Share

Kau yang Bermasalah!

"Tante, saya memang belum dipercaya untuk memiliki keturunan. Namun, sungguh, kalaupun saya bisa memilih, saya memilih tetap seperti ini, dari pada saya mempunyai keturunan, tapi didapat dengan cara yang hina." Suara Elya lembut terdengar. Intonasinya terkontrol. Khas wanita berpendidikan.

"Apa yang bisa dibanggakan dari seorang pezina? Mu-ra-han!" Elya berdecih.

"Tidak heran kenapa Mella, anak Tante kemarin melahirkan di usia kandungan enam bulan. Prematur katanya. Tapi aneh ya, bayinya sehat, tidak masuk inkubator satu jam pun. Tidak juga suntik pematangan paru-paru." Elya menautkan alis seolah heran.

Tante Adisti dan Om Miko terdiam.

"Kehormatan seorang wanita terletak pada harga dirinya, bukan pada takdir yang Tuhan gariskan untuknya." Elya tersenyum.

Wajah cantik itu bercahaya. Cahaya yang hanya dimiliki oleh wanita terhormat. Wanita-wanita pilihan, yang mempersembahkan kehormatannya hanya untuk pria yang sudah sah secara hukum maupun agama.

"Siapa yang tahu rahasia Tuhan? Di dunia ini tidak ada yang pasti kecuali mati. Roda berputar. Jangan terlalu angkuh dengan apa yang kita punya kini.

Jodoh, maut, keturunan. Itu mutlak kuasa Tuhan. Bisa apa kami kalau Tuhan belum berkenan untuk memberi? Bertanya kapan aku hamil, itu sama saja dengan jika aku bertanya kapan Tante meninggal? Kita …."

"Alah! Sudahlah Elya, kamu terlalu banyak bicara. Faktanya hingga sepuluh tahun pernikahan kalian, belum juga ada tanda-tanda kamu hamil. Dasar mandul! Kau wanita mandul!" Tante Adisti menunjuk wajah Elya

"Menikah lagi saja, Bram. Kau tidak ingin melepaskan perusahaan keluarga bukan? Cari wanita sehat, cari wanita yang rahimnya subur. Untuk apa cantik kalau rahimnya tidak berfungsi?!" Tante Adisti menatap remeh Elya.

"Adisti! Cukup. Jangan lewati batas yang telah digariskan dengan jelas. Kau tidak punya hak ikut campur dalam urusan keluarga kami." Papa Lin akhirnya bersuara.

"Apa sih yang Kakak banggakan dari menantu mandul ini? Cantik? Berpendidikan? Di luar sana banyak yang jauh lebih segalanya dari dia, Kak!"

"Tante berkata seolah Tante tahu segalanya. Apa sudah pasti saya yang mandul? Bukankah masalah keturunan ini bukan hanya wanita yang berperan? Coba tanya Mas Bram." Elya mengangkat dagunya sambil menyilangkan tangan.

"Apa maksudmu, Elya?" Mama Vania memegang bahu Elya. Dia bertanya heran. Bukankah selama ini Bram selalu membela Elya? Kenapa justru sekarang Elya seperti memojokkan Bram?

"Sudahlah, Ma. Acaranya sudah mau dimulai." Papa Lin mengingatkan.

Bram menatap lurus ke depan. Tangannya terkepal. Wajah tampan itu terlihat sangat dingin.

Acara berakhir tepat jam sepuluh malam. Elya dan Bram bergegas meninggalkan tempat itu.

Mobil pajero sport silver metalik memasuki rumah dengan gaya modern minimalis. Rumah itu tidak terlalu besar, tapi memiliki taman yang luas. Elya menyukai tanaman, sehingga rumah itu terlihat sangat asri karena pepohonan dan bunga-bunga yang dirawat Elya dengan baik.

"El …." Bram menahan tangan Elya.

Elya menoleh pada Bram. Dia mengurungkan niatnya membuka pintu mobil.

"Kenapa?" Bram menarik napas panjang.

Elya mengangkat bahu, kedua tangannya ikut terangkat.

"Apanya?" Elya bertanya heran.

"Kenapa berbicara seperti itu?" Bram menatap Elya tajam. Rahangnya mengeras.

"Hah?!" Elya menautkan kedua alisnya. Dia bingung dengan maksud pertanyaan Bram.

"Tadi di acara lamaran Kenny, kenapa berbicara seperti itu ke Tante Adisti?" Bram meremas paha, gemas sekali dia dengan Elya.

"Aduh, sayang. Bicara yang mana siiiiih? Tadi ada banyak yang ku bicarakan dengan tantemu yang menyebalkan itu." Elya memonyongkan bibirnya.

Bram mengembuskan napas. Dulu dia sangat menyukai jika Elya sedang manyun seperti itu. Lucu. Menggemaskan.

Bram memukul setir mobil dan mendengus kasar. Dia kesal dengan Elya yang pura-pura tidak tahu.

"Kenapa berbicara seolah aku yang bermasalah?"

"Bukannya memang kau yang bermasalah?" Elya langsung menyambar pertanyaan itu, mengangkat alis dan tersenyum menatap Bram.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status