Share

3

Usai mendapatkan nomor kontakku, Salman jadi sering menghubungi diriku. Komunikasi kami menjadi cukup intensif. Ia, seperti dugaanku, adalah orang yang menyenangkan untuk diajak bicara. Berbicara dengannya bisa menghasilkan bahasan dengan berbagai topik. Ia bisa bicara hal serius seperti politik sampai hal paling receh sekalipun seperti sinetron apa yang sedang tayang saat ini.

Salman juga banyak mengirimiku video melalui W******p. Video yang dikirimkannya terkadang berupa adegan-adegan penting dalam sebuah film.

Ia juga terkadang mengirimkan tautan-tautan hiburan. Yang dikiriminya memang tidak melulu soal hiburan, tapi juga informasi-informasi dan berita-berita.

Itu semua cukup menghibur bagiku. Setidaknya, ia tidak membuatku semakin paranoid dengan mengirim berita-berita menakutkan yang bernuansa negatif. Kami tidak pernah membahas tentang pertambahan korban dan penyebaran virus Corona. Meskipun tidak pernah kami bahas lagi, tapi kami tahu sama tahu bahwa tidak ada satu pun dari kami yang menyukai berita semacam itu.

“Aku belum berhasil lulus TOEFL.” Ia mengirimiku pesan.

“Oh ya?” timpalku.

“Begitulah. Kamu sudah pernah ambil tesnya?” tanyanya.

“Sudah, sebelum aku wisuda.” Jawabku.

“Oh, lulus?” tanyanya lagi.

“Lulus dong!” aku menambahkan emoticon senyum di pesanku.

“Hebat! Kasih tahu triknya dong.” Pinta Salman.

“Kamu juga pasti bisa. Memangnya sudah berapa kali ambil?” tanyaku memberi semangat.

“Baru satu kali.” Jawabnya.

“Ah, sekali lagi pasti bisa.” Aku masih memberi semangat.

“Belum sempat, terlanjur jadi ODP.” Kata Salman datar.

“Sayang ya.” Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan.

“Ya, begitulah. Kamu berapa kali ambil TOEFL?” tanyanya lagi.

“Sekali saja.” Jawabku.

“Satu kali? Dan langsung lulus? Hebat!” puji Salman.

“Lagi mood aja kali.” Aku menambah emoticon tertawa.

“Tetap saja, hebat.” Ia masih memuji.

“Kamu juga pasti bisa.” Aku mencoba memberinya semangat lagi.

“Jadi, kemarin baru lulus sarjana?” ia bertanya lagi.

“Begitulah. Kamu sudah lulus ‘kan?” aku bertanya balik.

“Iya, nggak jauh beda sama kamu.” Jawabnya.

“Dulu ngambil jurusan apa?” tanyaku.

“Komunikasi. Kamu?” ia balik bertanya.

“Teknik Informatika.” Jawabku.

“Wah, hebat! Nanti kerja di IT dong?” pujinya.

“Ya, terlanjur jadi ODP.” Kataku sambil menyertakan emoticon tertawa lagi.

Aku membatin sambil mengirim pesan tersebut dan teringat kembali hari wisudaku. Hanya beberapa waktu setelah aku merayakan kelulusanku, lalu aku menjadi ODP. Seolah-olah seperti, “Selamat, kau sudah lulus. Sekarang kau jadi tahanan rumah.”

Ah...

“Hei, kenapa?” Salman bertanya, mungkin karena ia melihatku tidak membalas setelah beberapa waktu.

“Nggak apa-apa.” Jawabku datar.

“Aku mengerti apa yang kamu pikirkan.” Katanya.

“Benarkah?” tanyaku mencoba memahami perkataannya.

“Iya, pasti kamu berpikir bahwa seharusnya hal seperti ini nggak terjadi di masa bahagiamu ‘kan?” jawabnya sambil bertanya.

Ia seperti bisa membaca pikiranku.

“Ya, begitulah kira-kira.” Jawabku.

“Semua akan berlalu, tenanglah.” Hiburnya.

“Ya, aku harap juga begitu.” Kataku, lebih kepada diri sendiri.

“Ayo kita saling mendukung.” Ajak Salman.

“Mendukung untuk apa?” tanyaku.

“Ya untuk kita, semoga kita bisa melalui ini semua dengan selamat.” Jawabnya.

“Baiklah.” Aku tersenyum.

Salman membalas senyumku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status