Share

Teror Dimulai

Sudah kuduga pasti kabar berita kasus rumah tanggaku cepat tersebar luas. Begitu ponsel kunyalakan, banyak sekali notifikasi berurutan masuk di layar. Ya Allah, ujianku datang lagi, aku harus tegar menghadapi dunia maya yang justru lebih ngeri dari dunia nyata.

[Semoga Bu Hanum sabar, ikhlas dan kuat.]

Kubaca chat terbaru di group WA guru di sekolah.

[Bu Hanum, kami bersamamu, terus semangat.] Pesan dari Bu Ratna di group WA RT.

[Tawakal ya Bu Hanum, Allah akan memberi hikmah yang terbaik, insyaallah.] Pesan dari Bu Salma teman di group WA pengajian.

[Nggak nyangka ya, kelihatannya harmonis ternyata tergoda wanita lain, salut buat Bu Hanum yang sangat tegar.]  Bu Mike  menanggapi foto sidang tadi, yang diposting di grup WA PKK kelurahan.

Tak sempat lagi kubaca satu per satu pesan lain yang berisi dukungan dan komentar dari banyak orang. Mataku serasa sudah berkunang-kunang menatap layar ponsel. Entah ungkapan mereka itu tulus atau tidak, ada rasa ngilu mengendap di hatiku. Seperti ini kah rasa perihnya saat menjadi bahan pembicaraan di masyarakat. 

Aku harus kuat, semua pasti akan berlalu dengan limpahan rahmat dari Allah. Menghela napas panjang, kurunut ke bawah semua chat WA yang masuk. Aku terpaku membaca balasan pesanku pada pengunggah berita di F* kemarin.

[Adek saya namanya Rusmini, ada yang manggil Rusmi ada juga manggilnya Mimin, apakah fotonya sama?] 

Segera kubalas pesannya.

[Iya fotonya sama dengan Mimin yang ada di rumah saya.]

Tak salah lagi, Mimin adalah wanita yang dicarinya. Segera kukirimkan alamat rumahku dan foto Mimin yang sempat kuambil dari group WA tadi.

Kami pulang meninggalkan balai RT saling beriringan jalan, Mas Andi berjalan bersisian dengan papa, aku berjalan di samping mereka. Mimin berjalan di belakangku. 

"Bu Hanum, tunggu! Astaga kenapa cepat sekali langkah kalian." Mimin berteriak sambil berusaha mengejar langkahku.

Tak kuhiraukan dia, hingga tiba-tiba dia mencekal lenganku.

"Sombong amat tak mau berjalan di sampingku. Tujuan kita searah kenapa tak sama-sama jalannya." Mimin meracau padaku.

"Lepasin, Min! Kita nggak ada urusan lagi mulai detik ini. Kamu hanya kuberi waktu sampai besok untuk meninggalkan rumahku!" sergahku.

"Jangan ganggu istriku lagi, Min!" Mas Andi membentak dan menarik tangan Mimin dariku.

"Kamu lupa janjimu padaku, Mas! Kamu bahkan belum jadi bertemu anak kita." Mimin berkata sambil menghentak kakinya.

''Anak? Aku bahkan tak yakin jika itu anakku, Min!" teriak Mas Andi.

"Sejauh itu perbuatan bej*tmu, Andi? Sampai punya keturunan dari wanita macam dia?"

Papa yang dari tadi diam akhirnya berbicara, menghentikan langkah kami dan mencekal lengan Mas Andi.

"Jangan percaya perkataannya, Pa. Aku dijebak, entah anak siapa itu. Aku juga terpaksa menerimanya kerja di rumah. Dia mengancam akan memberitahukan masa laluku dengannya pada Hanum."

"Dijebak gimana? Nyatanya kamu tertangkap di kamarnya." Papa begitu marah mendengar perkataan Mas Andi.

"Mas Andi kejam, Tiara itu anakmu. Akan kubuktikan, nanti kamu yang akan berganti memohon untuk bersamaku. Kita lihat saja." Mimin berlalu berjalan lebih dulu dengan langkah cepat.

Semua semakin membuatku bingung, Mimin berkata begini, Mas Andi berkata begitu, saling menyangkal tak jelas.

Warga yang sebagian masih berjalan di belakang kami, mulai tertarik untuk mendekat ingin tahu pertengkaran diantara kami.

"Pa, kita bicarakan di rumah ya, kasihan mama pasti cemas menunggu kita pulang. Sebentar lagi kita sampai." Pelan kusentuh bahu papa.

***

Mama langsung memelukku begitu kami tiba di rumah.

"Kalian baik-baik saja kan?" tanya Mama. 

"Di sebelah sini ini yang sakit, Ma. Anakmu itu sungguh keterlaluan." Papa menunjuk ke dadanya, duduk di kursi dan meluruskan kakinya.

Ya Allah, kuatkan kedua mertuaku, jangan sampai terganggu kesehatan mereka.

"Papa sama mama menginap saja, Hanum buatkan minum dulu ya."

"Aku dibuatkan kopi ya, Mami." Mas Andi kembali memanggilku dengan panggilan kesayangan lagi? Terdengar menyebalkan di telingaku.

Enggan kujawab permintaannya, aku hanya mengangguk.

Mbak Septi pamit kembali ke kamarnya, kuminta dia sambil mengawasi Mimin. Tinggallah kami berempat duduk hening di ruang tengah, masing-masing menyesap secangkir minuman dengan pikiran melayang. Rasanya susah bagi kami untuk memejamkan mata malam ini.

"Andai dulu kamu percaya dengan penilaian kami tentang Rusmi, semua ini tak akan terjadi." Mama berkata lirih pada Mas Andi.

"Maafkan Andi, Ma. Sekali lagi aku meminta, tolong maafkan." Mas Andi meraih tangan mama.

"Ma, bisa beri tahu Hanum siapa sebenarnya Rusmi?" tanyaku.

"Wanita jal*ng itu dulu kerja di warnet depan rumah kami, Andi baru wisuda waktu itu. Entah setan mana yang menggoda, Andi tergila-gila padanya. Jelas-jelas wanita itu jadi piala bergilir, siapa saja bisa membawanya ke sana ke mari. Kadang dibonceng sepeda motor seorang pemuda, di lain waktu pergi dengan mobilnya om-om. Begitu yang mama lihat setiap harinya." Mama mulai bercerita.

 

"Belum lagi cara berpakaiannya yang tak sopan, rambutnya juga sering berubah-ubah warna. Dia memang cantik, tapi untuk memilih seorang istri tak cukup hanya karena cantik," lanjut mama lagi.

"Andi sering ke warnet saat itu untuk mengirim lamaran pekerjaan secara online, mama tak tahu pelet apa yang digunakan Rusmi sampai Andi bisa terpikat. Andi bahkan sempat membawa Rusmi ke rumah dan memaksa kami untuk melamarnya."

 

"Papa sampai pergi ke ustadz meminta wasilah untuk melepaskan Andi dari jerat Rusmi. Perlahan Andi mulai bisa lebih tenang tinggal di rumah dan tak berhubungan lagi dengan Rusmi."

"Rusmi rela diakhiri hubungannya dengan Mas Andi?" tanyaku pada mama.

"Papa melaporkan kepada pemilik warnet tentang kelakuan Rusmi yang sering dibawa pergi berganti-ganti lelaki. Rusmi pun diberhentikan bekerja."

 

Kulirik Mas Andi, pandangannya kosong, diam  menyandarkan kepala di kursi. entah dia mendengarkan perkataan mama atau tidak.

"Alhamdulillah Andi diterima mengajar sampai akhirnya menyukai Hanum. Kami sangat bersuka cita waktu kalian berencana menikah." Papa ikut menambahkan cerita.

"Kami pikir Rusmi sudah enyah dari kehidupan Andi, ternyata ... Mama rasa ada yang tak mama ketahui setelah Rusmi berhenti bekerja di warnet. Apakah kalian masih ketemu secara diam-diam? Jawab, Andi!" Mama berseru kepada Mas Andi.

"I--iya, Ma. Maaf. Sebelum menikah dengan Hanum, Andi memenuhi permintaan Rusmi untuk menemuinya sekali saja. Andi sudah katakan padanya jika sungguh-sungguh mencintai Hanum, Ma."

"Kenapa sebelum menikah tak pernah berterus terang jika di hatimu ada wanita lain, Mas?" kataku menahan nyeri di hati.

"Maafkan aku. Terpaksa kutemui Mimin karena rasa bersalah tidak jadi menikah seperti janjiku padanya. Tapi sungguh aku mencintaimu, Hanum." Mas Andi mencoba meyakinkanku.

"Cinta seperti apa jika tega berbohong dan berhianat pada pasangannya?"

"Justru karena sangat mencintaimu, aku takut kehilanganmu jika berterus terang tentang masa laluku."

"Maksudmu, Mas?"

"A--akkuu, aku dijebak menghabiskan malam bersama dengan Mimin sebelum pernikahan kita, Hanum."

"Yang jelas bicaramu, Andi! Mama kecewa sekali denganmu." Mama berkata dengan sangat marah.

"Iya, Ma, tapi kurasa Mimin sudah tidak gadis lagi waktu kami bersama itu. Jadi anaknya bukan lah anakku."

"Wanita itu memang pembawa petaka, Mama sudah bisa menilai saat kamu bawa ke rumah dulu. Kenapa kamu tak bisa menyadarinya, justru mengulang kesalahan dengan  menerima dia di rumah ini."

"Itu juga yang membuat Hanum bingung, Ma. Tiba-tiba saja Mimin datang ke rumah ini menemui kami meminta jadi karyawan katering. Mas Andi masih menyembunyikan sesuatu, Ma"

'Praaangg'

Kaca ruang tengah pecah luruh berhamburan begitu saja, tanpa ada penyebabnya. Kami tak menemukan sesuatu yang dilempar dan mengenai kaca.

Papa dan Mas Andi segera keluar mencari suatu petunjuk, tak ada siapa pun terlihat. Terdengar suara angin berhembus sangat kencang seperti ada yang tak kasat mata berlalu diantara kami. Aku beristighfar, ada apa ini? Perasaanku sungguh tak nyaman.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status