Share

Corona Love
Corona Love
Author: Reez

1

berubah drastis. Ternyata memang waktu yang dibutuhkan untuk mengubah hidup seseorang itu sangatlah singkat. Bahkan perubahan yang terjadi tidaklah sedikit. Seperti yang kukatakan di awal tadi, drastis, hingga seratus delapan puluh derajat.

Semua orang tahu bahwa hobiku adalah nongkrong. Aku tidak pernah betah berada lama di dalam rumah, terutama pada hari libur.

Berapa banyak hari libur yang kuhabiskan di dalam rumah?

Hmmm, biar kuhitung.

Ah, sepertinya hampir tidak ada!

Hari libur selalu kumanfaatkan untuk pergi ke mana pun yang kuinginkan. Aku bisa pergi ke kafe, mall, bioskop, atau tempat konser. Bahkan aku biasa juga pergi ke kampus di hari libur, apabila ada even yang menarik di sana.

Yang jelas, aku harus pergi ke luar rumah setiap hari libur. Itu adalah hal wajib yang tidak bisa lagi ditawar-tawar dalam hidupku.

Entah kenapa sebabnya, berada di dalam rumah membuatku bosan. Mati gaya, kalau istilah anak-anak zaman sekarang. Ya, seperti itulah aku kalau dibiarkan berdiam diri di rumah. Mungkin aku bisa gila kalau dipaksa berdiam diri di dalam rumah.

Dan sekarang semua itu berubah. Duniaku seolah jungkir balik. Dengan sangat terpaksa, aku justru tidak bisa meninggalkan rumah sama sekali. Ya, sama sekali. Tidak sedikit pun aku bisa meninggalkan rumah barang sejengkal sekalipun.

Dengan keadaan demikian, tidak banyak yang bisa kulakukan. Oh ya, kuliahku telah lama selesai, jadi selain kegiatan di atas, yang kulakukan hanya tidur, mandi, makan, dan berbaring di atas ranjangku.

Di dalam rumah, ya, di dalam rumah!

Aku tidak bisa pergi ke mana pun!

Bukan karena aku tidak mau, tapi karena tidak boleh. Karena jika aku sampai meninggalkan rumah, maka aku bisa membahayakan kehidupan orang lain. Bahkan bisa jadi aku akan membahayakan nyawa orang yang tidak bersalah.  

Sekarang aku hanya bisa berdiam diri sambil melakukan hal-hal yang kusebutkan di atas. Selain, tentunya, berpikir kapan ajalku akan tiba.

Mungkin kau berpikir bahwa yang kusebutkan di atas berlebihan. Tapi kenyataannya memang demikian.

Belum lama waktu berlalu dari hari yang paling membanggakan diriku sepanjang hidup selama dua puluh dua tahun ini. Hari itu, hari wisuda, adalah hari pembuktianku bahwa aku mampu menjadi seorang sarjana. Juga hari ketika aku telah memenuhi tanggung jawabku kepada Mama dan Papa untuk menuntaskan pendidikan. Hari yang cerah dan indah saat itu. Aku juga merayakannya bersama teman-teman seangkatan kuliahku. Tidak lupa, arak-arakan juga digelar oleh para adik kelasku.

Hari yang tidak akan pernah terlupakan seumur hidupku. Terlebih, hari tersebut juga menjadi hari yang membawa malapetaka besar. Tidak hanya bagiku, tapi bagi seluruh wisudawan yang hadir di sana.

Aku bahkan belum sempat mencari pekerjaan. Betapa tidak, aku baru saja menerima ijasahku. Padahal mendapatkan pekerjaan adalah agendaku setelah selesai wisuda.

Tapi apa daya, tak lama berselang, aku telah ditetapkan sebagai Orang Dalam Pemantauan (ODP).

Beberapa peserta wisuda yang hadir bersamaku telah dinyatakan positif mengidap virus COVID-19 yang lebih dikenal dengan sebutan “Corona”. Otomatis, aku yang berada dalam satu ruangan dengan mereka pun segera menjadi salah satu ODP. Sebabnya jelas, penularan virus yang tidak terduga bisa terjadi dengan jarak satu meter, membuat siapa pun yang berada di gedung wisudaku itu memiliki kemungkinan tertular.

Tim satuan tugas penanganan Corona segera melakukan investigasi atas semua peserta wisuda. Tentu saja termasuk diriku. Dengan sukarela, aku melaporkan diriku kepada tim tersebut tanpa menunggu mereka menemukanku. Setelah itu, mereka langsung menghubungiku dan datang ke alamat rumah kami.

Mereka menjelaskan kepadaku bahwa aku diwajibkan berada di rumah, melakukan karantina mandiri selama empat belas hari. Aku tidak boleh pergi ke mana pun di luar rumah. Bahkan terhadap semua orang di rumahku pun aku harus menjaga jarak sejauh minimal dua meter.

Para anggota tim yang datang ke rumah kami juga menerangkan bahwa pelarangan tersebut adalah demi keselamatan kami semua. Yaitu untuk menjaga agar tidak ada yang tertular dan menularkan.

Seharusnya Mama dan Papa juga diwajibkan untuk melakukan isolasi mandiri karena mereka termasuk yang hadir dalam acara wisudaku. Tapi tim satuan tugas memutuskan bahwa cukup aku yang menjalaninya. Mama dan Papa tetap diizinkan ke luar rumah dengan syarat harus melakukan social distance.

Baru nanti jika kemungkinan terburuk terjadi, bahwa aku dinyatakan positif mengidap Corona, maka Mama dan Papa juga harus diisolasi.

Tentunya kau bisa menebak apa yang terjadi kepada diriku setelah itu. Ya, benar, aku merasa bosan, mati gaya, dan mungkin hampir gila. Aku seperti burung yang biasa terbang ke mana pun tempat yang kuinginkan, namun tiba-tiba harus hidup di dalam sangkar. Tidak peduli apakah sangkar itu sangkar emas atau sangkar apa pun.

Sekarang aku bisa mengerti bagaimana perasaan aneka satwa liar yang ditangkap dan dikurung di dalam kandang hanya untuk dijadikan tontonan. Mereka tentu menderita, frustrasi, dan ingin bebas. Aku bersyukur bahwa yang kualami saat ini hanya sebatas kebosanan. Mungkin penderitaanku saat ini belumlah sebanding dengan aneka satwa liar yang direnggut kebebasannya untuk dikurung dalam kandang tersebut.

Dan selain kebosanan, hal yang membuatku tertekan adalah membaca berita. Dalam keadaan seperti ini, aku tidak memiliki banyak pilihan kecuali mengakses internet untuk menemukan hal-hal menarik yang bisa kubaca. Tapi justru situs-situs di sana banyak didominasi oleh berita tentang Corona.

Begitulah, berita-berita di internet maupun televisi hampir selalu mengabarkan kematian dan kasus-kasus baru infeksi Corona. Mereka seolah menebar ketakutan. Menurutku, bukankah sebaiknya cukup informasi penting saja yang disampaikan?

Tidak perlu sampai jumlah kematian dan egek mengerikannya. Aku benci mereka yang selalu menebar ketakutan. Mereka membuatku depresi.

Barangkali benar, bahwa yang membuat orang menderita dari penyakit ini adalah perasaan tertekannya. Perasaan tertekan akibat terus menerus menyaksikan berita-berita tentang penyakit tersebut. Bahkan orang yang belum tentu sakit pun, bisa-bisa menjadi sakit. Aku tidak ingin menjadi salah satu dari mereka yang sakit karena depresi.

Kucoba mengalihkan diriku dari berita-berita seperti itu kepada hal-hal lain yang lebih menarik. Tapi dengan keadaan terkarantina seperti ini, tidak banyak hal yang bisa kulakukan.

Aku telah membaca habis semua koleksi novel dan komikku, menonton Netflix secara maraton, hingga menyaksikan konten-konten viral di YouTube. Sekarang aku tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan.

Depresi?

Ya, mungkin saja.

Tapi apa yang harus kulakukan?

Haruskah kuhubungi psikiater?

Ah, sepertinya terlalu jauh. Lagipula, apakah ada psikiater yang mau mendatangi seorang bersatus ODP?

Mungkin ada, tapi aku belum merasa harus sejauh itu hingga harus menemui psikiater. Yang kulakukan berikutnya adalah menghubungi teman-teman lamaku. Kuharap itu bisa mengobati kerinduanku atas mereka, selain tentunya mengisi waktuku selama minimal empat belas hari ke depan.

Lyna, salah satu teman baikku yang kuhubungi, menjadi sasaran curhatku tentang keadaan ini. Ia adalah pendengar dan penyimak yang baik. Lebih dari itu, Lyna juga pemberi saran yang baik.

Ia memberiku saran agar mengikuti sebuah grup online. Lyna memperkenalkanku pada aplikasi Zoom yang membuat orang bisa melakukan pertemuan virtual. Aku memerlukan waktu sekitar satu jam untuk bisa familiar dengan aplikasi yang diperkenalkan oleh Lyna ini.

Setelah familiar, barulah kuakses grup tersebut berdasarkan tautan yang dikirim oleh Lyna. Ternyata aplikasi ini cukup menarik. Kita bisa melihat tampilan secara langsung dari sekian banyak orang seperti sedang rapat, namun semua peserta berada di tempat yang berbeda-beda.

Aku memang telah terbiasa menggunakan panggilan video W******p. Tapi tetap saja Zoom terasa menarik. Terlebih jumlah peserta yang bisa terlibat melebihi dari yang bisa dilayani oleh W******p.

Grup yang dikatakan Lyna terdiri atas mereka yang sama sepertiku. Orang-orang yang termasuk kelompok ODP. Dengan demikian, kami bisa saling berbagi. Di samping itu, karena kami semua adalah ODP, maka kami lebih bisa memahami satu sama lain.

Setidaknya itu menurut Lyna.

Mudah baginya untuk berkata, karena dia tidak termasuk ODP. Beruntung ia tidak lulus dan diwisuda bersamaku. Hanya sekian jam keterlambatannya mendaftar sidang, tapi justru membuat dirinya selamat dari hari wisuda celaka itu.

Dari situ aku bisa menyimpulkan bahwa terlambat lulus bukanlah malapetaka. Setidaknya itu berlaku bagi Lyna. Ia memang sungguh beruntung.

Akhirnya aku mengikuti apa yang disarankan Lyna. Aku memasang aplikasi Zoom di ponselku. Lalu aku mengikuti komunitas ODP yang ia rekomendasikan. Kuharap itu bisa membuatku merasa lebih baik.

Ternyata aku salah.

Komunitas itu sama sekali tidak membawaku kepada perasaan yang lebih tenang. Kami malah lebih tampak seperti grup para pecandu narkotika, atau minimal orang-orang penyakitan. Kami terdiri atas dua puluh orang. Setiap dari kami melakukan sharing atas pengalaman diri kami selama isolasi.

Entah dengan peserta yang lain, tapi dengan begini aku pribadi merasa seperti seorang penderita penyakit kronis yang sedang mengalami penderitaan besar akibat sakitnya itu. Padahal kami baru berstatus ODP. Belum tentu kami benar-benar terjangkit virus itu.

Grup itu mengadakan pertemuan secara daring, setiap hari pada pukul empat belas selama kurang-lebih satu hingga dua jam. Hari ini, pertemuan pertamaku di grup tersebut, membuatku justru semakin tambah tertekan.

Yang mereka bicarakan selalu tentang apa yang harus dilakukan untuk menyembuhkan penyakit ini. Bagaimana kami akan diisolasi, dan harus sabar menghadapi sesak napas dan penderitaan lain sendirian.

Ya, sendirian, karena kami akan berada di sebuah ruangan yang tidak ada seorang pun yang boleh memasukinya kecuali tenaga medis. Di sana kami akan merasakan betapa kedekatan dengan Tuhan adalah yang terpenting. Kami harus siap, karena tidak akan ada yang menemani kami selain Tuhan.

Padahal, sekali lagi, kami belum tentu telah terjangkit penyakit tersebut.

Yang memimpin grup adalah seorang pria bernama Mirka. Ia mengatakan bahwa dirinya pernah melalui masa-masa menjadi ODP. Diceritakannya bahwa ia telah melewati masa-masa penuh kesendirian saat harus berada di rumah selama empat belas hari.

Selama waktu tersebut, Mirka selalu mengingat akan kematian. Apa saja yang sudah dan belum dilakukannya selama hidup di dunia. Ia bertekad jika dirinya selamat dari Corona, maka ia akan berbagi kepada orang lain.

Sekarang ia telah melewati masa isolasi mandiri, dan mulai memenuhi tekadnya. Lebih tepatnya, merasa memenuhi tekadnya.

Ia menceritakan betapa beruntungnya dirinya telah selamat dari virus tersebut.

Dan kami juga pasti bisa melakukannya, itu yang ia katakan.

Pada hari pertama karantina mandiri ini, aku juga diminta memperkenalkan diri di grup. Kuperkenalkan diriku bahwa namaku Sari, pekerjaan belum ada, serta kronologi bagaimana aku bisa menjadi ODP.

Sudah, seperti itu saja.

Kemudian sesi grup dilanjutkan dengan bagi-bagi cerita. Setiap orang menceritakan kegiatannya hari itu. Semua relatif sama karena tidak banyak variasi aktivitas yang bisa dilakukan dari rumah.

Dari sini juga masih terlihat potensi kompetisi antar manusia. Orang-orang yang menceritakan kegiatannya selama di rumah, secara sadar atau mungkin tidak, berlomba menunjukkan betapa hebatnya yang mereka lakukan.

Walaupun, menurutku, yang mereka lakukan itu tidak hebat sama sekali. Masih banyak hal yang jauh lebih hebat daripada apa yang mereka ceritakan.

Ada yang memamerkan telah menyelesaikan sepuluh komik hari itu. Ada juga yang menunjukkan telah membersihkan rumah, ini sih bagus juga. Bahkan ada yang sama sepertiku, menonton Netflix secara maraton.

Aku sih malu untuk menceritakan hal seperti itu.

Tapi ada yang menarik perhatianku. Dalam grup tersebut terdapat seorang anak remaja, kutaksir usianya sekitar lima belas tahun. Ia tidak banyak berbicara. Bahkan mungkin ia tidak akan berbicara sama sekali jika Mirka tidak menanyainya.

Anak itu memang terlihat pemurung, setidaknya dari ekspresi wajahnya. Kutebak, ia masuk grup karena dorongan orang lain. Mungkin temannya, atau mungkin orang tuanya. Atau mungkin juga sepertiku, gara-gara didorong oleh seorang sahabat.

Juga kutebak, ia mengalami keadaan tertekan akibat kondisinya sekarang. Mungkin saja ia merasa sudah berada dalam keadaan positif Corona. Sebabnya, apa lagi kalau bukan media. Setidaknya itu asumsiku, belum tentu benar.

Aku mencoba menghubunginya lewat jalur pribadi usai sesi grup hari itu selesai. Kudapati namanya adalah Markus. Bahwa ia termasuk ODP, sepertinya itu sudah tidak perlu diceritakan.

“Kamu masih sekolah?” tanyaku.

“Iya kak.” Jawabnya singkat.

“Di mana?” tanyaku lagi.

Markus menyebutkan nama sebuah sekolah yang cukup dikenal sebagai sekolah favorit.

“Wah hebat dong kamu bisa sekolah di sana!” pujiku.

“Makasih kak, kakak masih sekolah atau sudah kuliah?” ia bertanya balik.

Terus terang saja, pertanyaan Markus membuat setitik kebahagiaan muncul di dalam hatiku. Apa lagi kalau bukan karena ia mengira bahwa aku masih sekolah atau maksimal sudah kuliah?

Berarti aku nampak jauh lebih muda ‘kan?

Aku merasa geli sendiri di dalam hati. Betapa sederhananya bahagia itu, pikirku. Bahkan rasa bahagia itu bisa datang dari pertanyaan seorang bocah remaja.

“Menurut kamu, kakak masih sekolah atau sudah kuliah?” pancingku.

“Hmm, kalau pun sudah kuliah, mungkin masih awal-awal ya kak?” jawabnya.

Aku bertambah senang mendengarnya. Jika saja dia hanya bermaksud memujiku, maka Markus adalah seorang perayu ulung.

“Kamu benar, usia kakak kira-kira segitu.” Jawabku.

“Nah ‘kan, benar.” Markus nampak berseri.

Biarlah, berapa besar kemungkinan aku akan bertemu anak ini di kehidupan nyata?

Mungkin tidak akan pernah. Jadi biar saja ia menganggapku berusia segitu. Jika kami tidak pernah bertemu lagi setelah ini, maka Markus tidak akan pernah tahu.

“Sekarang kamu sudah mau lulus berarti?” tanyaku.

“Iya kak, sebentar lagi aku ujian kelulusan.” Jawab Markus.

“Kapan ujianmu?” tanyaku lagi.

“Seharusnya satu bulan dari sekarang. Tapi entah aku bisa mengikutinya atau tidak.” Markus menjawab.

“Karena keadaan yang kita alami sekarang?” aku bertanya lagi.

“Iya kak.” Markus nampak murung saat mengatakannya.

“Sudah, jangan sedih. Tapi kamu tetap belajar ‘kan?” tanyaku sambil berusaha menghiburnya.

“Pasti, kak. Aku ingin ikut ujian seperti orang normal.” Jawabnya datar.

“Lho,” aku tertawa. “Kok kamu ngomongnya gitu, memangnya apa yang nggak normal?” tanyaku heran.

“Kan kita sama-sama ODP.” Jawabnya lesu.

“Memangnya ODP menjadikan kita nggak normal? Kita ini hanya dalam pemantauan, Markus. Nggak ada bedanya antara kita dengan orang lain yang bukan ODP.” Aku berusaha membangkitkan semangatnya.

“Oh iya ya kak?” Markus nampak mulai tertarik.

“Iya, jadi jangan merasa aneh. Jangan merasa bahwa kita ini adalah orang-orang yang menimbulkan bencana. Kamu terlalu terpengaruh berita-berita.” Aku menegaskan.

“Hmmm, iya juga sih ya.” Ia nampak mulai berpikir.

“Iya, jadi cerialah. Jangan merasa minder karena kita menjadi ODP.” Aku terus mencoba membangkitkan semangatnya.

“Benar juga, kak. Terima kasih ya.” Kini ia nampak lebih bersemangat.

“Iya, sama-sama. Kamu sekarang sudah mau masuk waktu belajar ya?” tanyaku.

“Iya kak, setelah makan malam.” Jawabnya.

“Oke, selamat makan malam kalau begitu.” Kuucapkan salam perpisahan.

“Baik, kakak juga selamat makan.” Markus membalasnya dengan ceria.

Kami saling melambai. Baru sejauh itu informasi yang bisa kuperoleh darinya. Tapi minimal aku telah mendapat seorang teman baru. Walaupun ia tidak seumur denganku, tapi aku cukup merasa bahwa Markus orang yang menyenangkan.

Dan kini setelah pembicaraan dengan Markus usai, aku mulai merasa bosan lagi.

Kuhubungi Lyna melalui pesan W******p. Kuberitahu dirinya bahwa aku tidak ingin lagi ikut grup tersebut.

“Aku nggak bisa tahan lagi di sana.” Kataku setelah kujelaskan keadaan di grup.

“Bicara apa kamu? Kamu ‘kan baru satu kali ikut.” Timpal Lyna.

“Tapi aku nggak tahan dengan suasananya.” Kataku lagi.

“Ayolah, daripada kamu mati bosan di rumah.” Bujuk Lyna.

“Kamu kan nggak tahu gimana situasi di grup itu.” aku masih berargumen.

“Memang nggak, tapi aku nggak akan ngambil kesimpulan hanya dari sekali ikut.” Lyna nampak tidak mau kalah.

“Banyak hal lain yang bisa aku lakukan.” Aku juga masih bertahan.

“Contohnya? Coba sebutkan.” tantang Lyna.

“Hmmm...” gumamku.

Aku malah bingung sendiri.

“Tuh kan.” Kata Lyna.

“Aku bisa nonton Netflix.” Elakku.

“Maraton? Ah, kamu kayak anak kecil aja.” Ejek Lyna.

“Sejak kapan Netflix ditonton anak kecil?” aku terpancing.

“Ya bisa aja kan ngikut orang tua atau kakak mereka.” Lyna “ngeles”.

“Mendingan mereka nonton yang lain deh.” Kataku.

“Yang jelas kamu jangan dulu keluar dari grup itu.” Lyna sepertinya tidak ingin berargumen dan langsung menuju poinnya.

“Tapi aku nggak cocok...” aku masih mencoba untuk bertahan.

“Cobalah, kamu pasti akan nyaman.” Bujuk Lyna lagi.

“Kayak kamu pernah ngalamin aja.” Tantangku.

“Sudah, coba aja.” Lyna menantang balik.

“Memangnya kamu pernah jadi ODP?” aku menyelidik.

“Belum, tapi aku pernah ikut grup lain, dan aku ngerasain banget gimana rasa terbantunya ikut dalam sebuah komunitas.” Ia masih berargumen.

“Iya deh, terserah kamu.” Akhirnya aku hampir menyerah.

“Nah gitu dong!” Lyna nampak bersemangat saat mengatakannya. Sepertinya ia merasa bahwa ini adalah sebuah kemenangan baginya.

Percuma mendebat Lyna, pikirku. Lagipula aku tahu bahwa maksudnya baik. Ia hanya ingin membantuku.

Lyna cukup mengenal diriku. Aku tahu ia sayang kepadaku. Karenanya ia memaksaku untuk mengikuti grup ini.

Dan mungkin saja ia benar. Aku baru satu kali ikut sesi grup. Bisa jadi esoknya aku akan menemukan kecocokan.

Ya, semoga saja.

Kuputuskan aku akan melanjutkan untuk ikut sesi grup esok hari. Bukan karena aku ingin membahagiakan Lyna.

Tapi karena mungkin saja ia benar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status