Share

4

Aku tidak pernah merasakan gejala apa pun. Tidak batuk, tidak sesak napas, bahkan tidak pusing. Sama sekali, sedikit pun tidak. Tapi dokter mengatakan bahwa aku bisa saja menjadi carrier.

Carrier atau Orang Tanpa Gejala (OTG) adalah mereka yang membawa virus Corona dalam tubuhnya, namun karena imunitas tubuh yang tinggi, mereka tidak menderita sakit. Tapi virus Corona tetap berada di dalam diri mereka. Virus itu bisa menular ke orang lain dan menyebabkan orang itu sakit jika imunitasnya rendah. Aku tidak ingin menjadi orang yang membawa musibah bagi orang lain seperti itu.

Lagipula masa karantinaku baru saja dimulai. Bisa saja aku masih mengalami masa inkubasi. Aku terlalu percaya diri jika mengatakan bahwa diriku adalah seorang carrier.

Hanya saja aku merasa malu saat mengalami karantina ini. Seolah aku adalah seorang berpenyakitan yang harus dijauhi. Aku tahu bahwa diriku sendiri yang mengatakan kepada Markus agar jangan merasa demikian terkait hal ini.

Tapi ternyata memang lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Aku sendiri malah memikirkan hal-hal yang telah kukatakan, dan merasa minder karenanya.

Papa dan Mama sudah mengatakan kepadaku bahwa itu tidaklah demikian. Aku hanya perlu mengisolasi diri agar tidak menulari orang lain. Dokter pun berkata hal yang sama.

Tapi tetap, itu tidak membuatku merasa lebih baik. Aku seperti seorang pembawa penyakit. Orang yang harus dijauhi. Orang yang menjijikkan.

Terlebih lagi dengan adanya berita masyarakat yang menolak pemakaman jenasah korban Corona. Itu semakin membuatku merasa sedih.

Sebegitu hinakah menjadi korban Corona?

Bukankah mereka hanya korban?

Tidak ada satu pun orang waras yang menginginkan dirinya tertular virus celaka itu. Tapi banyak oknum masyarakat yang memperlakukan mereka seperti bandit jalanan. Itu semua membuatku sangat sedih.

Hanya Papa dan Mama yang terus membesarkan hatiku. Mereka juga yang selalu mengingatkanku untuk mengonsumsi banyak serat serta vitamin yang cukup. Mereka juga berkata bahwa mereka tidak mempercayai bahwa diriku menjadi carrier. Aku hanya harus mengikuti prosedur, begitu katanya.

Tapi kenyataan bahwa mereka mengatakannya sambil menjaga jarak denganku cukup membuatku kecewa. Ya, aku tahu, mereka juga harus melakukan prosedur. Aku hanya kecewa tanpa alasan. Kecewa karena sedih.

“Sudahlah, kau akan segera kembali ke luar.” Kata Salman saat kuceritakan semua hal tersebut.

“Bisa ya, bisa juga tidak.” Jawabku.

“Jangan pesimis begitu.” Katanya lagi.

“Bagaimana kalau empat belas hari ke depan aku ternyata dinyatakan positif?” aku bertanya gelisah.

“Jangan mengkhawatirkan hal yang belum terjadi.” Ia nampak berusaha menenangkan.

“Tapi hari itu akan segera tiba.” Kataku lagi.

“Kamu akan menjadi paruh baya, tua, dan meninggal. Tapi tidak oleh penyakit ini.” timpalnya.

“Kamu nggak membuatnya jadi lebih baik.” Jawabku.

“Kenapa?” ia nampak heran.

“Ya itu, dengan menyebutku akan meninggal.” Jawabku.

“Tapi kan nanti setelah tua.” Ia mengelak.

Aku tertawa.

“Video call aja yuk?” ajaknya.

“Boleh.” Jawabku.

Saat kami melakukannya, terlihat bahwa Salman sejak tadi chatting denganku sambil berada di teras rumah. Ia lalu berdiri dan mengarahkan layar teleponnya ke sekeliling dirinya.

Salman memperlihatkan halaman rumahnya yang asri. Ternyata ia memiliki rumah dengan halaman yang luas. Semua tanaman ditata dengan begitu rapinya.

Aku jadi malu sendiri. Aku tidak pernah seserius itu dalam mengurus rumah. Jangankan tanaman di halaman, bahkan kamarku sendiri pun tidak setiap hari kubersihkan. Salman seperti seorang antitesis dari diriku.

Ia masuk ke rumah dan menyapa seorang perempuan. Salman memperkenalkan perempuan itu kepadaku sebagai ibunya. Aku cukup kagum, ibunya nampak lebih muda dari usianya.

Usia Salman seharusnya tidak terpaut jauh dariku. Artinya usia ibunya bisa jadi sudah di atas lima puluh tahun. Tapi ia masih nampak seperti awal empat puluhan.

“Ibu sedang masak.” Kata Salman.

“Oh...” hanya itu jawabku.

“Ibu, ini Sari.” Kata Salman.

“Perkenalkan, Tante.” Kataku tersenyum.

“Oh iya, salam kenal ya. Saya Arny.” Ibu Salman menyapa ramah sambil memperkenalkan dirinya.

“Iya, Tante Arny.” Sapaku hormat.

“Ketemu Salman di mana?” tanya Tante Arny.

“Di grup Zoom, Tante.” Jawabku.

“Oh, iya Tante tahu grup itu.” katanya.

“Oh ya, Tante?” aku nampak terkejut.

“Iya, gimana, asyik grupnya?” tanyanya.

Aku melirik Salman sejenak. Salman balas melirik sambil tersenyum dan mengangkat alisnya.

“Asyik, Tante. Orang-orangnya baik.” Jawabku akhirnya.

“Syukurlah. Semoga senang terus ya.” Timpal Tante Arny.

“Iya, Tante.” Aku tersenyum.

“Wah, aku dijadiin kambing congek.” Kata Salman.

Aku tertawa mendengarnya.

“Salman akhirnya harus mau makan serat. Biasanya dia nggak mau tuh makan buah dan sayur.” Kata Tante Arny.

“Begitukah? Karena jadi ODP?” tanyaku tersenyum.

“Iya, memang begitu.” Tegas Tante Arny.

“Waaah, ceritain aja semua, Bu.” Kata Salman.

Aku dan Tante Arny tertawa.

“Aku mau nunjukin ruang makan aja.” Kata Salman.

“Ngapain?” tanyaku.

“Nanti aku mau ngundang kamu makan di sini ketika semua ini berakhir.” Jawab Salman.

“Ih, kok so sweet?” timpal Tante Arny.

“Bukan so sweet, Bu. Tapi beneran sweet.” Kata Salman.

“Gombal.” Kataku.

“Aminkan dong, biar semua ini benar-benar berakhir.” Timpal Salman.

“Iya deh, aamiin.” Kataku.

Tante Arny juga ikut mengaminkan.

Salman menunjukkan dapur dan ruang makan mereka. Seperti yang kuduga, kedua tempat itu sangat bersih dan rapi. Aku bisa menduganya dari cara mereka memperlakukan halaman rumahnya yang tadi kulihat. Dapurnya putih bersih, dan semua peralatan terlihat teratur berada di tempatnya.

Begitu juga dengan ruang makan mereka. Piring, sendok, dan garpu begitu teratur. Demikian juga serbet yang dilipat membuatku merasa sedang melihat sebuah meja makan di hotel berbintang lima.

Kulontarkan pujian kepada dua ruangan itu. Salman menjawab bahwa itu hanyalah kebiasaan mereka. Aku jadi semakin malu.

Usai dari dapur dan ruang makan, Salman lalu membawa ponselnya ke kamarnya. Ia menunjukkan dinding kamarnya yang dipenuhi poster pemain sepakbola. Bahkan di mejanya terdapat beberapa action figure pemain top Eropa.

“Kamu suka bola juga ternyata.” Kataku.

“Iya. Fanatik.” Jawab Salman.

“Pasti suka mainnya juga ‘kan?” aku mencoba menggali.

“Pasti. Sebelum jadi ODP pasti aku dua kali sepekan main futsal.” Jawab Salman.

“Wah, hebat dong.” Pujiku.

“Makanya aku ingin segera main lagi.” Timpalnya.

“Aku juga suka sepakbola.” Kataku memberi tahu.

“Benarkah?” matanya berbinar.

“Ya, aku Milanisti.” Kuberi tahu identitasku.

“Aku Decul.” Jawabnya.

“Barcelona?” tanyaku memastikan.

“Iya.” Jawab Salman.

“Waaah, tapi kamu bukan fans plastik kan?” tanyaku menggodanya.

“Bukanlah. Maksudmu fans Barcelona sejak mereka berjaya doang ‘kan?” ia memastikan.

“Iya.” Jawabku.

“Aku suka Barcelona sejak tahun 90-an.” Terang Salman.

“Walaupun saat itu Madrid lagi berjaya?” pancingku.

“Iya, entah kenapa aku sukanya Barcelona.” Terangnya.

“Hebat dong, setia.” Pujiku lagi.

“Harus. Kamu sendiri sejak kapan suka Milan?” ia balik bertanya.

“Sejak SMA, kira-kira. Waktu mereka juara Eropa lawan Juventus.” Jawabku.

“Kalau waktu itu Juventus yang menang, kamu jangan-jangan jadi Juventini?” goda Salman.

“Mungkin saja.” Jawabku.

Kami tertawa lagi.

“Inilah yang menjadi motivasiku.” Kata Salman sambil memperlihatkan lagi koleksi barang-barang bernuasa sepakbolanya. “Setelah ini aku ingin main futsal lagi, berlarian lagi di sepanjang lapangan, mencetak gol lagi, jadi bintang lapangan lagi.”

“Memangnya kamu bintang lapangan?” godaku lagi.

“Nanti kamu lihat sendiri ya.” Ia menggoda balik.

“Janji, ya?” pintaku.

“Janji.” Jawabnya.

“Berarti motivasi untuk lewat dari krisis ini adalah supaya bisa lihat kamu main ya?” godaku.

“Iya, begitulah.” Jawabnya enteng.

“Aku bukan motivator yang baik, ya?” tanyaku.

“Di antara kita ‘kan nggak ada yang kerja jadi motivator.” Jawab Salman.

“Saling semangatin aja berarti ya.” Kataku.

“Ya. Anggap saja kita sama-sama anak kecil yang harus saling hibur.” Jawabnya lagi.

“Bisa juga seperti itu. Kita sama-sama menunggu masa-masa ini berlalu.” Aku berusaha menghibur.

“This too shall pass.” Timpalnya.

“Benar.” Jawabku.

Harus kuakui bahwa aku mulai menyukai pria ini. Aku menyukai caranya berbicara, optimismenya, keceriaannya, serta bagaimana ia membuat orang di sekitarnya menjadi bahagia.

“Ceritakan tentang dirimu.” Kataku.

“Kamu tahu, aku suka sepakbola, dan aku menjadi ODP gara-gara nonton bola juga.” Jawabnya.

“Oh ya?” aku belum tahu tentang ini.

“Ya, gara-gara aku nonton bola di stadion.” Terang Salman.

“Oh, wah, kamu nonton pertandingan liga di stadion ya berarti?” aku memastikan.

“Iya, dan setelah itu baru diketahui bahwa sebagian orang di sana sudah dinyatakan positif mengidap Corona.” Kisahnya.

“Aku tahu bagaimana rasanya seperti itu.” aku menimpali.

“Iya, nggak jauh beda dari kejadianmu. Tapi ya sudahlah, mau gimana lagi ‘kan? Semua sudah berlalu. Dan sudah terjadi juga.” Salman seperti menghibur diri.

“Iya, sepakat.” Jawabku.

Salman tersenyum.

Aku pun membalas senyumnya.

“Tapi kejadian itu nggak membuatmu berhenti menyukai sepakbola ‘kan?” tanyaku.

“Nggak lah, jelas. Sama sekali nggak, itu hal yang berbeda.” Jawab Salman.

“Syukurlah, aku setuju dengan itu. Kejadian tersebut memang nggak berhubungan dengan sepakbola sebagai olahraga. Itu murni keteledoran.” Tegasku.

“Benar. Ya sama juga dengan kejadianmu. Masa setelah itu jadi nggak boleh ada wisuda sama sekali?” ia mencoba memberi perbandingan.

Kami tertawa berbarengan lagi.

“Selain sepakbola, apa lagi yang kamu suka?” tanyaku.

“Hmm, film.” Jawab Salman.

“Film bioskop? Atau film serial?” tanyaku lagi.

“Dua-duanya. Kamu gimana?” ia bertanya balik.

“Aku nggak pernah melewatkan film-film terbaru. Baik film bioskop maupun film serial.” Jawabku.

“Kalau begitu, kita bisa nonton nanti, setelah semuanya berakhir.” Ajaknya.

“Janji?” aku mengulangi perkataan kami beberapa saat lalu.

“Janji.” Ia juga mengulangi jawabannya tadi.

“Apa film favoritmu?” tanyaku lagi.

“Aku? October Sky.” Jawabnya.

“Pendaratan di Bulan?” aku kurang akrab dengan judul film yang disebutkannya.

Tapi rasanya aku memang pernah mendengar judul film tersebut. Aku masih mencoba mengingat-ingatnya.

“Bukan, pembuatan roket oleh anak-anak sekolah.” Salman mengonfirmasi.

“Ah, ya. Lupa.” Aku tertawa.

“Aku suka perjuangan mereka dalam menggapai mimpi. Walaupun dunia dan sekitar mereka menentang, tapi mereka berjalan terus. Mimpi adalah hal yang membuat mereka hidup. Membuat kita semua hidup.” Terang Salman.

“Aku suka cerita itu. Kapan-kapan aku juga ingin menontonnya. Kau punya filmnya?” tanyaku.

“Dulu punya, tapi dipinjam teman, dan belum kembali.” Jawabnya.

“Wah, sayang sekali, ya.” Aku sedikit kecewa.

“Tapi aku akan nyari lagi.” Katanya.

“Buat apa?” tanyaku lagi.

“Ya buat kamu.” Jawabnya.

“Lho kok buat aku?” aku bingung sendiri.

“Kan kamu bilang tadi bahwa kamu mau nonton.” Jawab Salman lagi.

“Tapi kan filmnya nggak ada.” Kataku.

“Sudah kubilang bahwa akan aku cari.” Ia menegaskan.

“Hanya karena aku mau nonton?” aku penasaran.

“Iya.” Tegasnya lagi.

“Kenapa?” aku masih penasaran.

“Ya, aku pengen aja nyariin buat kamu.” Jawaban Salman seperti tidak menjawab pertanyaanku.

“Kok so sweet sih?” godaku.

“Ah, kamu ngejek, ikut-ikutan Ibu.” Ia menggoda balik.

Aku tertawa.

“Tapi, makasih ya.” Kataku.

“Buat apa?” tanyanya.

“Buat nyariin film itu untukku.” Terangku.

“Kan belum dicariinnya.” Godanya lagi.

“Ya, minimal kan kamu udah niat.” Timpalku.

“Niat doang cukup ya berarti.” Ia masih menggoda.

Aku tertawa lagi.

Setelah kami mengakhiri percakapan hari itu, aku mencari cuplikan film yang dikatakan Salman. Akhirnya ada cuplikan berjudul October Sky yang kutemukan di YouTube.

Dari cuplikannya saja aku sudah merasa sangat tertarik akan film ini. Ia menampilkan kegigihan anak-anak remaja dalam mengejar mimpi mereka.

Mereka adalah anak-anak dari Coalwood, yang secara tidak langsung masa depannya adalah menjadi pekerja tambang. Coalwood yang memprioritaskan pekerjaan dari kecepatan penghasilannya.

Tapi anak-anak remaja ini memiliki mimpi untuk membuat roket. Mereka ingin membuat perjalanan antariksa dilakukan oleh manusia. Hal yang ditertawakan dan dianggap tidak mungkin, namun mereka ingin menerobosnya. Seperti yang dikatakan oleh Salman, bahwa mimpi membuat mereka tetap hidup. Mimpilah yang membuat asa mereka tetap ada walaupun dunia sekitar mereka menghalanginya.

Ini adalah film yang sangat-sangat bagus. Aku ingin segera menontonnya. Karena itu aku ingin masa mencekam ini segera berakhir.

Semoga Salman juga bisa menemukan filmnya. Karena aku ingin menonton October Sky, bersamanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status