Share

Perempuan Dalam Cafe

Aku dan Rena memasuki salah satu mall besar di Surabaya. Kami turun dari mobil setelah berhasil parkir dibasement.

Aku berjalan disamping Rena.

Kami masuk kedalam mall dan menyisiri lorong demi lorong rak makanan ringan, keperluan dapur, alat mandi dan lainnya.

Setelah beberapa barang yang dibutuhkan sudah masuk semua kedalam keranjang, kami berjalan menuju kasir untuk membayarnya.

Seorang kasir dengan seragam warna biru menscan satu persatu belanjaan Rena. Dia menyebutkan angka yang harus Rena bayar.

Rena mengeluarkan ATM card dalam dompetnya. Mengetikkan pin dan mendapatkan struk dari kasir tersebut.

“Okey, belanjaanku dah selesai. Sekarang, waktunya makan.” Rena menarik tanganku, tapi aku menahannya.

​“Makan dirumah aja, yuk. Aku yang masakin.” Pintaku pada Rena. Aku tidak mau merepotkannya.

​“No! Kamu udah capek-capek nemenin aku. Masa aku tega sih, bikin kamu capek lagi?”

​“Aku suka masak, Ren. Cuma masak doang gak akan bikin aku capek.”

​“Enggak! Kita cari café dan makan sekarang!” Dia menarik tanganku lagi. Meyeretku kesalah satu café di mall tempat kami berbelanja.

Kami duduk disalah satu meja kosong. Rena memesankan makanan dan minuman untuk kami.

Setiap makan di café, Rena yang selalu pesan makanan dan minumanku. Karena aku selalu bilang 'terserah'.

Aku orang kampung yang tidak faham menu makanan di café. Aku malu kalau harus memesan makanan yang aku tidak tahu.

Tapi Rena tahu persis seleraku. ​“Gimana kerjaan kamu?” Tanya Rena.

​“Sejauh ini baik-baik aja.” Jawabku. Rena tersenyum melihatku. Senyum yang selalu terlihat tulus dimataku.

​“Syukurlah. Kak Di gimana? Oke, kan?” Aku mengerutkan dahiku bingung dengan pertanyaan Rena.

​“Oke, kan?” Aku mengangkat kedua bahuku.

​“Iya, maksudku, dia memperlakukan kamu dengan baik, kan? Gak suka marah-marah, kan?”

​“Owh.. Sejauh ini sih, dia belum pernah marah-marah. Cuma biasa lah, sesekali kami berdebat hal-hal receh.”

​“Syukurlah. Lega aku dengernya.” Aku tersenyum.

“Eh, Sof. Liat tuh! Panjang umur dia.” Rena mengejutkanku.

Rena menunjuk kearah seorang laki-laki dengan jas cokelat tengah mengobrol bersama seorang perempuan cantik dimeja lain, disudut cafe ini.

Aku menoleh kearah yang Rena tunjukkan. Laki-laki itu adalah Daniel. Daniel sedang Bersama seorang perempuan yang entah itu siapa?

​“Bos, Ren?” Tanyaku pada Rena. Aku ingin memastikan kami tidak salah lihat.

​“Iya, Sofi. Sama cewek. Siapa, yah?”Aku menggeleng dan mengangkat kedua bahuku tidak tahu.

“Ah, mungkin cuma clientnya.” Rena mejawab pertanyaannya sendiri. Tapi jawaban Rena membuat sedikit lega.

“Tapi masa ketemu client cuma berdua, yah? Jangan-jangan, bener ceweknya.” Rena Kembali memberi jawaban pada pertanyaannya sendiri.

Kali ini, jawabannya membuat dadaku sesak. Aku melihat kearah Daniel. “Dahlah biarin aja, Ren. Toh, bukan urusan kita.”

Aku mencoba mengalihkan pandanganku. Aku cemburu. Rasanya aku ingin pulang saja. Tapi aku tidak mungkin meninggalakan Rena.

​“Permisi.” Seorang pelayan café memakai seragam berwarna hitam datang mengantarkan makanan dan minuman yang kami pesan.

Aku langsung menyeruput minumanku tanpa menunggu aba-aba dari Rena. Aku berusaha terlihat santai meski sedang tidak baik-baik saja.

​“Kak Di ngeliat kita, Sof. Kita nunduk!” Tangan Rena menggoyangkan lenganku.

Aku lanjut melahap makananku dan pura-pura tidak melihat keberadaan Daniel. Renapun melihat kearah yang berbeda.

​“Heii, Rena, Sofi.” Sapa Daniel. Dia sudah ada didekat kami. Aku dan Rena menoleh ke arahnya.

​“Heii, kak Di..” Sahut Rena. Aku hanya tersenyum dan mengangguk padanya.

​“Kalian disini juga?” Tanya Daniel. Aku fokus menyuapi mulutku dengan makanan. Aku tidak perduli keberadaan Daniel dan perempuan itu.

​“Iya, kak. Kakak ngapain disini?” Rena balik bertanya sambil mengunyah makanannya.

​“Makan.” Balas Daniel singkat.

Aku melirik Daniel. Mataku panas melihat perempuan itu menggandeng lengan Daniel. Ingin rasaya aku pergi dan menjauhi mereka.

​“Oh.. sama siapa, tuh?” Tanya Rena. Aku melirik Rena. Dia mengedipkan matanya.

​“Oh iya. Kenalin ini Rena seppupuku, dan ini Sofi, maid dirumahku.” Jelas Daniel.

Seketika dadaku sesak. Rasanya aku sulit bernafas. Aku tersedak meski tidak sedang menyeruput minuman didepanku.

"Daniel benar, aku hanya maid. Tuhan, berapa kali aku lena dengan sikapnya, sampai harus berkali-kali juga aku perlu diingatkan." Hatiku berbisik.

Aku tertampar dengan pernyataan Daniel. Rena saja tidak pernah menceritakan kepada siapapun tentang profesiku.

Baru kali ini aku dikenalkan sebagai seorang maid. Dan itu oleh seorang laki-laki yang diam-diam aku sukai. Rasanya benar-benar sakit.

​“Maid sementara. Karena secepatnya dia akan berganti profesi. Dan profesinya akan lebih tinggi dari Bosnya.” Rena menarik tanganku.

Aku tahu, Daniel tidak berniat untuk merendahkan aku. Dia hanya berusaha jujur.

​“Kita belum selesai makan, Ren.” Dia tidak menggubrisku. Dia tetap menarik tanganku dan membawaku ke basement.

"Naik mobil!" . Desak Rena.

Dia menyalakan mesin dan melajukan mobilnya dengan cepat.

​“Ren.” Aku menatapnya. Rena nampak kesal, bahkan lebih kesal dariku.

​“Kenapa sih, dia gak punya sedikit aja rasa empati sama orang lain?” Ucap Rena dengan nada penuh amarah.

​“Dia gak salah, Ren. Memang begitu kenyataannya.” Kataku perlahan. Aku mencoba menenangkan Rena.

​“Tapi gak semua kenyataan itu harus kita ungkapkan kemuka umum, Sof. Setiap manusia punya privasi.

Udahlah kamu berhenti aja kerja disana! Kamu tinggal sama aku aja. Aku bakal bayar kamu sama dengan bayarannya. Okey?” Rena membujukku.

​“Ren, calm down please.. Aku gak mungkin berhenti kerja cuma karena Bos ngenalin aku sebagai maidnya. Aku emang maidnya, Ren.”

​“Sofi!” Rena mengerem mobilnya secara mendadak sambil meneriakiku. Aku sontak kaget dan menatapnya dalam.

“Stop ngebelain dia!” Rena menjerit. Mataku terbelalak melihat Rena. Aku tidak pernah melihat Rena semarah ini. Baru kali ini Rena membentakku.

​“Okey, sorry sorry. Kamu tenangin diri dulu. Kita gak usah bahas ini dulu. Kamu tenang, bawa mobil pelan-pelan. Okey.” Aku membujuk Rena.

Rena Kembali melajukan mobilnya dengan kencang. Aku memilih diam, berusaha tidak banyak membantah.

Aku kecewa dengan sikap Daniel. Bukan karena Daniel mengenalkan aku sebagai maidnya. Aku kecewa karena terlalu berharap padanya.

Dan memngenalkan aku sebagai maidnya, adalah sebuah ketegasan bahwa dia memang tidak punyai perasaan yang sama denganku.

Selama ini, aku terlalu Ge-er dengan sikap Daniel.

Rena memang perempuan baik. Dia seperti malaikat dalam hidupku. Dia sanggup ribut dengan sepupunya untuk menjaga privasiku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status