Share

Wanita Lain itu?

Setelah tahu pasti jika Mas Andi dan Mimin sedang berdua di kamar saat ini, apakah aku akan membiarkan mereka bisa berzina begitu saja? Tentu tidak. Kamera yang sudah dipasang hanya untuk  mendapatkan bukti perbuatan hina kedua insan yang tersesat jalan itu.

Sebelum perzinaan mereka sukses terulang lagi, pasti akan segera kucegah. Bayangkan ...  saat mereka sudah diburu nafsu, eh tiba-tiba kami menggagalkannya, hahaha rasain nanti, Mas, kamu akan merana.

Apa yg akan kulakukan sekarang?

[Mbak, bersiap! Aku ke situ. Kita kuliti dua sejoli yang nggak takut dosa itu]

Kukirim pesan untuk Mbak Septi, kami akan melancarkan rencana.

Sambil berjalan menuju kamar Mbak Septi, kutelepon mama mertua. Kuminta Mama dan Papanya Mas Andi datang ke rumah saat ini juga.

[Assalamu'alaikum, Ma]

[Wa'alaikumussalam, iya, Hanum ... ada apa sudah malam nelepon, mama sampai kaget ini.]

[Hanum minta maaf, Ma. Tapi ini penting sekali. Tolong Mama sama Papa datang ke rumah sekarang juga. Sesuatu terjadi pada Mas Andi.] 

[Andi kenapa? Katakan, jangan buat Mama khawatir!]

[Nanti Hanum jelaskan kalau sudah di sini. Tolong ya, Ma]

[Iya, Num]

Telepon kuakhiri dengan sedikit kalimat yang menenangkan mama. Maafkan Hanum ya mama dan papa mertua, tapi menantumu ini membutuhkan kehadiran kalian, ini kenyataan pahit yang harus kita temui bersama.

Kediaman mertuaku tak jauh dari rumahku, hanya melewati satu perempatan lampu merah saja sekitar sepuluh menit jarak tempuhnya dari sana.

[Bu, cepatlah, keburu mereka mulai bersenang-senang]

Pesan dari Mbak Septi masuk saat aku sudah di depan kamarnya. Segera kubalas pesannya. 

Kami berdua pun sudah di depan pintu kamar Mimin sekarang. Mbak Septi memberikan kunci serep kamar Mimin padaku.

Aku menarik napas panjang, berdoa dalam hati meminta diberi kekuatan hati untuk bisa menyaksikan kenyataan seburuk apa pun yang sedang terjadi di dalam kamar Mimin nanti.

Gemetar tanganku memutar kunci. Begitu kuputar gagang pintu, Mbak Septi yang langsung menerobos masuk. Sepertinya dia lebih geram dariku, itu karena dia pernah merasakan sakitnya dihianati suami.

Mataku memanas, pandanganku berembun. Terhenyak saat mendapati suamiku yang kuanggap setia itu sunguh-sungguh terbukti hendak naik ranjang wanita lain.

Mimin yang terbaring manja, kaget segera meraih selimut untuk membungkus tubuhnya. Pakaiannya berserakan di sisi tempat tidur. Sementara Mas Andi masih memakai pakaian dalam berdiri di samping tempat tidur bersiap hendak memulai aksi nistanya. 

"Papi!" 

Mereka berdua begitu terkejut, Mimin semakin merapatkan selimut ke tubuhnya. Satu tangannya berusaha menggapai pakaiannya. Mbak Septi cepat beraksi, diambilnya pakaian Mimin dan melemparnya ke luar kamar.

Kuambil pakaian Mas Andi yang ditaruh di meja kecil samping lemari pakaian. Kulemparkan celana pendek ke mukanya sedangkan kaosnya masih tetap kupegang.

"Pakai celanamu, Pi! Cepat sebelum mama sama papa sampai sini." Aku terpaksa memberinya celana untuk menutup auratnya, kasihan Mbak Septi harus melihat aurat yang bukan mahromnya.

"Mama sama papa ke sini? A--akkuu ..."

"Apa yang mau kamu katakan, Pi. Tak kusangka kamu bukan pria saleh seperti yang kukira selama ini. Teganya kamu menduakan aku, tak menghargai ikatan pernikahan kita."

Kutunjukkan jari telunjukku ke muka pias Mas Andi. Lalu kualihkan jari telunjukku kepada Mimin dengan berkata lantang.

"Dan kamu perempuan tak terhormat pengganggu rumah tanggaku! Apakah tidak kamu ketahui beratnya dosa berzina? Apa kamu sudah tak laku lagi sampai harus merebut pria beristri!"

"Kamu tu ngomong apa, Bu! Mas Andi yang mendatangiku. Dia lebih mencintai aku. Kamu lah yang pelakor, Bu! Merebut Mas Andi saat sudah berjanji mau menikah denganku dulu."

Mimin berteriak lebih keras dari suaraku, memang perempuan tak berakhlak.

Apa katanya tadi? Aku lah pelakornya? Bagaimana bisa! Kutajamkan mataku pada Mas Andi.

"Maafkan aku, Mi. Aku khilaf, sungguh. Tapi aku mencintaimu. Kamu mau memaafkanku 'kan Mi?" Mas Andi mendekat, berusaha meraih tanganku, matanya berkaca-kaca.

"Jangan sentuh aku! Meminta maaf tidak akan bisa merubah yang sudah terjadi, Pi! Katakan dengan jelas, siapa perempuan nista itu sebenarnya!" Kutepis dengan keras tangan Mas Andi.

"Kamu tidak mendengarku tadi, Bu Hanum? Aku wanita yang lebih dicintai Mas Andi darimu. Terima saja suratan takdirmu, jangan menyalahkanku atau Mas Andi. Kami saling mencintai jauh sebelum kamu mengenal Mas Andi."

Hatiku mendidih mendengar perkataan Mimin, bisa-bisanya dia merasa dirinya benar. Bahkan menganggap yang terjadi sebagai suratan takdirku. 

"Kurang ajar sekali kamu, Min! Tak pantas kamu dibandingkan dengan Bu Hanum. Tak ada meski seujung kuku pun kamu lebih baik dari Bu Hanum." 

Mbak Septi berkata penuh amarah, dia mendekati Mimin dan menjambak rambutnya. Mimin meronta lalu kepalanya masuk ke dalam selimut, menjauh dari jangkauan Mbak Septi.

Ponselku berbunyi, ada telepon dari Mama mertua. Kujawab pertanyaan Mama yang bertanya keberadaanku karena rumah sepi.

[Langsung ke kamar karyawan katering saja, Ma, kami disini.]

Mas Andi bergegas berjalan hendak keluar dari kamar. Segera kuhalangi langkahnya. Dia pengecut sekali, tak berani menghadapi akibat  dari perbuatannya.

"Berani kamu melangkah lagi, kamu akan mendekam di penjara, Mas!"

Tak sudi lagi kupanggil dia dengan panggilan kesayangan 'papi'. Mas Andi menautkan alisnya, dia tampak tertegun mendengar ucapanku.

"Aku bisa jelaskan semuanya, seharusnya tak perlu kamu libatkan orang tuaku," pekik Mas Andi.

"Harus, Mas! Mereka patut tahu tingkah tak bermoral putranya, mereka pasti tak menyangka kamu sanggup melanggar ajaran agama hanya demi menuruti nafsu setanmu."

"Tapi, bukan aku saja yang salah. Kamu juga, Hanum! Berapa hari ini kamu mengabaikanku. Sementara .... Ah,  a--akku tak tahu kenapa hasratku terasa berlebihan tak seperti biasanya."

Deg! Iya, aku memang salah karena terlalu sibuk dengan kegiatan di sekolah, tapi Mas Andi tak ada menyatakan keberatan sedikitpun tentang hal itu. Jadi kukira semua baik-baik saja.

Dilema seorang istri yang bekerja memang seperti itu, tapi saat suami ridho istri bekerja seharusnya bisa membimbing dan membicarakan dengan baik saat tak sependapat lagi dengan kesibukan istri. 

Selama ini meski sibuk di sekolah, Mas Andi memahami saat aku lelah. Lalu kenapa sekarang menuntut perhatian lebih? Oh iya, itu karena Mimin sudah menaruh obat kuat di minuman Mas Andi. Mbak Septi sudah periksa kamar Mimin dan menemukan obat itu di laci meja.

"Hanum, apa yang terjadi, Nak? Pakaian siapa itu yang berserakan di depan kamar?"

Suara mama mengejutkan kami semua. Mas Andi tampak kebingungan. Mimin apalagi, wajahnya semakin pias dia hanya mengenakan selimut untuk menutupi badannya. Andai aku tega mudah saja kutarik selimut yang menutup tubuh tak berharganya itu.

Aku segera menghambur memeluk Mama, hubungan kami sangatlah dekat. Tak jarang mama lebih membelaku jika aku ada pertengkaran kecil dengan Mas Andi selama ini. Tak bisa kubayangkan kemarahan yang akan diterima Mas Andi setelah Mama mengetahui kelakuan tak terpujinya.

"Ceritakan ada apa! Mama bingung, Hanum.'' Mama mengurai pelukannya, menatapku dengan penuh tanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status