Share

Waktu yang Menyebalkan

Pagi hari yang sejuk, aku membuka jendela disudut-sudut ruangan. Matahari mengintip kedalam rumah melalui sela-sela jendela.

Aku bergegas mengambil sapu dan mulai menggoyangkannya ditanganku. Aku merapikan beberapa kertas kerja Daniel yang berserakan.

Butuh waktu sebentar untuk membersihkan dan merapikan rumah ini. Karena rumah Daniel tidak terlalu besar.

Daniel dan Rena memang sepupu dengan karakter yang sama. Mereka sama-sama orang kaya yang baik juga sederhana.

Mungkin juga karena Daniel belum berkeluarga, jadi dia tidak terlalu membutuhkan rumah yang besar nan mewah.

"Tapi, kalau aku jadi istrinya, aku nggak masalah harus tinggal dirumah sederhana ini. Ah, aku mulai bermimpi disiang bolong." Gumamku.

​“Sofi, Kamu gak kuliah hari ini?” Daniel membuatku terkejut. Dia baru saja pulang dari jogging. Badannya masih kuyup dengan peluh.

​“Gak ada, bos.” Sahutku.

Daniel sedang menyeka lehernya yang berpeluh dengan handuk kecil ditangannya.

​“Kalo gitu, boleh bikinin saya sarapan?” Daniel berjalan menghampiriku. Dadaku berdebar. Aku berusaha tenang menutupi rasa gerogi.

​“Boleh, bos. Mau saya buatin sarapan apa?”

Aku mulai mengangkat wajahku perlahan.

​“Apa aja. Yang penting enak.” Ujar Daniel. Aku mulai berfikir masakan yang akan aku tawarkan padanya.

​“Hemm.. Menemen?”

​“Menemen? Kamu bisa masak menemen juga?” Aku mengangguk dan tersenyum pada Daniel.

“Boleh, deh. Aku mandi dulu. Nanti kalau aku udah turun, makanan harus udah siap! Okey..”

​“Siap, bos.” Aku mengangkat tangan kananku kedahi.

​“Good.”

Daniel melangkah menjauhiku dan masuk kedalam kamarnya. Aku masih melihatnya sampai dia benar-benar hilang dari pandanganku.

​Aku mulai memasak menemen untuk Daniel. menemen adalah menu sarapan ala Turki. Cara memasak menemen juga tidak terlalu sulit.

Kita hanya butuh telur yang dimasak orak-arik dengan tambahan irisan tomat, paprika, bawang Bombay dan sejumput lada atau cabai.

Sebenarnya aku tidak pandai memasak masakan khas Turki, aku hanya orang kampung yang terbiasa memasak masakan kampung.

Sejak menjadi maid, aku berusaha belajar memasak masakan tersebut. Karena aku harus menyesuaikan selera makan majikanku.

Aku bersyukur, meskipun hanya satu atau dua kali aku belajar memasak beberapa masakan Turki, Daniel selalu puas dengan masakanku.

Entah karena masakanku benar-benar enak, atau dia terpaksa bilang enak untuk menghargai masakanku.

​“Udah selesai?” Tanya Daniel. aku menoleh kearahnya. Dia meletakkan laptop diatas meja ruang tamu dan berjalan menghampiriku didapur.

​“Udah. Tinggal dituang aja kepiring.” Jawabku. Daniel langsung duduk didepan meja mini bar. Aku menuangkan menemen diatas piring.

​“Hemm.. wanginya enak sekali.” Puji Daniel.

Hidungnya terlihat mengendus. Aku tersenyum dan menyodorkan piring berisi menemen padanya.

Kemudian menuangkan air untuk Daniel.

"Andai saja apa yang kulakukan adalah sebuah baktiku kepada seorang suami. Ah, aku terlalu banyak bermimpi." Bisikku dalam hati.

​“Saya kekamar dulu, Bos.” Aku memutar badanku dan berjalan ingin menjauhinya.

​“Loh, kamu gak ikut makan?” Tanya Daniel.

Aku spontan memutar badanku.

​“Saya belum lapar, Bos.” Jawabku dengan senyuman. Daniel menyipitkan matanya.

​“Sofi, makan sekarang! Kamu seneng banget saya paksa-paksa, yah." Daniel menyentuh kedua bahuku dan mendorongnya perlahan kekursi.

"kamu nggak boleh telat makan. Nanti kamu sakit. Kalau kamu sakit, siapa yang repot? Saya juga, kan?” ucap Daniel. Aku mengangguk.

Lagi-lagi aku tersinggung dengan perkataan Daniel. Aku mengambil piring dan menuangkan menemen diatasnya.

Daniel benar, aku tidak boleh sakit. Aku tidak boleh merepotkan dia lagi. Aku mulai menyendoki menemen dan memasukkannya kedalam mulut.

Aku melihat Daniel sudah selesai menghabiskan makanannya, dia meraih ponsel didepannya.

Mataku melirik ponselnya. Aku penasaran. Benar saja, Daniel sedang membalas chat dari Farah. Siapa Farah? Perempuan kemarin, kah?

Perempuan yang sampai Daniel tidak bisa berbohong tentang siapa aku.

Perempuan yang membuat aku cemburu sampai tidak bisa tidur semalaman karena harus memikirkan apa hubungan mereka.

Aku menunduk dan melanjutkan suapanku. Aku tidak ingin lebih banyak tahu tentang apa yang mereka bahas. Aku tidak mau lebih sakit dari ini.

Aku harus belajar menerima kenyataan dan sadar. Majikan tidak mungkin punyai perasaan pada maidnya.

Kenapa perasaan tidak wajar ini tetap tumbuh dan berkembang. Apa aku harus berhenti bekerja dari sini dan mencari pekerjaan lain?

Tapi kalau aku mencari pekerjaan lain, apa aku bisa mendapatkan bos yang sama baiknya, sama perdulinya, dan memberi aku kebebasan untuk melanjutkan kuliahku?

​“Sofi, kamu cepetan makannya. Habis makan kamu mandi, terus ikut saya.” Ujar Daniel. Aku menyipitkan mataku heran.

​“Kemana, Bos?” Tanyaku penasaran. Mata Daniel masih fokus pada ponselnya.

​“Ketemu Farah.” jawab Daniel santai. Aku menghela nafas Panjang. Aku terkejut mendengar jawaban Daniel.

​“Farah? Siapa Farah?” Tanyaku pada Daniel. Siapa Farah? Kenapa aku harus bertemu dengan perempuan itu?

​“Farah. Perempuan yang bersamaku kemarin di café. Ada yang harus kita jelasin sama dia.” Jawab Daniel.

Aku masih diam dengan banyak pertanyaan. Apa yang harus dijelaskan pada perempuan itu? Dan kenapa harus bersamaku?

Apa Farah memang pacar Daniel?

​“Kita? Menjelaskan apa?” Aku penasaran.

​“Gak usah banyak nanya!”

Jawaban Daniel tidak memberikan kepuasan untukku. Aku masih tidak mengerti maksud Daniel mengajakku bertemu perempuan itu.

Aku meneguk air setelah selesai menghabiskan makananku.

​“Maaf, saya nggak bisa!” Aku bangun dari tempat dudukku dan segera mencuci piring bekas makanku dan Daniel.

kali ini aku tidak dapat menjalankan perintah Daniel. Ini bukan urusanku.

Jawaban daniel tidak cukup memberikan aku alasan yang kuat untuk mematuhinya.

​“Kamu kapan sih, bisa nggak ngebantah saya?! Saya ini Bos kamu!” Daniel mulai marah. Aku menaruh piring dan berbalik menoleh kearahnya.

​“Ya, saya tahu. Tapi itu bukan urusan saya!” Jawabku dengan tegas. Daniel mendekatiku dan menatap mataku tajam seperti ingin menikamku.

​“Heii.. Saya yang bayar kamu, Nona Sofi.” Telunjuk Daniel menunjuk dadaku dengan angkuh.

Entah seberapa besar dan pentingnya pertemuan dengan Farah sampai Daniel segarang ini.

​“Saya tahu. Makasih, Bos. Tapi, Bos bayar saya untuk jadi juru masak disini. Untuk menjaga rumah Bos biar bisa selalu bersih dan rapi.

Saya tidak dibayar untuk menemani bos ngedate. Apalagi menjelaskan apapun sama pacar Bos yang salah faham sama saya."

Aku berbalik dan melangkah menjauhinya.

​“Sofi, listen to me, please! Saya belum selesai bicara.” Aku tidak menggubrisnya.

Aku berjalan masuk kamar dan menutup pintu. Aku benar-benar kesal pada Daniel. Aku berbaring dikasur. Aku menatap langit-langit kamar.

Memangnya apa urusanku dengan Perempuan itu? Kalau dia cemburu dan salah faham padaku, biarlah cukup Daniel yang menjelaskan.

Aku tidak perlu ikut campur dengan urusan mereka. “Tuhan.. kenapa sakit banget rasanya.” Lirihku. Air mataku mulai terjun membasahi pipi.

Kenapa aku harus terjebak dalam situasi seperti ini? Kenapa aku harus bekerja disini?

Bekerja dengan laki-laki yang amat perduli padaku, sampai aku lupa siapa aku dan siapa dia. Sampai aku menyukainya.

Aku lupa, serendah apa aku dan setinggi apa dia. "Tuhan, tolong hilangkan perasaan ini untuknya. Ini sakit, tuhan." Dadaku rasanya sesak.

Aku membiarkan air mataku terus mengalir, mungkin menangis adalah obat penawar luka hatiku saat ini.

Bantalku kuyup, mataku mulai letih, hingga akhirnya aku mulai memejamkan mata.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status