Share

9

Kabar yang mengejutkan datang kepadaku melalui Salman. Ia mengirimkan pesan W******p kepadaku. Semula kukira itu adalah pesan yang seperti biasa dikirimkannya kepadaku setiap waktu-waktu kami mengobrol. Maka aku pun membukanya dengan perasaan berseri. Namun apa yang kubaca di pesan tersebut membuat senyum di wajahku hilang. Bahkan aku sempat tidak percaya dengan apa yang kubaca di sana.

“Markus positif Corona.” Begitu katanya di pesan W******p.

Aku tertegun membaca pesann tersebut. Tubuhku seperti kehilangan darah. Saat itu aku sedang mengambil air minum di dapur. Gelas di tanganku hampir saja jatuh.

Aku lalu duduk di kursi meja makan, dan membaca pesan Salman sekali lagi.

Markus positif Corona.

Kubaca pesan itu berulang-ulang sambil berharap aku telah salah membacanya. Tapi berapa kali pun aku mengulangnya, tulisan Salman tersebut tetap sama.

Ya, Markus memang benar-benar telah dinyatakan positif mengidap Corona. Bagiku jelas ini sangat mengerikan. Status Markus sebelumnya sama denganku, yaitu kami sama-sama ODP. Sekarang, dia bukan lagi ODP, tapi statusnya tentu telah meningkat menjadi Pasien Dalam Perawatan (PDP).

Jika ia yang seorang ODP bisa berubah menjadi PDP, maka bagaimana denganku?

Aku juga seorang ODP. Lalu, apakah aku juga akan berubah menjadi PDP?

Kutepis pikiranku tersebut. Ya, betul, pikiran di otakku ini mulai terbang ke mana-mana lagi. Tapi untung saja aku menyadarinya, bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk membiarkan pikiran terbang. Saat ini yang penting adalah Markus. Ia yang menjadi perhatianku, dan pastinya juga perhatian Salman.

Bagaimana keadaan Markus sekarang?

Anak itu tentu mengalami ketakutan yang sangat besar. Aku kembali terbayang tentang dirinya yang mempertanyakan keberadaan dan eksistensinya sebagai seorang ODP. Aku masih ingat bagaimana diriku berusaha untuk membesarkan hatinya. Saat itu susah payah upaya yang harus kulakukan untuk membuat Markus tenang.

Untungnya, Salman juga berpartisipasi aktif ketika itu. Sebelum mengenalku, tentu Salman lebih dahulu telah dikenal oleh Markus. Salman, sama sepertiku, juga memberi semangat, ketenangan, dan pengertian kepada Markus. Pengertian bahwa ODP bukanlah aib, bukan juga sesuatu yang harus membuat kita terkucil. Sebisa mungkin kami telah berusaha mengangkat dan membesarkan hati Markus.

Saat itu ia nampak bisa menerimanya. Markus tampak lebih ceria dan bersemangat. Ia juga nampak sangat senang bermain FIFA bersama dengan kami.

Lalu kini?

Semua yang kami katakan kepadanya untuk membesarkan hatinya, seolah seperti tidak ada artinya dengan naiknya status Markus menjadi PDP. Ia yang telah tegar dan menerima statusnya tentang ODP dan merasa bahwa itu adalah masalah yang akan berlalu, kini mungkin saja berubah menjadi kecewa. Betapa tidak, sesuatu yang telah ia yakini bersama kami, bahwa itu tidak seberat yang dikatakan orang untuk menakutinya, ternyata benar-benar terjadi kepada dirinya.

Aku bingung dengan apa yang harus kulakukan. Saat ini, sekali lagi, yang penting adalah bagaimana perasaan Markus. Aku ingin sekali berada di tempat ia berada dan menungguinya untuk mendampingi dan memberi semangat setiap saat. Tapi aku tahu bahwa itu tidak mungkin. Aku sendiri juga masih punya kemungkinan untuk naik status menjadi PDP.

Maka sekarang aku bingung, apa yang harus kulakukan?

Aku tidak memiliki bayangan sama sekali akan hal tersebut.

“Bagaimana keadaannya sekarang?” tanyaku kepada Salman.

“Sejauh yang kutahu, ia baik-baik saja.” Jawab Salman.

“Baik-baik saja gimana maksudmu? Dia ‘kan baru saja naik status jadi PDP.” Aku masih penasaran dan tidak bisa tenang.

“Tenanglah, kamu pasti panik deh sekarang. Tenang dulu.” Jawab Salman.

“Gimana bisa tenang? Ini teman kita baru saja jadi PDP lho!” seruku dengan tidak sabar.

“Iya, memang benar demikian. Tapi bersikap panik kayak gitu nggak akan menyelesaikan apa pun. Jadi, sekarang kamu tenang dulu, baru setelah itu kita bisa lanjutkan membahas tentang Markus dan keadaannya.” Kata Salman lagi.

Aku mencoba mencerna apa yang dikatakan Salman. Sebenarnya aku tidak sabar dengan kenyataan ini. Aku ingin tahu bagaimana keadaan Markus. Malahan aku bingung tidak mengerti dengan sikap Salman yang bisa-bisanya berkata agar aku tenang.

Tapi aku tahu bahwa Salman tidak akan melanjutkan pembicaraan apabila aku masih dalam keadaan panik seperti itu. Maka aku pun memutuskan untuk mengikuti kemauannya. Aku diam beberapa saat untuk menarik napas panjang.

Kulakukan itu berkali-kali hingga aku merasa lebih baik dan lebih tenang daripada sebelumnya. Beberapa saat kemudian, setelah kulakukan hal tersebut, aku semakin merasa tenang. Kuakui bahwa apa yang telah dikatakan Salman memang ada benarnya. Kini aku merasa bisa berpikir dan bersikap dengan lebih jernih.

“Oke.” Kataku di pesan W******p. “Sekarang, bisa kita video call saja?” tanyaku mengirimkan pesan lanjutan.

“Oke, aku telpon ya.” Jawab Salman.

Sesaat kemudian, di layar ponselku timbul notifikasi panggilan video dari Salman. Aku segera menerima panggilannya itu.

“Hai.” Sapaku singkat.

“Hai juga.” Balas Salman.

“Jadi, gimana keadaan Markus?” tanyaku.

“Seperti yang sudah kukatakan tadi, ia nampak baik-baik saja.” Jawab Salman.

“Kamu sudah melihat langsung keadaannya?” tanyaku lagi.

“Ya, sudah. Begitu mendapat kabar itu dari ibunya, aku langsung nelpon mereka. Bahkan aku melakukan panggilan video ke Markus tadi, setelah kutelpon Ibunya.”

Oh, rupanya Salman dekat juga dengan keluarga Markus, sampai bisa menelepon ibu anak itu segala, pikirku.

“Terus kamu video call sama Markus jadinya? Dia video call sama kamu di ruang isolasi dong berarti?” tanyaku.

“Iya, begitulah. Dia sekarang sudah ada di ruang isolasi. Katanya tadi, dia sendirian di sana. Nggak ada orang lain kecuali dia dan sesekali dokter datang untuk memeriksa keadaannya. Ya, namanya juga ruang isolasi, pasti sendirian.” jawab Salman.

“Kasihan ya anak itu. Sekarang dia pasti panik dan ketakutan.” Kataku.

“Tenanglah, Sari. Aku tadi sudah ngobrol panjang lebar dengan dia. Nggak seperti dugaanmu, Markus terlihat cukup tenang, kok. Memang aku melihat dia seperti sedang berusaha menenangkan diri. Tapi minimal dia tahu apa yang harus dilakukan, yaitu berusaha membuat dirinya tenang dan menghindari kepanikan.” Timpal Salman.

“Iya, tapi bagaimana pun dia pasti ketakutan biarpun mungkin cuma sedikit. Aku sih membayangkan aja gimana kalau aku berada di posisi dia. Aku pasti panik.” Kataku lagi.

“Itu wajar.” Kata Salman. “Gimana pun ini adalah pandemi global. Kalau kita dinyatakan mengidap penyakit yang jadi pandemi itu, ya wajar kalau kita ketakutan dan panik. Tapi jangan sampai berlebihan. Kan kamu tahu bahwa itu bisa membuat imunitas kita turun dan menjadikan kondisi kita berlanjut jadi lebih parah daripada sebelumnya.” Lanjutnya.

“Ya, aku ingat itu.” kataku.

“Hebat juga ya Markus sudah mengerti akan hal itu. Dia jadi berusaha menenangkan dirinya.” Kata Salman sambil tersenyum.

“Lalu apa yang harus kita lakukan?” tanyaku.

“Nggak ada.” Jawab Salman.

“Nggak ada? Nggak ada gimana maksudmu?” aku sedikit heran dengan jawaban Salman.

“Kita hanya harus mendukungnya.” Jawabnya singkat.

“Caranya?” tanyaku lagi.

“Kamu W******p saja dia.” Jawab Salman, lagi-lagi dengan singkat.

“W******p dia? Buat apa?” tanyaku masih dengan perasaan heran.

“Lho ‘kan kamu tadi yang nanya tentang apa yang harus kita lakukan. Aku sudah jawab bahwa kita harus mendukungnya. Lalu kamu tanya tentang bagaimana cara kita mendukungnya, nah inilah caranya. Kamu W******p dia untuk menanyakan gimana kabarnya dan cari porsi atau apa yang bisa kamu lakukan untuk membuatnya menjadi lebih baik atau minimal membuat dia merasa lebih baik.”

Aku terdiam sejenak. Dalam hati aku membenarkan apa yang dikatakan Salman.

“Hei, kok diam?” tanya Salman.

Aku tersentak karena pertanyaannya itu. Sebenarnya aku tersentak lebih karena tadi aku sempat jatuh sebentar dalam lamunan. Lalu aku segera menyadari bahwa aku memang harus menghubungi Markus.

“Eh, iya, aku W******p dia sekarang.” Kataku.

“Nah, gitu dong.” Salman tersenyum lagi.

Aku segera melakukan apa yang dikatakan olehnya. Kuhubungi Markus lewat pesan W******p.

“Hei, gimana kabarmu? Aku baru dengar dari Salman tentang kondisi terbaru darimu.” Kataku di W******p.

Kukirim pesan itu dengan perasaan berdebar menanti jawaban Markus. Tidak lama kemudian, ponselku bergetar menunjukkan notifikasi W******p. Ternyata jawaban dari Markus telah tiba.

“Hai kak, aku baik-baik saja di sini. Terima kasih ya kak. Kakak bagaimana? Baik-baik saja?” Tanyanya.

“Syukurlah. Kakak juga di sini baik-baik saja.” Jawabku lega melihat pesan dari Markus.

Minimal aku tahu bahwa ia bisa membalas pesan W******p dariku sehingga minimal bisa kupastikan bahwa dirinya masih dalam keadaan baik. Walaupun entah apakah orang yang telah menjadi PDP dapat dikatakan berada dalam keadaan baik.

“Syukurlah, kak. Semoga Kakak sehat selalu ya kak.” Balas Markus lagi.

“Iya, Aamiin. Sekarang kamu di mana?” biarpun pertanyaan bodoh, tapi tetap kutanyakan.

“Di ruang isolasi, kak. Bosan.” Jawab Markus.

“Pastinya pengen pulang ya?” tanyaku lagi.

“Iya, beneran. Sepi di sini, sendirian. Untung kakak W******p aku.” Jawabnya.

“Iya, Kakak kangen kamu, makanya Kakak W******p. Apalagi setelah Kakak dengar kabarmu dari Kak Salman, Kakak langsung pengen segera tahu kabarmu.” Timpalku.

“Oh iya, terima kasih ya kak. Kakak nggak perlu khawatir. Aku akan baik-baik saja di sini, kak. Dokter dan perawat yang bersamaku di sini semuanya baik. Mereka perhatian ke aku dan selalu memeriksa apakah aku dalam keadaan baik.” Kata Markus.

“Wah, syukurlah. Ya, memang pastinya mereka para dokter dan tim medis di sana adalah orang-orang yang sangat baik. Mereka akan berjuang maksimal dan sekuat tenaga mereka agar kamu bisa sembuh dan kembali beraktivitas seperti sedia kala. Kamu jangan khawatir juga, karena kamu berada di tangan yang tepat dengan adanya mereka.” Aku berusaha membesarkan hatinya.

“Memang betul demikian, kak. Mereka semua memang sangat baik. Semua yang diperlukan untuk kesembuhanku selalu mereka berikan. Tapi tetap saja kak, namanya ruang isolasi, tempat orang sakit. Kalau boleh memilih, pastinya aku akan memilih pulang ke rumah saja.” Timpal Markus.

“Ya, Kakak ngerti kok. Namanya rumah sakit, siapa yang mau berada di sana kan? Pasti memilih untuk nggak di sana kalau memang bisa, walaupun sebagus, selengkap, dan senyaman apa pun rumah sakitnya, tetap saja itu rumah sakit namanya. Beda dengan rumah kita. Tapi tenang saja, Kakak yakin bahwa kamu nggak akan lama berada di kondisi sekarang. Sebentar lagi kamu akan keluar dari sana, dalam keadaan yang sepenuhnya sembuh, dan bisa kembali main sama teman-temanmu.” Aku kembali berusaha memberinya semangat dan kebesaran hati.

“Iya, kak. Semoga ya.” Jawab Markus.

“Kakak akan selalu doain kamu, semoga kamu lekas sembuh.” Kataku.

“Terima kasih kak.” Kata Markus.

“Kita saling doakan ya. Semoga kita semua bisa keluar dari situasi ini bersama-sama, dalam keadaan yang baik, bahkan lebih baik dari sebelumnya.” Doaku.

“Iya kak, doa yang sama kupanjatkan juga. Semoga kita semua selamat dari ini semua. Terima kasih banyak ya kak, sudah perhatian sekali ke aku.” Jawab Markus mendoakan balik.

“Terima kasih juga atas doamu, Markus. Kita semua teman, dan memang itulah yang seharusnya dilakukan oleh sesama teman. Kita saling mendukung pada saat sulit, dan saling memberi selamat serta ikut bersuka-cita di saat-saat yang membahagiakan.” Kataku.

“Betul, Kak. Terima kasih sekali lagi. Terima kasih juga sudah mau menjadi temanku dan menemaniku di saat seperti sekarang ini.” katanya lagi.

“Iya, Markus. Sekarang kita sama-sama berjuang. Kalau kamu butuh Kakak, apa pun itu, katakan saja. Jangan ragu atau sungkan ya. Kakak pasti akan berusaha membantumu.” Ujarku.

Markus mengucapkan terima kasih lagi untuk kesekian kalinya. Kami pun mengakhiri percakapan saat itu sambil saling mengucapkan salam. Aku berniat akan menghubunginya lagi, entah agak malam, atau mungkin besok. Sebisa mungkin harus kuberi dia semangat, selain untuk diriku juga. Ya, aku harus memiliki seorang contoh bahwa ketika seorang ODP naik status menjadi PDP, maka ia bisa sembuh seperti sedia kala tanpa kekurangan apa pun.

Memang, aku telah menyaksikan di berita-berita dari internet tentang kesembuhan sekian banyak orang PDP. Tapi aku ingin menyaksikan dan berinteraksi langsung dengan seorang PDP yang kukenal dan berhasil sembuh. Orang itu adalah Markus.

Sebenarnya aku merasa malu karena tadi telah menjanjikan bahwa diriku akan membantu Markus apa pun yang ia butuhkan. Karena sesungguhnya aku sendiri tidak yakin dengan apa yang kuucapkan tadi.

Bagaimana aku bisa membantunya?

Aku sendiri terkarantina di dalam rumah seperti ini, tidak bisa pergi ke mana pun. Aku malu, karena mungkin yang kuucapkan tadi hanya sekedar basa-basi kepada Markus. Basa-basi seperti itu sangat tidak kuinginkan, apalagi di tengah kondisi seperti sekarang ini.

Lalu bagaimana jika timbul keadaan Markus yang benar-benar membutuhkanku?

Akankah aku bisa memenuhi janjiku?

Atau malah mungkin Markus sendiri sudah tahu bahwa aku hanya berbasa-basi?

Ah, aku jadi malu sendiri dibuatnya. Semoga hal yang terbaik akan terjadi untuk kami semua.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status