Share

BAB 2

Malam beranjak meninggi. Bulan purnama tanggal enam belas cemerlang di langit. Cahayanya hangat membasuh bumi.

Di luar mulai sepi, sudah tidak terdengar suara anak-anak yang ramai bermain. Hanya sesekali terdengar suara nyaring khas penjual kue putu, atau suara tukang nasi goreng berteriak sambil memukul piring dengan sendok yang menimbulkan suara berdenting.

Bram keluar dari kamar mandi. Lelaki itu segera mengenakan piyama tidur yang sudah disiapkan Elya, kemudian mengibaskan rambut, berusaha mengeringkannya.

Dulu, Elya akan langsung protes jika Bram melakukan itu. Bikin basah lantai, dinding, airnya bercipratan kemana-mana. Tapi sekarang, Elya hanya melirik sekilas, kemudian kembali sibuk dengan ponselnya.

Bram menarik napas. Tadi dia sengaja melakukan itu, memancing Elya. Tapi istrinya itu tidak bergeming. Entah kesibukan apa yang dia lakukan dengan ponselnya itu.

Bram berjalan cepat ke arah Elya. Dia merampas benda segi empat itu dan menyimpannya dalam saku piyama.

"Kembalikan!" Elya yang terkejut langsung berteriak.

Bram bergeming. Dia memilih berjalan keluar kamar menuju dapur. Dulu, Elya akan dengan senang hati menemaninya makan malam. Bertanya aktivitasnya di kantor hari ini. Menuangkan air minum, menyeka nasi yang menempel di ujung bibirnya, sesekali ikut makan dari piringnya. Ah … dia sangat merindukan masa itu.

Bram mengeluarkan ponsel Elya dari saku piyama. Berusaha membuka kunci ponsel Elya. Gagal. Sialan! Bram memaki dalam hati. Elya mengganti kuncinya.

Capcay di atas meja makan menggoda. Mengobati rasa dongkol Bram. Lelaki itu tersenyum, Elya memang pintar masak. Isterinya itu paket lengkap. Selain pandai menjaga penampilan, pandai melayani semua kebutuhannya, pandai juga memasak. Sempurna.

"Astaga!" Bram yang sedang memasukkan sesendok capcay ke dalam mulut tersedak. Wajahnya memerah. Dia segera meraih gelas air minum dan meneguknya cepat. Bram terbatuk, memukul-mukul dadanya. Beberapa saat kemudian dia bisa bernapas lega.

Elya yang berdiri di samping kursi menatap Bram tidak bersalah. Tadi dia langsung mengambil ponselnya yang tergeletak di dekat tangan Bram. Secepat kilat. Takut ditahan Bram lagi kalau dia telat mengambilnya.

"ELYA!" Bram berteriak saat Elya melenggang begitu saja menuju kamar tidur mereka.

Bram membanting sendok di tangannya. Isi piring berhamburan terkena hantaman sendok. Hilang sudah nafsu makannya. Perut yang tadi keroncongan mendadak kenyang.

Bram bergegas berdiri dan membuka pintu kamar kemudian langsung membantingnya dengan keras.

"APA MAUMU, EL?!" Bram menarik tangan Elya dan memaksanya menghadap ke arah dirinya.

Elya terjajar. Sejenak wajahnya pias. Bram tidak pernah kasar padanya. Ini pertama kali Bram berlaku kasar selama sepuluh tahun pernikahan mereka.

Hanya sejenak. Sedetik kemudian Elya sudah bisa menguasai keadaan. Wajahnya kembali tenang. Elya tahu, dia harus tenang jika ingin menang.

Mungkin tadi dia sudah keterlaluan, sehingga emosi Bram tersulut.

"Kenapa, Mas?" Elya berkata lembut sambil membenarkan posisinya berdiri.

"Sssttt … Jangan teriak-teriak ah. Malu, nanti ada tetangga yang dengar." Elya tersenyum manis sambil membenarkan posisi rambutnya yang agak sedikit berantakan karena tadi hampir jatuh ditarik Bram.

"Kenapa kamu seperti ini, El?" Bram menatap Elya frustasi. Dia benar-benar pusing dengan tingkah isterinya.

"Seperti ini bagaimana?" Elya pura-pura bodoh. Dalam hati dia bersorak gembira melihat sinar kelelahan di mata suaminya.

“Kau kira aku sudi menjadi tamengmu seumur hidup? Nikmatilah! Nikmati semua sakit yang sengaja kau goreskan di relung terdalam perasaanku, Mas.” Batin Elya bergejolak. Ingin rasanya dia mencakar muka laki-laki bergelar suami di hadapannya.

Lelaki yang telah mencabut habis semua perasaannya. Lelaki pengecut, yang rela menggadaikan perasan isterinya, agar terhindar dari setiap cerca. Lelaki kerdil, yang rela membuat istrinya menderita, agar mendapatkan tameng untuk menghindari setiap kotoran yang dilemparkan ke wajahnya.

"El … aku minta maaf." Bram memegang kedua tangan Elya.

Dia lelah dengan semua sikap Elya. Wanita itu memang masih melayaninya dengan baik. Menyiapkan semua keperluannya, mencuci, memasak, merapikan rumah. Elya memang tidak ingin dibantu asisten rumah tangga. Dia lebih suka mengerjakan semua sendiri. Elya bahkan masih melayani kebutuhan batinnya. Istrinya itu tidak pernah menolak saat dia meminta.

Tapi semua itu hanya kepalsuan. Elya tidak tulus melayaninya, dan wanita itu benar-benar menunjukkan dia melakukan itu hanya karena kewajibannya sebagai seorang isteri. Dibalik sikap manisnya, Elya sengaja menunjukkan pada Bram, dia melakukan semua itu dengan terpaksa.

Elya melepaskan genggaman tangan Bram. Dia melingkarkan tangan Bram di pinggangnya. Elya membenamkan kepalanya dalam dada bidang Bram. Mendongak, menatap mata Bram.

"Apa kau juga akan meminta maaf, andai aku tidak menemukan rahasia terbesarmu itu, Mas?" Elya menggerakkan jari telunjuk kanannya. Melukis lambang tanda cinta di dada sebelah kanan Bram, sambil kepalanya tetap bersandar di dada suaminya itu.

"Aku benar-benar menyesal, El." Bram mengelus rambut Elya perlahan. Wangi rambut itu masih sama. Aroma yang sangat disukainya.

Elya tertawa kecil, membuat Bram sedikit melonggarkan pelukannya. dia menatap mata Elya. Mata yang membuatnya jatuh hati, karena keindahannya. Ah … apa yang tidak indah dari seorang Elya? Isterinya itu nyaris sempurna sebagai seorang wanita.

"Menyesal untuk apa?" Elya tersenyum sambil memegang pipi suaminya. dia mengelusnya perlahan, merasakan bulu-bulu tajam yang baru tumbuh di sekitarnya.

"Aku menyesal menyembunyikan semua itu, El." Suara Bram tercekat.

Elya menggeleng. Senyum itu semakin lebar.

"El …."

"Ssssssttt, kau bukan menyesal, Mas. Kau hanya ketahuan." Elya memotong ucapan Bram. Senyum itu masih menghiasi wajah cantiknya.

"Andai aku tidak tahu, aku yakin seratus persen, sampai saat ini pun kamu akan tetap mengubur semua kebenaran itu kan, Sayang?" Elya menatap Bram yang terlihat kikuk. Dia melepaskan pelukan mereka perlahan.

"Aku ngantuk, Mas, tidur yuk?" Elya mengecup pipi Bram dan menggandeng tangan suaminya itu menuju kasur tempat peraduan mereka. Hal yang dulu biasa dia lakukan. Tapi entah kenapa, kini saat Elya melakukannya, Bram merasa tersiksa. Dia tahu, Elya melakukan itu semua untuk menghukumnya.

Elya sengaja bersikap seperti itu, untuk menyiksa perasaan Bram. Tidak ada gunanya marah dan mengamuk membabi buta, hanya akan membuat lelaki itu senang karena telah berhasil membohonginya. Berhasil membuatnya terlihat bodoh selama tujuh tahun pernikahan mereka.

Dia ingin lelaki itu mati perlahan karena telah membohonginya selama bertahun-tahun. Dia ingin lelaki itu mati tersiksa perasaannya sendiri karena telah menyiksanya selama ini. Dia ingin lelaki itu tenggelam, dalam lubang yang telah dia gali dengan kedua tangannya sendiri.

"Apa maumu, El?" Bram duduk di pinggir ranjang. Dia menatap Elya menghiba. Suaranya terdengar putus asa.

Elya menarik selimut bulu tebal yang berwarna senada dengan seprai kasur. Merah hati. Membuat kulitnya yang putih terlihat sangat kontras.

"Ceraikan aku, Mas!" Elya menatap Bram tajam.

Bram menggertakkan giginya. Lelaki itu menggeleng tegas. Dia tidak ingin kehilangan Elya sampai kapan pun.

Elya tersenyum. Dia tahu Bram tidak akan melepaskannya. Tidak akan semudah itu.

“Baiklah, maka nikmatilah rasanya tersiksa karena manisnya cinta yang kusuguhkan. Kau akan mati perlahan karena mabuk kepayang, seperti semut yang mati, karena tenggelam dalam manisnya lautan gula.” Batin Elya terus berbisik.

Elya mengecup pipi Bram sekali lagi. Dia merebahkan diri dengan nyaman, kemudian dengan anggun menarik selimut bulu merah hati, menutupi semua tubuhnya.

Elya tersenyum manis pada Bram yang menatapnya dengan tatapan yang entahlah.

"Selamat malam, Mas …."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status