Share

7

Malamnya, aku makan dengan posisi terpisah dari Mama dan Papa. Mereka makan di meja makan, sementara aku di ruang tengah. Aneh rasanya, social distancing yang juga terjadi di dalam rumah.

Tapi itu memang harus aku lakukan. Berkali-kali aku mengingatkan diriku, bahwa sebagai ODP aku tidak memiliki banyak hal untuk dipertanyakan. Bahkan mungkin tidak punya sama sekali.

Mama dan Papa memang mempersilakanku untuk makan di meja. Tapi aku tidak mau. Aku tidak ingin mencelakakan mereka. Walaupun hingga saat ini aku tidak merasakan apa pun yang aneh dalam tubuhku.

Aku kembali ke kamar dan membuka ponselku. Betapa menyenangkan rasanya saat melihat nama Salman di notifikasi W******p.

“Hai, maaf aku baru menghubungi.” Katanya.

“Nggak apa-apa. Ke mana saja?” tanyaku.

“Aku berusaha nyari October Sky.”

“Eh?”

“Ya, dan aku masih belum menemukannya.”

“Susah ya?”

“Ya, begitulah.”

“Jangan dipaksakan.”

“Nggak, tapi aku sudah nemu orang yang punya.”

“Oh ya?”

“Iya, ternyata ada orang yang punya DVD-nya.”

“Terus gimana?”

“Kayaknya perlu kita kirim surat.”

“Surat? Maksudnya?”

“Ya kan kita nggak tahu apa dia mau ngasih apa engga.”

“Kamu punya alamatnya?”

“Ya, aku punya alamat surat elektroniknya.”

“Kalau gitu biar aku yang kirim surat elektronik.”

“Lho, kok kamu?”

“Kan aku yang pengen.”

“Tapi aku yang janjiin.”

“Iya, tapi aku yang pengen.”

“Ha, ha, ha, kita bisa melakukan ini seharian.”

“Semalaman kali, ‘kan udah malem.”

“Oh iya, semalaman.”

Aku tersenyum.

“Jadi, mana alamat surat elektroniknya?” tanyaku.

Salman mengirimkan alamat surat elektronik orang yang dimaksud.

“Terima kasih.” Kataku.

Salman menjawabnya dengan emoticon senyum.

Setelah menerima alamat surat elektronik dari Salman, aku langsung menulis surat elektronik tersebut kepada si empunya film.

Yang terhormat Bapak Drajat. Perkenalkan nama saya Sari Asrianti. Saya berasal dari Jakarta Selatan dan saat ini saya sedang banyak membaca dan menonton film sejarah. Saya adalah salah satu penggemar film October Sky, dan saya pribadi belum pernah menyaksikannya. Saya hanya sempat melihat cuplikannya di internet dan langsung tertarik. Saya juga telah membaca sinopsisnya dari berbagai sumber dan memang benar saja adanya bahwa cerita di film tersebut telah menarik hati saya. Semua yang dijabarkan pada cuplikan maupun sinopsis yang saya temukan sungguh menginspirasi sehingga saya sangat ingin menyaksikan film itu.

Tetapi sayangnya, film tersebut bukanlah film yang masih beredar di pasaran, sehingga hingga saat ini saya belum berhasil memperolehnya. Baik format DVD maupun bentuk lunaknya di internet sudah tidak lagi tersedia di mana pun saya mencarinya.

Mohon maaf, dari informasi yang saya dapat melalui salah satu rekan saya, Bapak adalah salah satu dari sekian banyak orang langka yang memiliki film tersebut. Saya sangat tertarik kepada film itu, dan seperti yang telah saya ceritakan, saat ini amat sulit untuk menemukannya. Untuk mengobati rasa penasaran saya, saya bertanya kepada teman-teman dan juga rekan-rekan saya, hingga akhirnya saya diberi informasi berupa alamat surat elektronik Bapak. Karena itu, saya memberanikan diri untuk menulis surat elektronik ini kepada Bapak.

Jika Bapak berkenan, apakah boleh saya meminjamnya dari Bapak?

Jika Bapak berkenan, mohon kesediaan Bapak untuk menanggapi permintaan saya ini. Respon atau jawaban apa pun yang Bapak berikan akan sangat berarti bagi saya. Apa pun respon dan jawaban Bapak, saya akan hormati dan terima dengan senang hati.

Atas perhatian Bapak, saya ucapkan terima kasih banyak.

Salam hormat,

Sari Asrianti.

Usai mengirim surat itu, aku menghubungi Salman. Aku memberitahunya tentang surat elektronik itu. Salman penasaran dan memintaku meneruskan surat yang kutulis tersebut kepada alamat surat elektronik miliknya.

“Panjang dan resmi amat suratnya.” Kata Salman usai membaca surat yang telah kuteruskan kepadanya.

“Ya harus dong, aku kan nggak kenal sama Bapak itu. Masa aku harus kirim surat pakai gaya ‘lo’, ‘gue’, dan lain-lain. Yang ada suratku bakal langsung dia hapus dan masukin tong sampah.” Jawabku.

“Ya nggak gitu juga.” Salman tertawa. “Tapi memang harus kuakui bahwa kamu niat banget nulisnya. Sampai berbunga-bunga dan puitis gitu.” Lanjutnya.

“Masa segitu dibilang puitis sih?” tanyaku.

“Ya, menurutku sih gitu. Minimal ini memang terlihat resmi banget. Padahal urusannya cuman minta pinjam film.” Salman masih tertawa kecil.

“Namanya juga ke orang yang nggak kukenal. Apa lagi kita nggak tahu si Bapaknya itu sudah berapa umurnya. Bisa saja sudah sepuh banget ‘kan.” Timpalku.

“Bisa juga. Tapi bisa juga masih tiga puluhan tahun. Kayaknya ngapain deh orang usia lanjut pakai punya October Sky segala. Filmnya aja nggak setua itu amat.” Kata Salman.

“Iya sih, tapi bisa saja film punya dia itu sebenarnya bukan punya dia, tapi punya anaknya. Atau cucunya, atau ponakannya, banyak lah kemungkinannya. Lah kita malah jadi bahas si latar belakang si Bapak Drajat itu nih.” Timpalku lagi.

“Lho kan kamu yang mulai.” Jawab Salman sambil tertawa.

“Kok aku? Kan kamu yang duluan ngomentarin suratku sebagai surat yang resmi banget dan lain-lain itu.” balasku.

“Kamu juga mau saja terpancing oleh bahasanku yang nggak penting itu.” Salman membalas lagi, masih sambil tertawa.

“Sialan, jadi dari tadi kamu cuman mau bikin aku muter-muter bahas hal yang nggak penting?” aku berlagak kesal.

“Ya dan tidak.” Jawabnya.

“Ya dan tidak itu gimana maksudmu?” tanyaku bingung.

“Mungkin jawabannya ‘ya’ kalau membicarakan Bapak Drajat itu secara latar belakang dan tidak ada hubungannya dengan kita, maksudku aku dan kamu. Tapi setidaknya bagiku, Bapak Drajat itu menjadi sangat penting apabila dia punya filmnya.” Terang Salman.

“Kok gitu? Bedanya apa?” aku belum paham.

“Ya beda. Kalau dia punya film itu, tentu artinya dia punya suatu hal yang sangat berarti buat kamu. Dan itu artinya apa yang dia miliki juga sangat berarti buatku.” Terangnya lagi.

“Benarkah begitu?” tanyaku.

“Iya. Oh, ada yang salah ternyata.” Jawabnya.

“Hah? Apa yang salah?” tanyaku lagi.

“Tadi kurang lengkap. Pak Drajat itu jadi berarti kalau dia punya film itu dan mau meminjamkannya kepadamu.” Ia menjawab sambil tertawa.

“Ah, dasar!” aku juga jadi ikut tertawa.

“Lho, benar ‘kan? Kalau dia punya filmnya tapi nggak mau minjemin, apa artinya? Buat apa juga?” Salman tidak mau kalah.

“Lalu, kalau beliau nggak mau minjemin, gimana?” pancingku.

“Aku akan temui dia.” Jawab Salman.

“Temuin dia? Buat apa?” tanyaku.

“Ya buat minta langsung dia agar minjemin filmnya itu ke kamu dong.” Jawabnya lagi.

“Tapi, memangnya kamu tahu alamat rumah beliau?” tanyaku lagi.

“Nggak sih, tapi aku bisa cari. Apa sih yang nggak bisa dilakukan dengan gampangnya akses informasi saat ini? Cepat atau lambat pasti aku akan bisa menemukan alamatnya dan minta dia minjemin filmnya.” Jawab Salman.

“Kalau dia tetap nggak mau, gimana?” pancingku lagi.

“Akan kulakukan apa pun untuk membuat dia mau. Kalau perlu aku bawa laptopku dan kukopi isinya di rumahnya sana, akan aku lakukan. Kalau dia masih nggak mau, aku akan coba cara lain. Banyak cara yang bisa dicoba, dan aku nggak menemukan alasan kenapa nggak bisa.” Ia nampak bersemangat.

Terus terang, aku mengagumi keoptimisan dan semangatnya itu. Tidak hanya tentang hal ini, tapi aku sudah melihatnya sebagai sebuah karakter. Salman memiliki karakter pantang menyerah yang tentunya sangat penting untuk seseorang dalam meraih keberhasilan. Aku yakin ia akan menjadi orang yang berhasil.

“Memangnya, kamu akan melakukan itu semua?” tanyaku.

“Iya dong, kenapa tidak?” jawabnya.

“Kenapa kamu mau lakukan itu?” tanyaku lagi.

“Demi kamu, dan demi melunasi janjiku kepadamu ‘kan. Aku sudah berjanji, dan aku akan melakukan apa pun agar janjiku itu kupenuhi. Terlebih lagi, janjiku itu kepada kamu. Pasti aku penuhi, lihat saja.” Salman nampak masih sangat bersemangat saat mengucapkan ini.

Lagi-lagi, aku kembali terkagum-kagum atas dirinya. Semagatnya dalam memenuhi janjinya kepadaku itu yang membuatku semakin kagum. Ia punya prinsip yang tidak akan bisa digoyahkan.

Aku berharap bahwa ini memang benar-benar dirinya. Dan bukan suatu karakter yang ia buat-buat agar dapat menarik perhatianku untuk bisa menyukai dirinya. Ya, kuharap memang demikian. Semoga saja semua yang ditampakkannya itu asli betulan.

“Ah, kamu ini memang selalu bisa saja ngomongnya.” Tanpa sadar, aku tersipu oleh ucapan Salman tadi.

“Nggak kok, itu yang kukatakan tadi benar-benar aku maksudkan demikian. Nggak pakai rekayasa.” Ia mengonfirmasi.

“Berarti selama ini pakai rekayasa?” pancingku.

“Bisa juga. Untuk menyenangkanmu, apa pun akan aku lakukan. Walau pun itu harus lewat rekayasa.” Jawabnya.

“Lho, kok gitu? Jadi nggak apa-apa kalau kamu merekayasa sesuatu atas diriku?” kini malah aku yang terpancing.

“Selama kamu nggak tahu, nggak apa-apa ‘kan?” jawabnya enteng.

“Nggak!” kataku. “Salman, aku nggak suka kayak gitu. Aku nggak mau dibohongi.” Nada suaraku agak meninggi.

“Lho, siapa yang bilang soal bohongin kamu?” tanyanya masih dengan nada enteng.

“Kamu sendiri ‘kan yang tadi bilang soal rekayasa itu.” jawabku masih dengan nada suara agak tinggi.

“Kamu salah paham, aku kan nggak pernah bilang soal bohong. Yang aku bilang adalah soal rekayasa.” Jawabnya.

“Lho, bedanya apa? Rekayasa ya sama aja bohong.” Balasku.

“Beda dong. Kamu tahu insinyur atau engineer dalam bahasa Inggrisnya?” tanya Salman.

“Iya, tahu. Tapi apa hubungannya dengan ini semua?” tanyaku kurang mengerti.

“Dalam bahasa Indonesia, insinyur atau engineer itu artinya rekayasawan. Mereka yang bisa melakukan rekayasa atas proses atau apa pun. Artinya pekerjaan mereka ya melakukan rekayasa. Apa kamu mau bilang mereka semua itu pembohong?” tanya Salman lagi.

“Ya beda sih, itu kan konteksnya nggak sama dengan yang kita bicarakan.” Aku agak salah tingkah menanggapinya.

“Oh ya, dan setahuku, kamu juga insinyur kan? Insinyur teknologi informasi, iya kan?” Salman seolah menyerangku balik.

“Ya, memang kenapa?” tanyaku, kini dengan nada suara yang lebih datar.

“Masa kamu mau bilang bahwa diri kamu sendiri pembohong?” Salman tersenyum nyengir saat mengatakannya.

“Ih, dasar! Kan beda konteksnya!” seruku.

“Istilah itu ‘kan digunakan di mana-mana. Jadi dipakai di mana pun, konteks dan maknanya akan sama. Artinya, biarpun aku bukan insinyur atau rekayasawan tadi, aku bisa melakukan hal uang mirip dengan apa yang mereka lakukan, semua itu demi menyenangkanmu.” Salman menjelaskan.

Aku tahu atau minimal diriku bisa menduga bahwa sebenarnya ia sedang mengelak dari kejaranku. Aku juga menduga bahwa ia sebenarnya sadar bahwa dirinya tadi telah salah bicara dengan mengatakan soal rekayasa. Tapi Salman sekarang sedang mengelak dengan menjelaskan panjang lebar tersebut.

Biarlah, akan kubiarkan saja dia dengan semua penjelasannya itu.

“Kamu bisa aja ngelesnya.” Kataku akhirnya.

“Iya dong, biar nggak kamu marahin.” Salman menjawab dengan santai.

“Tuh ‘kan, berarti benar bahwa dari tadi kamu tuh ngeles.” Kataku.

“Nggak apa-apa dong. Minimal jadi ada pembicaraan yang menarik di antara kita.” Jawabnya lagi.

“Memangnya selama ini pembicaraan kita nggak menarik?” pancingku.

“Menarik sih, tapi belum sampai ngotot-ngototan kayak tadi. Seru juga ‘kan kalau sekali-sekali ada ngotot-ngototannya kayak gitu.” Ia tersenyum nakal.

“Dasar, jadi dari tadi tuh jangan-jangan kamu sengaja mancing-mancing aku biar bisa ngotot-ngototan sama kamu, gitu ya?” aku menahan tawaku.

“Mungkin saja. Tapi semua yang terjadi tadi itu benar-benar spontan. Aku aja nggak nyangka bahwa tadi kita bisa ngotot-ngototan seperti itu. Tau-tau kita sudah saling berdebat kayak tadi. Tapi itu semua mengasyikkan kok, beneran deh.” Salman terlihat tersenyum dikulum.

“Iya deh, iya. Aku mulai merasa dan sadar kalau aku nggak bakal bisa menang debat sama kamu.” Kataku.

“Debat bukan untuk dimenangkan atau dikalahkan, tapi yang penting kita menikmati debat itu dengan orang yang kita sayangi.” Jawabnya.

Kini pipiku terasa merona. Wajahku pun terasa panas. Semua itu karena apa yang ia ucapkan barusan.

“Jadi, kamu sayang aku?” pancingku.

“Iya dong, kalau nggak, ngapain aku menghabiskan waktuku denganmu selama berhari-hari ini?” timpalnya balik bertanya.

Entah yang ditanyakannya itu adalah pertanyaan retoris atau bukan, aku belum bisa menangkap maknanya.

Iseng, aku bertanya tentang kehidupan asmara Salman. Lebih tepatnya, tentang apakah ia sudah punya pacar.

Terdengar cheesy, memang. Tapi aku tidak menemukan bahan obrolan lain.

“Kenapa memangnya?” Salman balik bertanya.

“Enggak, pengen tahu aja. Berapa cewek yang sudah jadi korban kamu.” Jawabku.

“Ha-ha-ha, kok korban sih?” ia bertanya sambil tertawa.

“Istilah aja itu. Soalnya tadi kamu begitu ahli dalam menyusun kata-kata yang bikin aku seolah istimewa.” aku membalas dengan emoticon senyum.

“Kamu memang istimewa, kok.” Jawabnya.

“Tuh ‘kan, memang paling bisa!” timpalku.

“Enggak, aku beneran mengucapkan itu dengan sungguh-sungguh.” Katanya.

“Iya deh iya, ya sudah, balik ke pertanyaan tadi.” Kataku.

“Soal perjalanan asmaraku?” ia mengonfirmasi.

“Iya, cerita dong.” Jawabku.

“Oke, tapi kamu harus janji satu hal.” Katanya.

“Janji apa?” tanyaku.

“Kalau aku cerita, kamu juga cerita.” Salman memberikan syaratnya.

“Tentang apa?” aku pura-pura belum paham.

“Ya tentang mantanmu lah, atau mantan-mantanmu. Kan kamu minta aku cerita tentang itu. Nah berarti sebagai syaratnya aku juga minta kamu cerita soal perjalanan asmaramu.” Terangnya.

“Oh, berarti mantanmu banyak dong?” tanyaku menyelidik.

“Enggak, cuman satu.” Jawabnya singkat.

“Ah, masa?” aku tidak percaya.

“Lho, kenapa emang?” tanyanya balik.

“Kamu keliatannya supel. Mana mungkin cuma pernah pacaran satu kali.” Kejarku.

“Kamu ‘kan belum tahu aku. Cuma dari beberapa hari ini ‘kan?” jelasnya.

“Iya sih. Jadi, baru sekali pacaran?” tanyaku lagi.

“Iya, begitulah.” Tegasnya.

“Berapa lama?” kejarku lagi.

“Cukup lama, sejak kelas tiga SMA sampai jelang lulus kuliah.” Jawabnya.

“Wah, lama juga ya?” sebenarnya pertanyaanku ini lebih ke arah retorika.

“Memang, cukup lama. Bertahun-tahun, tepatnya berapa tahun aku nggak ingat.” Terangnya.

“Kok bisa nggak ingat? Memangnya nggak ada tanggal jadian atau apa gitu?” tanyaku lagi.

“Nah itu dia. Kami nggak pernah tahu kapan tepatnya kami jadian. Kami berawal dari teman dekat, sering main bareng. Asalnya main bareng teman-teman yang lain. Tapi lama kelamaan jadi main berdua saja. Suatu saat aku iseng nanya apakah dia mau jadi pacar aku. Dia jawab mau. Dan setelah itu kami jadian.” Ceritanya.

“Gitu doang? Dan langsung jadian setelah itu?” tanyaku cukup terkejut.

Ternyata ada juga ya kisah dan cara jadian seperti itu, pikirku.

“Iya, begitulah. Dan aku nggak bisa ingat hari apa dan tanggal berapa tepatnya aku nanya gitu dan dia terima.” Salman tersenyum nyengir saat mengatakannya.

“Waduh, bisa gitu ya. Lalu kenapa putus?” selidikku.

“Klise sih sebenarnya. Dia kerja praktik lapangan di luar daerah. Letaknya jauh banget dari sini. Lalu kami jadi jarang berkomunikasi. Setelah itu tanpa kami sadari, kami menjadi orang asing bagi satu sama lain.” Ceritanya lagi.

“Lalu setelah itu putus?” selidikku lagi.

“Ya begitulah, kami akhirnya membicarakan hal tersebut. Dan kenyataan bahwa kami saling menjadi orang asing itu membuat kami yakin bahwa hubungan kami nggak bisa diteruskan. Kami pun sepakat untuk putus secara baik-baik.” Salman menceritakannya sambil masih tersenyum, walaupun tipis.

“Sayang ya banget sampe putus begitu.” Komentarku.

“Jadi kamu mengharapkan aku nggak putus sama dia?” ia justru memancingku.

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Karenanya terjadi hening beberapa saat, sehingga cukup lama waktu yang kubutuhkan sebelum menjawab pertanyaannya.

“Hei, kenapa?” tanya Salman, sepertinya ia mendapati aku terlalu lama menjawabnya.

“Enggak. Nggak apa-apa.” Jawabku.

“Maaf kalau aku malah bertanya hal yang bikin kamu nggak senang.” Katanya.

“Nggak kok, bukan karena itu. Aku cuma bingung aja harus menjawab apa.” Jawabku.

“Kenapa bisa bingung seperti itu?” tanyanya.

“Ya bingung, takut salah ngomong. Kalau aku bilang iya, yaitu bahwa aku mengharapkan kalian nggak putus, ya itu sebenarnya benar dan wajar juga ‘kan? Hubungan kalian nampaknya indah banget. Biarpun kamu baru cerita sedikit, tapi kalau seperti yang kamu ceritakan, hubungan kalian itu bisa berlangsung selama itu, sampai bertahun-tahun, pasti bukan hubungan yang nggak menyenangkan. Jadi, ya bagiku hubungan seperti itu cukup sayang kalau putus. Sementara kalau aku jawab tidak, artinya aku senang kalian putus, kok aku merasa jadi orang yang jahat banget ya?” terangku.

“Nggak kok, nggak jahat. Ya, memang aku juga merasa sayang pada awalnya. Tapi mungkin itu yang terbaik bagi kami. Mungkin juga dia lebih bahagia dengan keputusan itu. Siapa tahu ‘kan?” timpalnya.

“Kamu sendiri lebih bahagia dengan keputusan itu?” selidikku.

“Nggak ada jalan lain. Semua keputusan yang telah diambil dalam hidup ini harus dijalani dengan bahagia, bukan? Kita pasti nggak punya pilihan untuk membuatnya jadi hal yang nggak membahagiakan kita, karena itu akan membuat diri kita sendiri menderita. Begitu sih menurutku. Kalau menurutmu sendiri gimana?” ia malah bertanya balik di akhir.

“Ya, aku juga setuju. Apa pun yang sudah terjadi, lebih baik kita menjalaninya dengan bahagia. Kalau nggak, ya seperti katamu tadi, malah bikin kita menderita sendiri.” Jawabku.

“Sama seperti keadaan kita sekarang.” Timpalnya.

“Maksudmu?” aku belum paham apa yang ia katakan.

“Ya itu, kondisi kita sekarang, jadi ODP.” Terangnya.

“Oh, iya.” Aku menjawab singkat.

“Berarti kita harus berbahagia dalam menjalaninya, bukan?” ia mengonfirmasi.

“Iya, aku sepakat dengan itu.” jawabku.

Kami saling melempar senyum.

“Sekarang giliranmu cerita.” Kata Salman.

“Soal mantanku? Nggak ada.” Jawabku.

“Maksudmu?” tanyanya sambil terlihat bingung.

“Aku belum pernah pacaran.” Jawabku lagi.

“Ah, mana mungkin. Cewek kayak kamu pasti banyak yang mau.” Ia masih nampak bingung.

“Kamu ‘kan belum tahu aku. Baru dari beberapa hari ini ‘kan?” aku meniru ucapannya.

“Ah, sial!” Salman langsung tertawa mendengarnya.

Aku pun ikut tertawa.

“Seriuslah, masa beneran nggak pernah pacaran?” tanya Salman.

“Iya kok, beneran belum pernah.” Jawabku.

“Aku sebenarnya ingin percaya, tapi kok susah ya?” tanya Salman lagi.

“Bahwa ternyata aku belum pernah pacaran? Kenapa susah untuk dipercaya?” tanyaku.

“Ya itu tadi ‘kan sudah kusebutkan. Jadi agak sulit untuk percaya walaupun itu kenyataan.” Jawabnya.

“Ya memang begitulah kenyataannya.” Timpalku.

“Hmm, tapi kalau HTS gimana?” tanyanya lagi.

“Maksudmu dengan HTS apa? Hubungan Tanpa Status?” aku mencoba mengonfirmasi.

“Iya, itu benar, Hubungan Tanpa Status.” Ia mengonfirmasi.

“Yang kayak gitu juga enggak deh seingatku.” Jawabku.

“Masa sih? Kok aneh ya?” ia masih nampak bingung.

“Kenapa? Sulit diercaya lagi?” tanyaku.

“Iya, soalnya benar-benar di luar dugaanku.” Jawabnya.

“Memang dugaan kamu tentang aku itu seperti apa?” tanyaku.

“Dari pertama kali aku kenal kamu, seperti yang sudah aku katakan, bahwa kamu itu supel dan mudah bergaul serta mendapat teman. Itu kesan pertama yang melekat pada diri kamu saat kita kenalan. Nah saat itu aku mikir bahwa dengan karakter kayak gitu, sepertinya kamu sudah bergaul dengan sangat luas. Jadi, nggak aneh kalau kamu juga punya banyak teman laki-laki, dan di antaranya mungkin juga pernah terlibat hubungan asmara sama kamu.” Terangnya.

“Jadi, kamu pikir aku ini perempuan yang suka mainin laki-laki, gitu?” aku menyelidik.

“Enggak, enggak, sama sekali enggak.” Kata Salman buru-buru mengonfirmasi. “Hanya saja aku mikir, ah ya gitulah, susah jelaskannya, bahwa kamu itu menurut logikaku kok cukup mustahil kalau nggak punya mantan.” Lanjutnya.

“Jadi bahas mantan terus, aku tegaskan lagi aja ya, bahwa aku nggak punya mantan.” Kataku sambil tertawa.

“Iya deh, iya, aku akan percaya biarpun sulit. Eh, atau...” ia nampak seperti sedang berpikir.

“Atau apa?” tanyaku penasaran.

“Atau jangan-jangan, kamu memang benar nggak punya mantan. Tapi itu bukan karena kamu nggak pernah terlibat asmara lalu putus, melainkan karena saat ini kamu masih jadian sama seseorang.” Salman memberikan deduksinya.

Aku tertawa mendengar deduksi dadakan dari Salman.

“Lho, kenapa?” Salman ikut tertawa. “Jangan-jangan itu benar, ya?” ia melanjutkan pertanyaannya.

“Kamu ini seperti detektif saja.” Kataku.

“Ya mungkin aku memang berbakat untuk itu. Tapi gimana, benar nggak?” Salman masih mengejar.

“Kalau benar, memangnya kenapa?” pancingku.

Salman terdiam untuk beberapa saat.

“Hei, kalau benar memangnya kenapa?” aku mengulang pertanyaanku.

“Ya nggak apa-apa, tapi itu berarti aku nggak bisa lebih dekat dari ini denganmu.” Akhirnya ia menjawab.

“Lho, kenapa memangnya?” tanyaku.

“Ya jelas karena aku pasti harus menghargai pria itu dong. Kan dia yang jadi pasanganmu. Aku bukan siapa-siapa.” Jawabnya dengan suara yang aku tahu bahwa itu dibuat-buat datarnya.

Aku pun tersenyum.

“Enggak kok, Salman. Saat ini aku nggak lagi jadian sama seseorang.” Kataku.

“Benarkah?” mata Salman nampak berbinar.”

“Iya, benar.” Jawabku sambil mengangguk dan tersenyum.

“Syukurlah kalau begitu.” Katanya.

“Lho, kenapa kok disyukuri?” pancingku.

“Ya harus dong. Itu berarti kita bisa lebih dekat lagi daripada ini.” jawabnya.

“Jadi, kamu ingin lebih dekat dari ini?” pancingku lagi.

“Iya, kalau kamu mengizinkan untuk aku bisa lebih dekat lagi denganmu.” Jawabnya.

Aku tersenyum lagi.

“Gimana? Bolehkah?” tanya Salman.

“Iya, boleh.” Jawabku sambil mengangguk dan tersenyum.

“Oke, terima kasih.” Salman membalas senyumku.

“Tapi aku harus kasih tahu satu hal sih ke kamu.” Kataku.

“Ya? Apa itu?” tanyanya.

“Pemikiran kamu sebenarnya nggak salah-salah amat. Iya, memang betul bahwa aku nggak pernah atau belum pernah jadian lalu putus, sehingga menjadikan aku punya mantan. Tapi bukan berarti aku nggak punya teman laki-laki yang dekat.” Jawabku.

“Oh, jadi semacam HTS seperti tadi kita bicarakan?” ia bertanya.

“Enggak kok, bukan gitu.” Aku tersenyum. “Aku punya banyak teman kuliah, baik laki-laki maupun perempuan. Dan banyak di antara mereka yang dekat denganku, baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Kami para sahabat dekat. Jadi yang laki-laki pun banyak yang suka main ke rumahku, seperti halnya yang perempuan. Dan kami kayaknya asyik aja tuh, jadi teman dekat. Jadi bukan berarti aku nggak punya mantan tapi nggak punya teman dekat laki-laki.” Terangku.

“Oh ya, ya, aku paham.” Timpal Salman. “Kalau seperti itu sih aku juga sama denganmu. Aku juga banyak punya teman dekat perempuan. Kami suka main bareng beramai-ramai. Kami juga dekat satu sama lain. Seperti geng, begitu ‘kan?” lanjutnya.

“Iya, iya, tepat seperti itu.” jawabku.

“Nah, betul, aku paham.” Kata Salman.

“Ya sebenarnya, itu berarti mirip dengan kita sekarang juga ‘kan?” tanyaku.

“Maksudmu?” Salman bertanya balik.

“Seperti kita sekarang, kita menjadi teman baik, walaupun baru beberapa hari kenal. Sama juga seperti aku dan teman-temanku yang kukatakan tadi.” Jawabku.

“Oh iya juga ya, sekarang kita baru menjadi teman baik.” Timpal Salman.

“Maksudmu bagaimana?” tanyaku.

“Seperti yang tadi kutanyakan, aku ingin lebih dekat denganmu. Tapi sekarang, seperti katamu tadi, bahwa kita baru menjadi teman baik bagi satu sama lain. Nah, mungkin, ke depannya kita akan lihat apakah kita bisa lebih dari sekedar teman baik.” Jawabnya.

“Ya, sesuai jawabanku tadi, kita lihat saja.” Timpalku sambil tersenyum.

“Sekali lagi, terima kasih ya.” Katanya.

“Terima kasih untuk apa?” tanyaku.

“Ya untuk mengizinkanku tadi.” Jawabnya.

Aku tertawa.

“Iya, terima kasih juga untuk telah menjadi teman dekat yang baik sejauh ini.” kataku.

“Memang seharusnya demikian, bukan?” jawabnya.

“Iya, jadi, apa rencanamu setelah ini?” tanyaku.

“Maksudmu setelah masa karantina ini berakhir?” ia bertanya balik.

“Bukan hanya itu, tapi lebih jauh lagi, setelah pandemi ini berakhir, tentunya.” Jawabku.

Kami lalu membahas rencana apa yang akan kami lakukan setelah itu. Salman mengatakan bahwa ia ingin membawaku jalan-jalan ke banyak tempat. Sebenarnya pergi ke berbagai tempat memang menjadi kesukaannya sejak lama. Salman, menurut keterangannya sendiri, sangat senang untuk menjelajah tempat-tempat baru di berbagai daerah. Karena itu, pandemi yang terjadi saat ini membuat dirinya terkekang sehingga tidak bisa menyalurkan hobinya tersebut.

Ternyata Salman juga bukan orang yang bisa diam di tempat sepertiku. Sama dengan diriku, ia juga orang yang menyukai untuk bermain ke berbagai tempat. Hanya saja cakupan bermainnya Salman lebih luas dibandingkan diriku. Jika area mainku hanya terbatas pada tempat-tempat keramaian di dalam kota seperti kafe, mall, dan sebagainya, maka Salman sudah mencakup ke berbagai daerah. Mungkin saja ia sudah menjelajah lintas provinsi.

“Kamu sudah pernah menjelajah ke luar negeri juga ‘kah?” tanyaku.

“Oh kalau itu baru yang dekat, seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand. Belum ada kesempatan untuk bisa main lebih jauh dari situ.” Jawabnya.

Aku sedikit malu dengannya. Tempat terjauh di luar negeri yang telah kucapai baru Singapura. Itu pun karena aku mendapat hadiah liburan dari lomba menulis yang diadakan oleh sebuah plaftorm digital.

Untung saja Salman tidak bertanya balik tentang pengalamanku ke luar negeri. Jika ia bertanya, maka aku akan bingung harus menjawab seperti apa. Jangankan pengalaman main ke luar negeriku yang terbatas pada Singapura, bahkan di dalam negeri pun pengalamanku masih sangat terbatas. Aku belum pernah main ke luar pulau Jawa. Malahan di pulau Jawa pun aku baru pernah main ke tempat-tempat yang populer seperti Malioboro, Candi Borobudur dan Candi Prambanan.

Belum pernah lebih jauh dari itu.

“Ayo, nanti kita main-main dan menjelajah dunia ini lebih luas lagi.”Ajak Salman.

“Memangnya kamu mau ongkosin aku?” godaku.

“Ya kita cari ongkos dong. Cari sponsor atau lomba, atau cari tiket murah. Banyak caranya untuk bisa travelling tanpa harus merogoh kocek dalam-dalam sampai jebol.” Jawab Salman.

“Lho, berarti kamu sudah berpengalaman untuk mendapatkan travelling dengan biaya murah ya?” tanyaku.

“Iya, seperti itulah kira-kira. Sebenarnya tinggal bagaimana kita mengatur jadwal dan memesan tiket jauh-jauh hari. Selain tiket, penginapan juga demikian. Harus dipesan jauh-jauh hari.” Jawabnya.

“Jadi, kalau tiket dan penginapan itu dipesan jauh-jauh hari, harganya akan lebih murah?” tanyaku lagi.

“Begitulah, malah bukan hanya lebih murah, tapi bahkan jauh lebih murah. Coba saja cari di internet harga-harga tiket dan hotel untuk tahun depan kalau dipesan sekarang. Pasti jauh lebih murah.” Jawabnya.

“Menarik, nanti aku coba cari.” Timpalku.

“Nah, karena itulah perencanaannya harus matang juga. Harus direncanakan sejak jauh-jauh hari, jadi kita tahu kapan tiket dan penginapan itu akan kita pesan.” Katanya.

“Tentunya dengan mengesampingkan asumsi terjadinya bencana, ‘kan?” kataku.

“Maksudmu bencana alam?” ia bertanya.

“Semacam itu, atau bisa juga pandemi seperti sekarang. Itu ‘kan nggak bisa diduga” jawabku.

“Benar, semuanya jadi kacau. Kasihan juga yang sudah jauh-jauh hari merencanakan travelling-nya.” Kata Salman.

“Dan kasihan juga pengusaha transportasi dan penginapannya.” Timpalku.

“Semoga pandemi ini segera berakhir, sehingga rencanaku ngajak kamu main ke banyak tempat bisa segera terwujud juga. Juga semoga semua pelaku usaha yang terdampak oleh pandemi Corona ini segera dapat pulih kembali bisnisnya seperti sedia kala, bahkan jauh lebih menguntungkan dibandingkan sebelumnya.” Kata Salman lagi.

“Aku aminkan saja deh semua doa yang baik.” Jawabku sambil tersenyum.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status