarak kami itu sudah melanggar HAM, Pak RT! Saya juga bisa balik menuntut warga secara pidana karena main hakim sendiri dan pencemaran nama baik." Mas Andi mencoba mengancam Pak RT.

"Nama baik katamu, Mas? Nyatanya kamu tidak menghargai dirimu sendiri dengan memilih berbuat mesum.'' Aku terpancing emosi.

"Itu karena kamu tidak melayani suami dengan baik, Bu Hanum!" Tiba-tiba Mimin menimpali ucapanku.

"Tutup mulutmu, Rusmi! Menantuku sudah berusaha menjadi istri yang baik. Andi saja yang buta karena terperdaya olehmu.'' Mengharukan sekali, mama membelaku dengan tulus, kepeluk mama erat.

"Sudah saya putuskan, silahkan arak sampai ke balai RT saja. Cukup dipermalukan dengan diarak, jangan sampai dipukuli, nanti warga bisa dipidana karena main hakim sendiri." Papa angkat bicara.

Aku terkesima melihat ketabahan papa. Andai saja kelakuan dan akhlak Mas Andi sebaik papa. Sayang, dia terperosok ke dalam limbah dosa zina. 

"Saya jamin Andi tidak akan bisa menuntut balik warga secara pidana, saya orang pertama yang akan dihadapinya jika dia sampai berani mempidanakan," kata papa lagi.

"Araaak, ayo arak!" teriak para warga.

Mimin kebingungan, nasibnya sudah di ujung tanduk. Aku yakin dia bingung karena badannya hanya terlilit selimut. Namun begitu, dia tetap berlagak berani.

"Silahkan arak, saya tidak takut, tapi saya mau berpakaian dulu, tolong keluar dari kamar."

"Dah biarin kayak gitu saja, ngapain berpakaian, nggak ada yang bakal tergiur dengan perempuan murahan kayak kamu." Seorang bapak bertubuh kurus mengejek Mimin.

''Baiklah, cepat berpakaian, tak baik jika ada anak di bawah umur melihat auratnya nanti'' Pak RT memerintah Mimin.

Mas Andi tiba-tiba sudah ditarik dari kamar oleh beberapa warga. Dia yang bertelanjang dada nampak pasrah dicekal beberapa warga.

Kami semua keluar dari kamar, Mimin segera menutup pintu. Selang beberapa menit, tak juga perempuan jal*ng itu menampakkan batang hidungnya. Warga mulai tak sabar, Mbak Septi menggedor pintu kamar Mimin.

"Jangan lama-lama, cepat keluar, Min!" teriak Mbak Septi.

Mama memandangi Mas Andi dengan nelangsa, semoga kejadian ini tidak mempengaruhi kesehatan mama nanti. Seperti apa pun tegarnya seorang ibu, pasti tetap terselip perasaan tak rela darah dagingnya akan diarak menjadi tontonan warga.

"Num, apakah kamu masih mencintai Andi?" tanya Mama lirih.

"Hanum masih kacau perasaannya, Ma. Mungkin masih ada sedikit rasa cinta, itu yang membuat Hanum bisa memaafkan Mas Andi. Tapi untuk melanjutkan pernikahan rasanya tak mungkin, jika dipaksakan tak kan lagi sama seperti dulu jalinan hati kami." Aku menjawab lemah.

"Mimiiin, cepat!" Mbak Septi kembali menggedor kamar Mimin.

"Dobrak saja pintunya!" Warga sudah sangat tidak sabar, mulai ikut menggedor pintu kamar.

Akhirnya pintu kamar Mimin terbuka, apa-apaan itu? Sempat-sempatnya Mimin merias mukanya. Masih saja mementingkan penampilan diri, tak patut cantik jika kelakuannya saja tak bermoral.

"Huuuuu" sorak warga melihat Mimin muncul dari kamarnya.

Mbak Septi menarik tangan Mimin, lalu mendorong badannya ke arah Mas Andi. Mereka berdua sudah siap diarak sekarang. Mas Andi memalingkan muka tak mau menatap Mimin.

Mimin meraih tangan Mas Andi, lalu dengan yakinnya menggegam erat dan berkata manja, "kita lalui dan hadapi bersama, Mas. Kekuatan cinta kita akan membuktikan pada mereka semua."

Kesabaranku sudah habis rasanya melihat kelakuan Mimin yang benar-benar telah kehilangan rasa malu. Tak ingin melihatnya merasa menang, kutarik rambut Mimin dari belakang hingga hampir terjungkal. Aku terlupa jika aku ini seorang guru yang harusnya berperilaku baik.

''Pakai otakmu, Min! Hentikan kelakuan hinamu, nggak usah sok mesra mempertontonkan perbuatan mesum lagi." Kusentak sekali lagi rambutnya sebelum melepas jambakanku.

Mimin mengaduh, tak ingin kalah dia berusaha meraih jilbabku. Mbak Septi dengan sigap melindungiku, ditendangnya Mimin dengan keras hingga terpelanting ke jalan.

Mimin kesakitan, berusaha berdiri tapi kepayahan. Diulurkannya tangannya kepada Mas Andi, "Tolongin, Mas!"

Mas Andi acuh, tak dihiraukannya lagi Mimin. Rasakan, penderitaanmu sudah dimulai, Min!. Mimin susah payah berusaha berdiri sendiri akhirnya.

"Ma, tunggu di dalam rumah saja ya, nanti mama nggak kuat melihat semuanya," lirihku pada mama.

Mama mengangguk, menatapku lembut, "Melihatmu tegar membuat Mama sanggup melihat Andi menderita. Mama hanya lelah tak kuat jika ikut berjalan sampai balai RT.''

Kuminta Mbak Septi menemani mama di rumah, papa dan aku akan ikut mengawal arak-arakan hingga sidang warga di balai RT nanti. Kata Pak RT akan diadakan sidang untuk memutuskan hukuman sosial yang akan diberikan warga nanti.

Tring 

Tring

Tring

Notifikasi di ponselku berbunyi berkali-kali, kubuka aplikasi WA, terlihat banyak sekali chat masuk di berbagai WAG yang kuikuti. Apakah berita tentang Mas Andi sudah tersebar? Aku belum siap membuka banyaknya chat WA itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status