Share

8

Aku memeriksa kotak masuk dari surat elektronikku. Ternyata Pak Drajat si pemilik film belum menjawab suratku tentang October Sky. Padahal sudah lebih dari satu hari aku mengirimkannya. Seharusnya sih suratku itu sudah sampai. Bahkan malah seharusnya sudah ia baca. Tapi itu kalau si Bapak itu membuka kotak masuk surat elektroniknya setiap hari.

Bisa saja ia lupa membukanya, atau malahan ia sudah lupa sama sekali akan keberadaan akun surat elektronik miliknya tersebut. Atau bisa jadi alamat yang diberikan kepadaku adalah salah, bukan alamat si Pak Drajat itu.

Atau bisa jadi juga sebenarnya Pak Drajat tersebut tidak memiliki film yang kucari. Bisa saja informasi yang kudapatkan soal dirinya adalah tidak benar.

Tapi ‘kan yang memberikan alamat Pak Drajat adalah Salman. Apakah dia keliru memberikan alamat kepadaku?

Atau bisa jadi orang yang memberikan alamat Pak Drajat kepada Salman-lah yang salah. Bisa saja.

Atau malah yang namanya Pak Drajat sebenarnya tidak pernah ada. Yang diberikan kepadaku dan Salman adalah alamat surat elektronik yang entah milik siapa, yang bukan milik Pak Drajat. Jadi ketika ia membaca surat dariku, orang yang memiliki akun tersebut tidak mengerti apa yang kumaksud. Bahkan karena nama yang kusebutkan di surat itu pun bukan namanya, maka ia akan menganggapnya sebagai salah kirim.

Kalau sudah demikian, jelas tidak ada tindakan lain selain membuang suratku ke tong sampah dan menghapusnya. Setidaknya itu yang kulakukan kalau menerima surat salah alamat. Kejam dan salah sih, memang, kuakui itu. seharunya aku membalas surat-surat yang masuk tersebut dan mengonfirmasi apakah ia benar menujukannya kepadaku atau salah kirim.

Tapi aku terlalu malas untuk itu. Jadi biasanya kulakukan seperti yang kusebutkan tadi, yaitu menghapusnya.

Ah, pikiranku jadi ke mana-mana. Hanya karena suratku belum dibalas, aku jadi melantur seperti ini. padahal itu hanya sebuah surat, bukan hal lain. Meskipun ya, itu surat yang cukup penting sih, kuakui itu. Setidaknya itu penting untukku karena bisa menentukan diriku akan mendapatkan film yang kucari-cari itu atau tidak.

Aku juga tidak tahu dan merasa penasaran kenapa aku begitu ingin mendapatkan October Sky. Apakah karena Salman yang merekomendasikannya kepadaku?

Apakah aku akan tertarik dengan film tersebut jika bukan karena Salman yang memberitahuku tentangnya?

Kupikir-pikir, mungkin juga aku akan tertarik. Karena seperti yang telah kuceritakan, bahwa setelah kusaksikan cuplikannya di YouTube, aku cukup tertarik akan ceritanya sehingga ingin menonton film itu. Tapi memang benar, bahwa aku tidak akan tahu tentang film itu jika bukan karena Salman yang memberitahuku.

Tapi ya sudahlah, jika memang bukan lewat Pak Drajat rezekiku untuk mendapatkan October Sky, ya tidak apa-apa. Sewaktu aku remaja dulu, Mama pernah memberitahuku bahwa pintu rezeki itu tidak hanya satu. Ia ada banyak dan berada dari mana-mana, bahkan dari arah yang tidak kita duga. Aku percaya itu, maka aku juga percaya jika bukan melalui Pak Drajat, aku pasti akan mendapatkan October Sky, entah dari mana. Jika itu memang rezekiku untuk mendapatkannya, maka pasti akan kudapatkan, tidak peduli bagaimana caranya.

Ya, benar, pikiranku mulai ke mana-mana lagi. Dari surat yang belum dibalas oleh seorang Bapak-bapak, sampai membahas tentang pintu rezeki. Tapi ‘kan memang benar yang kubahas, bukankah begitu?

Iyakan saja ya kawan. Harap maklumilah bahwa Sari Asrianti yang sedang menulis catatannya untuk kalian ini sedang mengalami kebosanan yang akut dalam masa karantina, sehingga pikirannya terbang ke mana-mana.

Tapi syukurlah, karena pikiran yang terbang ke mana-mana, aku sedikit melupakan tentang surat ke Pak Drajat tadi. Malahan aku pun sudah mulai sedikit lupa akan October Sky. Bahkan aku tidak lagi peduli apakah Pak Drajat akan menjawab suratku atau tidak. Setidaknya bagiku itu yang menjadi manfaat dari pikiran yang terbang ke mana-mana.

Pikiran yang sering terbang ke mana-mana ini sebenarnya adalah salah satu kebiasaan lamaku. Sejak remaja, bahkan mungkin sejak sekolah dasar, aku sudah terbiasa melakukannya.

Ya, kau tidak salah baca, sejak sekolah dasar aku sudah sering melakukannya. Saat masa-masanya aku masih menyaksikan film kartun di televisi (sekarang pun sebenarnya masih), setelah film berakhir, aku sering melamunkan jalan ceritanya. Aku sering membayangkan kenapa tokoh ini begitu, kenapa tokoh yang lain demikian. Membayangkan hal seperti itu bisa menghabiskan waktuku berjam-jam lamanya.

Mama sempat khawatir karena sering melihatku bejalan mondar-mandir tanpa henti. Betapa tidak, jika aku masih seorang balita, mungkin itu bisa dimaklumi. Tapi saat itu aku sudah menjadi anak sekolah dasar, dan aku masih sering berjalan mondar-mandir tanpa tujuan yang jelas setelah menonton film kartun, atau juga setelah membaca sebuah komik. Padahal saat melakukan itu, aku sedang mengalami pikiran yang terbang ke mana-mana seperti yang tadi kuceritakan. Karena kekhawatirannya, Mama pun secara intensif menyuruhku untuk bermain di luar. Ia juga mencarikan kerumunan atau kumpulan anak sebayaku yang sedang bermain, lalu menyuruhku untuk bergabung dan bermain dengan mereka. Semula aku tak mau, tapi karena Mama memaksa, akhirnya aku menuruti kemauannya.

Tapi itu tidak menghilangkan kebiasaanku tersebut. Aku tetap melakukannya walaupun usiaku bertambah seiring dengan berlalunya waktu. Kebiasaan ini bisa jadi menguntungkanku, atau pernah juga merugikan diriku.

Menguntungkan karena tidak jarang sejumlah masalah yang sedang kualami menemui solusinya saat pikiranku melanglangbuana demikian. Bahkan seringkali ide-ide kreatif baru juga muncul saat aku melakukannya. Itulah kenapa aku tidak bisa meninggalkan kebiasaan ini. Banyak hal berharga yang kudapatkan darinya. Jika aku meninggalkan kebiasaanku ini, bisa jadi aku tidak lagi mudah menemukan solusi atas permasalahan yang kudapatkan.

Tapi seperti yang telah kusebutkan tadi, kebiasaan ini juga pernah merugikan diriku. Merugikan karena beberapa kali terjadi kepada diriku, aku tidak bisa tidur semalam suntuk akibat pikiranku tidak mau diajak kompromi. Ia terus terbang ke berbagai hal yang membuat otakku tidak bisa santai.

Akibatnya, secara otomatis mataku tidak mau terpejam. Aku tidak bisa mengantuk sepanjang malam, perasaan berat di mata yang kutunggu-tunggu tidak kunjung tiba. Akhirnya itu membuatku terjaga sepanjang malam, dan aku pun pergi kuliah dengan keadaan orang yang tidak tidur. Hasilnya bisa ditebak, aku mengikuti kuliah dengan mata yang sudah tidak bisa diajak bekerjasama. Ia terus menerus terasa berat dan ingin menutup, hingga akhirnya aku menyerah dan membiarkan diriku terbang ke alam mimpi di tengah-tengah proses perkuliahan.

Sayangnya hari itu aku kurang beruntung. Dosen memergokiku sedang terlelap dan langsung mengajukan pertanyaan yang jelas tidak bisa kujawab. Bagaimana mungkin aku menjawabnya, itu adalah pertanyaan yang ia terangkan saat aku sedang terlelap di alam mimpi.

Belum cukup dengan hal tersebut, mata kuliah berikutnya mengadakan tes kecil atau biasa disebut sebagai “kuis” oleh para mahasiswa. Bisa ditebak, aku dengan mata yang sangat berat, tidak akan mungkin bisa maksimal mengerjakannya.

Ah, lagi-lagi, aku menceritakan kepadamu tentang perjalanan yang panjang. Ini juga akibat pikiranku sedang terbang ke mana-mana.

Argh!

Sekali lagi, aku mohon dimaklumi. Beginilah diriku, bahkan di catatanku sendiri pun aku bisa melantur ke mana-mana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status