Brakk!
Pintu kamar dibanting dengan keras. Elya yang sedang duduk di meja rias menggunakan skincare malam melihat sekilas ke arah Bram, suaminya.Lelaki itu terlihat kacau. Dia berjalan ke arah kasur, lalu membanting badannya hingga tidur terlentang dengan kedua tangan menutup wajah."Berapa harga skincare itu, El?" Bram menoleh dan menatap tajam pada Elya yang masih sibuk di meja rias. wanita itu mengoleskan entah krim apalah di wajahnya yang mulus terawat."Kenapa, Mas? Mau pesan? Paket gold atau platinum?" Elya tertawa sinis menanggapi pertanyaan suaminya.Elya memperhatikan Bram dari pantulan di dalam cermin. Lelaki itu duduk kemudian melonggarkan dasi yang dipakainya. Sementara Elya tetap diam, meneruskan memakai serum dan dilanjutkan dengan krim malam."Kamu berubah, El!" Bram beranjak berdiri, berjalan menuju meja rias, kemudian memegang bahu Elya."Maksudnya?" Wanita cantik berusia tiga puluh tiga tahun itu mengangkat alis sambil menatap suaminya dari pantulan cermin."Kamu berubah! Mana Elya yang kukenal dulu? Yang lemah lembut? Elya yang penurut? Elya yang selalu menyambut suaminya saat pulang kerja?" Bram mengguncang pelan bahu Elya.Elya melepaskan tangan Bram di bahunya. Dia berdiri dan membalikkan badan. elya menatap Bram tepat di matanya. Mata cemerlang itu berkedip dengan anggun. Siapapun yang menatap mata itu, akan terpesona karena keberanian dan ketegasan yang terlihat jelas dari cahaya matanya. Cahaya mata yang mengendalikan. Cahaya mata milik Elya."Sayang ..." Elya mendesah. dia membasahi bibirnya dengan lidah sambil tersenyum manis, kemudian memegang pipi Bram dengan kedua tangannya.Elya berjinjit. Keningnya dan kening Bram beradu. Sebegitu dekatnya mereka, sampai Bram bahkan bisa merasakan hangat napas Elya di wajahnya.Elya berbisik pelan. Sangat pelan. Bahkan desau angin pun kalah dengan pelannya suara Elya."Setelah semua kebohongan dan luka yang sengaja kau tuliskan dalam kisah rumah tangga kita, kamu masih berharap aku menjadi orang yang sama?" Elya tersenyum tipis."Tujuh tahun kau simpan rapi semuanya, Mas. Sayangnya, istrimu ini masih belum terlalu bodoh untuk terus larut dalam sandiwara yang kau ciptakan." Elya berkata lembut sambil menjauhkan wajahnya dari wajah Bram. Senyum manis itu tetap tersungging di wajah cantiknya.Elya mengembuskan napas perlahan. Tangannya bergerak, berpindah dari wajah Bram menuju dada. Elya kemudian mengelus pelan dada itu. Dada yang selama sepuluh tahun pernikahan mereka, dia kira merupakan tempatnya bersandar. Dada bidang yang selalu menjadi pelabuhan, saat hatinya tengah di ombang-ambing lautan kesedihan.Elya tertawa kecil. Ternyata semua hanya kebohongan belaka. Lelaki yang sangat dicintainya itu menyimpan rahasia yang membuat cintanya terkikis begitu saja. Bahkan melihat lelaki di hadapannya saat ini pun, sebenarnya dia sudah sangat jijik."Aku benar-benar minta maaf, El," ucap Bram sambil menggenggam tangan Elya di dadanya.Elya tersenyum manis sambil melepaskan tangannya dari genggaman Bram."El … " Bram berusaha menangkap tangan Elya yang berjalan menjauhinya.Elya melangkah anggun menuju kasur mereka. Kasur busa kualitas ekspor itu terlihat sangat mewah berpadu dengan seprai satin merah hati."Tadi kamu tanya harga skincareku, Mas? Tujuh belas juta satu paketnya. Kenapa?" Elya duduk di pinggir kasur, kakinya menyilang dengan kedua tangan ke belakang badan sebagai penopang.Elya tersenyum manis. Senyuman itu tidak pernah hilang dari wajah cantiknya.Bram mengacak rambut. Dia menghela napas kasar. Lelaki itu akhirnya mengikuti Elya duduk di samping kasur."El, harus berapa kali lagi Mas minta maaf? Mas benar-benar menyesal, El." Bram menopang kepalan dengan kedua tangan yang bertumpu di paha."Kalau tidak ketahuan, Mas masih menyesal juga tidak?" Elya tertawa renyah sambil mengelus paha Bram lembut.Bram memejamkan mata dengan tangan terkepal. Giginya bergemeletuk menahan amarah, sesal, kesal, sedih semua perasaan itu menjadi satu. Campur aduk. Sulit diterjemahkan. Yang pasti Bram hanya mengerti satu hal, dia sangat takut kehilangan Elya."Mulai bulan depan, kuhentikan semua jatah bulananmu! Kebutuhan dapur biar aku yang menyiapkan, tagihan-tagihan aku semua yang akan membayarkannya!" Bram akhirnya berbicara setelah terdiam agak lama.Elya menautkan alis dan menarik napas panjang. Dia berusaha mengatur dentum di dadanya. wanita itu memejamkan mata. Dia harus tetap bisa mengendalikan diri. Dia harus bisa mengontrol emosi yang sebenarnya sudah di ubun-ubun. Ingin rasanya dia menampar dan meludahi laki-laki di hadapannya."Terus uang skincare, biaya ke salon, ke gym, sama uang arisan Mas juga yang atur?" Elya mengedipkan sebelah mata ke Bram. Centil.Dulu Bram sangat menyukai jika Elya bersikap centil dan menggoda. Tapi kini, dia tahu Elya melakukan semua itu untuk mengejeknya.Bram menghela napas. Ingin sekali rasanya dia mengecup kening wanita di sampingnya. Membawanya ke dalam pelukan. Melabuhkan semua rindu yang selama berbulan-bulan ini terabaikan.Elya berubah seratus delapan puluh derajat setelah mengetahui semua. Wanita berwajah cantik, dengan kulit halus bak porselen itu tiba-tiba menjadi orang yang benar-benar berbeda dari yang selama ini dikenalnya."Tidak ada jatah untuk itu!" Bram berkata tegas. Dia menatap Elya tepat di matanya untuk mengetahui bagaimana tanggapan istrinya dengan keputusan itu.Tadi sebelum pulang dari kantor, lama dia termenung. memikirkan bagaimana cara agar istrinya kembali seperti dulu. Bagaimana agar rumah tangga mereka kembali penuh kesenangan, kebahagiaan dan gairah."Kenapa?" Elya menautkan kedua alis. Bibirnya manyun menggemaskan. Rambut hitam bergelombang, dengan sedikit warna blonde di ujungnya menambah kecantikan Elya.Bram terengah. Ingin rasanya dia menerkam wanita di sampingnya itu. Tapi dia harus menahan diri. Entah kejutan apa lagi yang akan dilakukan Elya jika dia memaksa."Kini kau sadar kan kau menggantungkan hidupmu padaku, El?" Bram meremas pahanya."Kau tetap bisa terlihat cantik dengan biaya perawatan yang tidak sedikit, tetap bisa tampil modis dengan biaya yang fantastis, tetap bisa berkumpul haha-hihi dengan teman-teman sosialitamu, karena siapa? Karena aku!" Bram menggertakkan gigi. Rahangnya mengeras."Itu sudah kewajibanmu sebagai suami." Elya berkata datar sambil memperhatikan kuku tangan. Sudah waktunya berganti warna dan corak. Dia mulai bosan dengan motif bunga anggrek bulan di kukunya."Sudah kupenuhi semua kebutuhanmu selama ini, El. Nafkah lahir kau kucukupkan, nafkah bathin kau tidak pernah kekurangan. Apalagi kurangku sebagai suami?!" Wajah tampan Bram memerah melihat istrinya yang bersikap jauh dari yang diharapkan.Tadinya dia berpikir Elya akan memohon, berusaha merayunya, lalu Bram akan memberikan beberapa syarat agar tidak jadi melakukan aturan tersebut. Jauh panggang daripada api. Elya bukan berusaha melembutkan hatinya, wanita itu dengan enteng mengatakan itu semua sudah kewajibannya."Apa kurangmu sebagai suami?" Elya mengulangi pertanyaan Bram dengan lembut. Suaranya yang halus membuat siapa saja yang mendengarnya menjadi betah berlama-lama berbincang dengan Elya."Kau hanya kurang jujur, Mas…." Bibir basah Elya menyunggingkan senyum yang sangat manis.Malam beranjak meninggi. Bulan purnama tanggal enam belas cemerlang di langit. Cahayanya hangat membasuh bumi.Di luar mulai sepi, sudah tidak terdengar suara anak-anak yang ramai bermain. Hanya sesekali terdengar suara nyaring khas penjual kue putu, atau suara tukang nasi goreng berteriak sambil memukul piring dengan sendok yang menimbulkan suara berdenting.Bram keluar dari kamar mandi. Lelaki itu segera mengenakan piyama tidur yang sudah disiapkan Elya, kemudian mengibaskan rambut, berusaha mengeringkannya.Dulu, Elya akan langsung protes jika Bram melakukan itu. Bikin basah lantai, dinding, airnya bercipratan kemana-mana. Tapi sekarang, Elya hanya melirik sekilas, kemudian kembali sibuk dengan ponselnya.Bram menarik napas. Tadi dia sengaja melakukan itu, memancing Elya. Tapi istrinya itu tidak bergeming. Entah kesibukan apa yang dia lakukan dengan ponselnya itu.Bram berjalan cepat ke arah Elya. Dia merampas benda segi empat itu dan menyimpannya dalam saku piyama."Kembalikan!" E
"Ck!" Elya berdecak sebal saat mengecek notifikasi di ponselnya. Nihil."Awas kau, Mas! Dasar lelaki sialan!" Maki Elya sambil membanting tubuhnya ke atas sofa mewah di ruang tengah.Bram benar-benar melakukan apa yang dikatakannya beberapa minggu lalu. Tidak ada lagi jatah bulanan untuk Elya. Biasanya, jam sepuluh pagi sudah ada notifikasi transfer masuk dengan jumlah yang cukup fantastis dari Bram. Tapi ini sudah jam tiga sore belum juga ada notifikasi. Belum ada atau tidak akan ada? Elya mendengus sebal. “Kau kira aku akan bersimpuh mengemis harta padamu, Mas? Tidak akan!”“Baiklah. Kuikuti permainanmu. Kita lihat, seberapa kuat kau bertahan mengikatku, Mas. Akan kubuat kau berada dalam dua pilihan, melepaskan atau tersiksa selamanya.”Elya beranjak berdiri dan berjalan menuju dapur. Jadwalnya memasak. Dia memang selalu memasak untuk makan malam sekitar jam tiga sore agar masih punya banyak waktu untuk mandi dan merapikan diri sebelum suaminya pulang. Air mata Elya tiba-tiba men
Hujan gerimis mengiringi langkah Elya. Dia masuk ke kafe dengan sedikit berlari-lari kecil. wanita itu ada janji temu dengan seorang kawan lama.[El, aku terjebak macet. Mungkin sekitar setengah jam lagi aku sampai disana.]Elya mengangguk membaca chat dari temannya. Tidak masalah. Dia juga tidak terburu-buru. Cukup sudah selama ini dia menjadi burung di dalam sangkar emas Bram. Kepak sayapnya harus kembali dilatih agar bisa terbang dengan sempurna lagi.dia memilih duduk di kursi paling pojok. dari sana, Elya bisa dengan jelas melihat tetes air di dinding kaca. Bulir-bulir air yang menempel perlahan jatuh, membentuk aliran garis lurus. Hingga akhirnya berkumpul menjadi satu, membentuk genangan di bawah dinding kaca.Dingin.Hujan menderas. Seperti waktu itu. Hatinya hancur saat Ranti, adik iparnya, menghancurkan harga dirinya sebagai seorang istri.Elya termenung. Kilatan masa lalu datang menghampiri. Maka biarlah. Biarlah kenangan itu kembali. Biarlah dia dengan suka rela mengingat
Suara hujan yang semakin deras menarik kesadaran Elya dari kenangan masa lalu. Wanita itu menghela napas untuk yang kesekian kalinya.Pramusaji datang mengantarkan teh melati hangat kesukaannya. Elya tersenyum dan mengangguk sopan, berterima kasih pada pramusaji.Dingin. Hujan membuat suasana menjadi dingin. Sama seperti sore itu. Sore hari beberapa bulan lalu.Elya yang bosan di rumah, akhirnya memutuskan mengunjungi Bram ke kantornya. Sayang, suaminya itu sedang ada meeting di luar. Elya akhirnya memutuskan menunggu Bram di ruangannya, malas juga dia nyetir hujan-hujan."Sudah lama Pak Bram keluar, Rim?" Elya bertanya pada sekretaris Bram yang mengantarkan minuman untuknya."Sudah dari makan siang tadi, Bu." Rima menjawab sopan sambil meletakkan minuman di depan Elya, di meja tamu ruang kerja Bram."Ibu Elya tambah cantik saja." Rima mengedipkan mata."Loh? Ya harus tambah cantik dong, Rim. Kalo tambah muda kan tidak mungkin toh." Elya dan Rima tertawa renyah.Elya lumayan sering be
Dress casual panjang berbahan sifon warna peach itu melekat sempurna membalut tubuh Elya. Dilengkapi dengan sepatu berhak tinggi tujuh senti, menambah anggun penampilannya.Cantik.Semua sepakat dengan kata itu, saat memandang Elya.Rambutnya yang panjang terurai, meliuk-liuk mengikuti derap langkahnya."Elya … " Elya tersenyum, menghampiri Mama Vania yang memanggilnya."Kok acaranya mendadak sih, Ma?" Elya mengambil tempat duduk di samping Mama Vania. Berbisik sambil memperhatikan sekitar."Kenny ketahuan sudah hamil tiga bulan, Om Ridho mengamuk tadi siang, memaksa Alfin bertanggungjawab." Mama Vania berbisik."Ini juga tadinya mau langsung akad saja, tapi Om Ridho berkeras mau lamaran dulu sekalian rembuk tanggal. Maunya ada pernikahan yang wajar, jadi tidak malu di depan kolega bisnis."Elya mengangguk. Dia dan Kenny cukup dekat. Om Ridho –Ayah Kenny– merupakan adik Papa Lin."Mana Bram?" "Tadi di luar ketemu Papa. Biasa …." Elya mengangkat kedua tangannya.Mama Vania tertawa. D
"Tante, saya memang belum dipercaya untuk memiliki keturunan. Namun, sungguh, kalaupun saya bisa memilih, saya memilih tetap seperti ini, dari pada saya mempunyai keturunan, tapi didapat dengan cara yang hina." Suara Elya lembut terdengar. Intonasinya terkontrol. Khas wanita berpendidikan."Apa yang bisa dibanggakan dari seorang pezina? Mu-ra-han!" Elya berdecih."Tidak heran kenapa Mella, anak Tante kemarin melahirkan di usia kandungan enam bulan. Prematur katanya. Tapi aneh ya, bayinya sehat, tidak masuk inkubator satu jam pun. Tidak juga suntik pematangan paru-paru." Elya menautkan alis seolah heran.Tante Adisti dan Om Miko terdiam."Kehormatan seorang wanita terletak pada harga dirinya, bukan pada takdir yang Tuhan gariskan untuknya." Elya tersenyum.Wajah cantik itu bercahaya. Cahaya yang hanya dimiliki oleh wanita terhormat. Wanita-wanita pilihan, yang mempersembahkan kehormatannya hanya untuk pria yang sudah sah secara hukum maupun agama."Siapa yang tahu rahasia Tuhan? Di dun
"El, tolonglah, bersikap baiklah di depan keluarga." Bram memohon."Bagian mana sikapku yang tidak baik di depan keluargamu, Mas?" Elya balik bertanya. Dia menyilangkan tangan di depan dada.Bram mengusap wajahnya kasar. Dia akhirnya mengambil sebotol air mineral yang selalu disediakan di mobilnya. Lelaki itu membuka tutupnya dengan kasar, kemudian menghabiskan isinya dalam sekali tarikan napas.Bram meremas botol air mineral kosong hingga menimbulkan bunyi berisik yang khas. Dia kehabisan kata-kata untuk berdebat dengan Elya. Dia benar-benar lupa siapa Elya dulu sebelum menjadi istrinya. Dia terlalu terlena oleh kelembutan sikap Elya selama sepuluh tahun menjadi istrinya.Elya melayaninya dengan baik dan memperlakukannya dengan lembut hingga membuat Bram terbuai. Membuat Bram lupa, bagaimana bengisnya Elya menyingkirkan lawan bisnisnya belasan tahun lalu, saat mereka masih sering bertemu sebagai rekanan bisnis. Dengan posisi sebagai mediator dan pemilik perusahaan.Elya, bintang tera
"Jangan ungkit semua fasilitas yang kau berikan, Mas. Kau yang menyanggupi semua itu, saat dulu kau ajukan syarat resign padaku sebelum kita menikah!" Elya mengambil ikat rambut kecil berwarna hijau tua di tasnya.Gerah. Padahal AC mobil menyala maksimal."Elya, aku lelah." Bram menengadah. Matanya tertutup rapat.Elya tersenyum."Menyerahlah, Bram. Lepaskan aku." Elya membatin."Bisakah kau bersikap biasa saja saat menghadiri acara keluarga, El?" Bram menatap Elya. Mata itu terlihat lelah."Biasa saja bagaimana maksudnya, Mas?" Suara Elya melemah. Dia Pun sama, lelah dengan semua.Andai bisa memilih, dia lebih baik tidak mengetahui fakta menyakitkan itu. Tapi takdir berkata lain, fakta itu terbuka, tanpa dia memaksa untuk membukanya.Sungguh, Elya tidak dapat hidup bersama lagi dengan lelaki pengecut di sampingnya. Dia merasa hidup dalam dunia penuh tipuan. Luka yang Bram goreskan sudah terlalu dalam, sehingga tidak mungkin lagi bisa disembuhkan. "Tidak perlu kau ladeni semua omonga