Share

Badai Menerjang

Aku tak boleh kalah menyerah dengan Mimin. Jika terbukti Mas Andi sudah berhianat rasanya aku tak akan bisa lagi melanjutkan rumah tanggaku dengannya, tapi tak 'kan kubiarkan juga Mimin bisa memiliki Mas Andi, enak saja mau bahagia dengan jalan merebut pasangan orang lain.

Bayangan Mas Andi menghabiskan sebagian malamnya bersama Mimin membuatku mual. Kupandangi semangkuk bakso di depanku, meski perut keroncongan tapi selera makanku tak juga timbul melihat bakso yang terlihat enak itu.

Kulihat pesan WA-ku masih centang satu, mungkin ponsel pengunggah postingan di F* itu sedang tidak diaktifkan. Tapi aku yakin wanita yang hilang itu hampir sama persis dengan Mimin. Kutaruh kembali ponsel ke dalam tas.

"Ayo mbak sambil dimakan baksonya, sudah hampir senja."

"Iya, Bu, makasih. Ibu juga harus makan baksonya, ayo dihabiskan biar kuat menghadapi kenyataan hehe." Mbak Septi mencoba melempar canda. 

Aku tahu Mbak Septi ingin menghiburku dan ingin aku kuat menghadapi cobaan yang baru saja datang menghampiriku.

"Mbak Septi bisa saja." Aku pun akhirnya tertawa sejenak. Segera kusuap bakso yang sudah mulai dingin itu.

Bagaimana bisa aku tak menyadari, kehadiran Mimin yang tiba-tiba saja dibawa ke rumah oleh Mas Andi itu jelas tidak wajar. Jika memang Mimin itu saudara jauh temannya, paling tidak aku harusnya nanya dong teman yang mana. Sungguh aku sudah keliru terlalu percaya pada suamiku.

"Mbak, nanti bantu aku menggeledah kamar Mimin ya. Kita akan cari bukti, harus kita beri pelajaran wanita genit itu. Biar kupikirkan cara untuk membuat Mimin dan Mas Andi jera."

***

"Ya ampun, Mami hampir maghrib baru saja pulang, aku khawatir sekali menunggumu dari tadi."

Mas Andi menyambutku yang baru saja masuk ke rumah. Meski ucapan dan perhatiannya itu mungkin tulus, tapi kali ini justru terdengar memuakkan di telingaku.

"Mami capek banget, Pi. Mau mandi dulu." Kutinggalkan Mas Andi begitu saja bahkan tanpa menatapnya sama sekali.

Aku sengaja sedikit cuek, mau kulihat sejauh apa dia akan bersikap seandainya tak kuhiraukan perhatiannya. Apakah dia tetap akan gigih memberiku perhatian atau justru akan beralih ke pelukan Mimin lagi.

Guyuran air di badan sedikit menyejukkan hati dan pikiranku. Tak sabar lagi menunggu malam tiba, aku sudah merencanakan sesuatu dengan Mbak Septi.

Selepas salat maghrib kudapati Mas Andi tidak ada di rumah. Mungkin dia sedang di dapur katering mengatur persiapan menu untuk esok hari. Segera kususul Mas Andi ke sana.

Benar, tampak Mas Andi sedang mengawasi Mamat menyalin daftar pesanan katering yang harus diantar besok. Tugas Mamat memang mengantar pesanan yang jauh jaraknya. Mas Andi ikut mengantar hanya pesanan yang dekat rumah dan yang sudah tak tertangani lagi oleh Mamat sendirian.

Tampak Mimin, Mbak Septi dan Ningsih masih mengupas bawang, segala macam bumbu dan mempersiapkan bahan masakan lain.

"Mbak Septi, bisa minta tolong ke warung untuk belikan ant*ngin. Aku masuk angin ini kayaknya. Pengin tidur lebih cepat malam ini."

"Iya, Bu. Tapi kalau agak lama nggak apa 'kan, adanya di warung simpang sana."

"Iya, Mbak. Hati-hati ya sudah malam." 

Mbak Septi memang kusuruh pura-pura beli jamu masuk angin. Dia akan menaruh kamera di kamar Mimin. Aku yakin Mimin dan Mas Andi akan memanfaatkan kondisiku yang tidur lebih cepat untuk menghabiskan malam bersama. Sudah kuberikan kunci serep kamar Mimin pada Mbak Septi.

Kulihat Mimin memblender bumbu sambil menahan senyum dikulum, dia pasti senang mendengar aku nggak enak badan dan tentu tidak bisa melayani Mas Andi.

Kualihkan pandangan pada Mas Andi, kurang ajar dia lagi-lagi sedang menatap lekat pada Mimin.

"Semua bahan sudah siap ini, Bu. Saya pamit pulang dulu." Ningsih memasukkan semua bumbu ke dalam kulkas. 

"Iya, hati-hati naik motornya jangan kencang-kencang." Kujawab sambil tersenyum.

"Saya juga pulang ya, Pak." Mamat ikut pamit pulang.

Mas Andi yang masih mencuri-curi menatap Mimin segera menganggukkan kepala.

"Besok jangan kesiangan ya, Mat." Mas Andi menepuk bahu Mamat.

Mimin masih membersihkan beras memastikan tidak ada gabah atau batu yang terbawa. Mas Andi mengajakku duduk di kursi dekat meja tempat menaruh bahan masakan.

"Kita temanni Mimin dulu ya, Mi, sambil menunggu Mbak Septi datang," kata Mas Andi.

"Iya, Pi. Kasihan Mimin juga 'kan kalau sendirian nanti digondhol setan."

"Hahaha Mami lucu banget sih." Mas Andi menimpali candaanku. Iya, setannya itu kamu Mas, sergahku dalam hati.

"Min, kamu sudah kasih kabar ke keluargamu belum kalau betah banget kerja dan tinggal di sini." Aku mulai mengulik emosi Mimin.

"Su--sudah, Bu. Saya juga nanti kalau sudah gajian mau ijin pulang dulu." Mimin menjawab dengan gugup, sepertinya memang benar dia pergi meninggalkan keluarganya tanpa kabar.

Kami menggaji karyawan tiap dua minggu sekali. Supaya bisa dipergunakan jika mereka mempunyai banyak keperluan. Di akhir bulan nanti baru gajian lagi ditambahi sedikit bonus dari pesanan yang diluar pesanan rutin katering.

"Mi, belum ingin istirahat?" 

Mas Andi berusaha mencegahku tak bertanya lagi pada Mimin. Dia pasti tak ingin aku tahu lebih banyak tentang Mimin. Tunggu saja tak lama lagi semuanya akan terungkap, Mas, geramku dalam hati.

"Ini, Bu, ant*nginnya. Saya pamit mau istirahat di kamar, saya nggak enak badan juga jadi sekalian beli obat pusing biar bisa cepat tidur."

Kuucapkan terima kasih dan menerima ant*ngin dari Mbak Septi. Jebakan sudah terpasang, Mimin pasti senang mendengar Mbak Septi tetangga kamarnya akan tidur lelap.

"Mimin istirahat juga ya, Bu." 

Aku mengangguk, tangan Mas Andi kuraih mengajaknya masuk ke rumah. Mimin tampak sebal melihatku menggandeng tangan Mas Andi.

***

"Mi, mau kupijit biar lebih enakan?" Mas Andi menyentuh pundakku, selimut sudah membungkus seluruh badanku. 

Kugelengkan kepala, menguap lebar pura-pura sudah mengantuk. Mas Andi memeluk pinggangku dari samping.

Tring ....

Ponsel Mas Andi berbunyi. Mas Andi melepas pelukan, diambilnya ponsel di samping bantalnya. Kulihat dia mengetik membalas pesan yang masuk. Aku cepat-cepat memejamkan mata supaya terlihat hampir terlelap.

Apakah pesan itu dari Mimin, mengajak Mas Andi untuk tidak melewatkan menikmati kesempatan berdua malam ini mungkin.

Setengah jam berlalu, aku pura-pura sudah tidur lelap. Kurasakan Mas Andi perlahan beringsut turun dari tempat tidur. Terdengar pintu kamar perlahan dibukanya.

Kuraba ponsel yang sudah kutaruh di bawah bantal, segera kukirim pesan kepada Mbak Septi.

[Sepertinya Mas Andi sudah keluar dari rumah, tolong perhatikan TKP]

[Siap, Bu.]

Mbak Septi dengan cepat membalas pesanku. Allah Maha Baik, telah memberiku petunjuk dan pertolongan melalu Mbak Septi tentang siapa suamiku yang sebenarnya.

[Bu, Bapak sudah masuk ke kamar Mimin]

Ya Allah, kuremas selimut dengan geram, ternyata memang suamiku tidak setia. Perih sekali rasanya hatiku.

Kurangnya apa aku selama ini? Saat Mas Andi membutuhkan dukungan untuk memulai usaha, akulah orang yang paling memberinya segalanya. Tak cukup hanya perhatianku saja untuknya tapi gajiku juga digunakan untuk membantu menambah memutar modal yang kupinjam dari bank. Mobil juga aku yang membeli dari tabunganku selama mengajar, meski bukan mobil baru. 

Kukirimkan pesan WA kepada Mbak Septi lagi.

[Tadi kameranya sudah dipastikan nyala kan, Mbak?] 

[Iya, Bu, saya pasang di sudut atas kamar, nanti akan saya ambil kalau Mimin ke kamar mandi]

[Siiip, makasih Mbak Septi]

Ketidaksetiaan Mas Andi entah apa penyebabnya belum bisa kuurai dalam pemikiranku. 

Hatiku bergemuruh .... Malam ini terasa begitu pilu bagiku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status