Share

Perseteruan Tentang Keturunan

Dress casual panjang berbahan sifon warna peach itu melekat sempurna membalut tubuh Elya. Dilengkapi dengan sepatu berhak tinggi tujuh senti, menambah anggun penampilannya.

Cantik.

Semua sepakat dengan kata itu, saat memandang Elya.

Rambutnya yang panjang terurai, meliuk-liuk mengikuti derap langkahnya.

"Elya … " Elya tersenyum, menghampiri Mama Vania yang memanggilnya.

"Kok acaranya mendadak sih, Ma?" Elya mengambil tempat duduk di samping Mama Vania. Berbisik sambil memperhatikan sekitar.

"Kenny ketahuan sudah hamil tiga bulan, Om Ridho mengamuk tadi siang, memaksa Alfin bertanggungjawab." Mama Vania berbisik.

"Ini juga tadinya mau langsung akad saja, tapi Om Ridho berkeras mau lamaran dulu sekalian rembuk tanggal. Maunya ada pernikahan yang wajar, jadi tidak malu di depan kolega bisnis."

Elya mengangguk. Dia dan Kenny cukup dekat. Om Ridho –Ayah Kenny– merupakan adik Papa Lin.

"Mana Bram?"

"Tadi di luar ketemu Papa. Biasa …." Elya mengangkat kedua tangannya.

Mama Vania tertawa. Dia sudah hafal betul maksud Elya, anak dan suaminya itu pasti tidak jauh-jauh membicarakan tentang perusahaan.

"Ranti tidak sempat terbang kesini, tiket pesawat sudah habis. Sementara Lira kurang enak badan, hamil muda anak itu ringkih sekali." Mama Vania menggeleng.

Elya tersenyum tipis dan mengangguk. Baguslah, jadi dia tidak pusing dengan tingkah kedua adik iparnya yang menyebalkan itu.

Entah kenapa dua orang itu sangat tidak suka dengan Elya. Mungkin iri karena Elya diperlakukan sepertu ratu oleh Kakak mereka? Entahlah. Elya tidak ambil pusing dengan itu.

Acara akan segera dimulai. Bram dan Papa Lin mendekat, duduk di kursi yang sudah disediakan.

"Kak, Elya belum isi juga?" Tante Adisti, adik Papa Lin yang nomor tiga menjawil tangan Mama.

Serentak mereka menoleh ke belakang, karena suara Tante Adisti lumayan keras.

"Sudahlah, jangan pikirkan masalah keturunan. Fokus kerja saja, Bram. Tenang, Randy sebentar lagi pulang dari Amerika. Kuliahnya hampir selesai. Dia bisa belajar banyak darimu, untuk meneruskan perusahaan keluarga." Om Miko, suami Tante Adisti ikut bersuara.

Papa Lin dan Mama Vania terdiam. Tidak menyangka adik mereka lancang berbicara demikian.

"Mending Kenny dong ya, sudah isi duluan. Dari pada sudah menikah lama tapi belum isi-isi juga." Tante Adisti tertawa kecil sambil menutup mulut.

Keluarga dekat yang mendengar omongan Tante Adisti ikut tertawa kecil. Sebagian lagi menggelengkan kepala. Mencemooh.

Mulut Elya dan Bram terkunci rapat. Serasa ada godam besar yang menghantam dada. Sesak. Bahkan rasanya untuk bernapas pun sulit.

Benda kecil bernama hati yang tersembunyi dalam di relung dada, kembali tersayat. Luka lama itu dibuka kembali, kemudian ditaburi air garam. Perih. Sakit.

"Menikah lagi saja, Bram. Keburu menopause Elya-nya. Buat apa cantik kalau tidak sempurna sebagai seorang wanita." Tante Adisti memandang rendah pada Elya.

Wajah Elya terasa panas. Lidahnya kelu. Bram mengatupkan rahangnya. Giginya gemerutuk. Tangannya terkepal.

Elya memejamkan mata. Dia menarik napas panjang. Dia merasakan udara masuk melalui hidungnya, terus mengalir menuju paru-paru. Rongga dadanya mengembang. Ditahannya sebentar. Sesaat kemudian secara perlahan udara itu kembali diembuskan melalui mulutnya.

Elya membuka mata. Bibir berwarna merah hati itu perlahan membentuk segaris senyum. Manis. Senyum yang sangat manis

Mata cemerlang Elya menatap tajam Tante Adisti.

"Tante, saya memang belum dipercaya untuk memiliki keturunan. Namun, sungguh, kalaupun saya bisa memilih, saya memilih tetap seperti ini, dari pada saya mempunyai keturunan, tapi didapat dengan cara yang hina."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status