“Ambillah!Atau mau saya pecat,” ucap Aksara yang memegang tangan kanan Celine. Diletakkannya ponsel tersebut ke tangan gadis itu.
“Tapi, Tuan ....” Tangan Celine yang gemetar membuat Aksara terkekeh. Baru kali ini, ia mendapati gadis lugu seperti Celine. Gadis yang diam-diam mencuri hatinya.“Maaf saya hanya bercanda.”Celine menghela nafas panjang sambil memegang dadanya yang bergemuruh, “Syukurlah, Tuan. Saya kira, saya beneran dipecat.”Aksara tersenyum kecil. Ia seperti kembali menemukan kehidupannya yang berwarna. Hari-hari yang dilalui dengan suram itu mendadak seperti mendapatkan secercah sinar. Senyum semu yang biasa ia tampakkan kini menjelma menjadi senyum nyata kebahagiaan.“Tidak, tidak, saya hanya simpati saja dengan gadis itu, ini bukan perasaan seorang lelaki dewasa kepada wanita,” batin Aksara yang terus menutupi perasaannya. Ia masih belum bisa menerima kalau hatinya tertambat dengan wanita yang lebih macam dipanggil gadis bau kencur.“Tuan, maaf, kenapa tidak segera jalan?” tanya Celine yang menyadarkan lamunan Aksara. “Iya, ini juga mau jalan.”Roda kendaraan mulai berputar perlahan. Celine kembali bermain dengan Denim. Diberikannya snack anak kepada bocah kecil tersebut, di mana Denim terus menggigit dan mengunyahnya. Aksara menoleh, ia tersenyum melihat kedua orang di sebelahnya tertawa bahagia. “Maaf, Tuan, apa ada yang mau dibeli lagi?” tanya Celine ketika kendaraannya kembali menepi. Sebuah bangunan mewah yang tampak tertutup. “Iya.”Celine terdiam. Ia tak berani lagi menanyakan apa pun, meskipun pikirannya kembali berkelana dengan rentetan pertanyaan. “Sudah malam kenapa gak langsung pulang? Tuan Aksara mau beli apalagi si, bukannya sudah belanja banyak hingga jutaan? Apa semua orang kaya itu memang boros, suka membelanjakan sesuatu sesuka hatinya?” batin Celine.“Ayo turun! Kenapa malah bengong.” Celine terkejut ketika pintu di sebelahnya sudah terbuka. Lelaki gagah dengan cambang halus itu menatap ke arahnya dengan tajam. “Maaf, Tuan.”“Berikan Denim kepada saya! Kamu pasti capek bukan?”“Tapi, Tuan.”“Ini perintah, Celine!”“Baik, Tuan.” Celine memberikan Denim kepada papanya. Lalu, ia mulai beranjak turun dari kendaraan Aksara. Celine tak pernah bermimpi bisa duduk di kendaraan roda empat seperti itu. Aplaagi mobil mewah dengan interior yang wah. Sayang, ia tak terlalu betah dengan suhu AC yang dirasanya begitu dingin. Aksara yang menggendong Denim masuk terlebih dulu, lalu diikuti Celine yang berada di belakangnya. Lagi-lagi gadis itu dibuat kagum dengan tempat baru yang disinggahi. Netranya ingin berkelana menjelajahi setiap inci tempat ini. Tapi, mengingat statusnya yang seorang bawahan, ia takut kalau Aksara marah karena Celine berbuat memalukan. “Duduklah!”“Apa, Tuan? Duduk?” tanya Celine kaget ketika lelaki dewasa di depannya mulai mendudukkan Denim di kursi makan anak.“Iya, kamu mau makan sambil berdiri?”Celine meneguk salivanya yang mendadak mengering. Padahal baru saja beberapa menit lalu, ia minum air mineral ketika berada di mobil. “Kita satu meja, Tuan?”“Iya. Mau makan di mana lagi kamu?” tanya Aksara dengan nada meninggi. Celine cukup menguras stok sabarnya. Tapi di sisi lain, ia juga terhibur dengan sifat polos dan penakut gadis itu.Celine menurut. Ia duduk dengan terus menundukkan pandangan. Gadis itu begitu takut berhadapan dengan lelaki yang dipanggilnya Tuan. Baginya, duduk bersama dalam satu meja adalah tindakan yang tak sopan. Gadis itu menyadari kasta mereka yang jauh berbeda. Ia tak pantas untuk duduk bersama.Celine memilin bajunya ketakutan, di mana waktu seperti berhenti dan enggan untuk beranjak.“Kenapa? Apa kamu tak nyaman bersama saya?” tanya Aksara ketika menyadari gelagat babysitter kesayangannya.“Tidak, Tuan. Saya hanya merasa tidak pantas duduk di sini.”“Kenapa?”Celine menatap ke arah pengunjung lain, lalu kembali menundukkan pandangannya, “Semua pengunjung di sini orang kaya semua.”“Bagaimana kamu tahu kalau mereka orang kaya?”“Pakaian mereka bagus-bagus, Tuan.”Lelaki bercambang tipis itu tersenyum, “Besok saya belikan baju. Jadi tak perlu minder lagi.”“Tidak usah, Tuan. Saya -.”“Apa? Mau nolak? Mau saya pecat?”“Jangan, Tuan. Saya mohon jangan pecat saya.”Mendapati jawaban tersebut, Aksara justru terkekeh. Raut wajah Celine yang ketakutan seperti sebuah hiburan tersendiri untuknya. “Makanya jangan sering nolak kalau diberi sesuatu.”“Saya sungkan, Tuan.”“Kenapa harus sungkan?”Belum juga gadis itu menjawab, seorang pramusaji datang membawa makanan yang dipesan oleh Aksara. Tumis tauge, daging asap, gurami saus mangga, dan sup ayam. Celine dibuat Teheran dengan banyaknya makananan yang mengisi mejanya.“Maaf, Tuan, makanan sebanyak ini untuk siapa?”“Ya untuk kita. Siapa lagi?”Celine terdiam. Ia tak brani menyaut, meskipun sejujurnya ia ingin protes dengan majikannya.“Kenapa harus mengahmburkan uang dengan memubadzirkan makanan? Sedangkan di luaran sana banyak orang yang tak bisa makan.”“Kenapa kamu menangis?” tanya Aksara kebingungan. Secepat kilas Celine menghapus sudut matanya. Ia tak sadar menjatuhkan air mata itu di depan majikannya. “Maaf, Tuan, Saya hanya ingat adik-adik saya. Mereka belum pernah makan ikan sebesar ini. Biasanya hanya makan ikan betok kalau ada tetangga yang pulang memancing.”“Makanlah! Kalau kita pulang kampung, kita bawakan makanan yang enak untuk adik-adikmu.”“Kita, Tuan?” tanya Celine menunjuk tubuhnya dan tubuh Aksara bergantian. Lelaki itu tergagap. Dari dasar hatinya, ia memang ingin menemani Celine pulang kampung nantinya. Ia ingin mempersunting gadis yang belum lama dikenalnya itu. "Tidak, tidak, tidak, bukankah hatiku hanya satu? Dan semua telah diisi oleh istriku?” batin Aksara yang tak mau mengakui. Ia tak bisa terima jika hatinya kembali terisi oleh wanita lain.“Saya hanya salah bicara. Maksud saya kalau kamu pulang,” ucap Aksara yang mulai tak jujur dengan hatinya. Hati dan pikiran tak sinkron. Ia tak mengakui rasa yang mulai tumbuh di hatinya.“Mungkin saya hanya merasa kalau Celine seperti istri saya. Dia yang baik, santun dan terlihat sangat sayang anak kecil. Tidak, tidak, tidak, tak mungkin Celine dan Istri saya sama. Mereka dua orang yang berbeda dan saya sangat mencintai istri saya,” batin Aksara yang mulai kacau.“Dek Denim, kita makan sama-sama yuk!”“Maemm, maem,” ucap lelaki kecil yang tengah memegang sendok di tangannya. “Berdoa dulu ya, Dek! Gimana, Dek, caranya? Angkat tangannya, lalu baca doa,” ucap Celine sambil melakukan hal yang sama. Gadis kecil itu mengadahkan tangan yang diikuti dengan tangan-tangan kecil Denim yang terangkat. Lalu perlahan, Celine baca doa perkata, yang diikuti oleh bibir Denim. Meskipun hanya huruf vocal belakangnya saja. Tapi setidaknya, lelaki kecil itu sudah antusias dan menurut. Aksara tersenyum
“Babysitter untukTuan Denim sudah ada, Pak. Besok pagi akan saya jemput.”“Apa, Tuan? Saya mau dipecat?” tanya Celine ketakutan. Ia tak menyangka, karena kantuknya itu membuat ia kehilangan pekerjaan.“Hust,” ucap Aksara dengan jari trlunjuk yang didekatkan di bibir. Ada Denim dalam gendongannya yang tengah tertidur.Celine menunduk. Ia merasa bersalah. Turut mengekori Tuannya yang kini masuk ke dalam kamar.Celine menata bantal dan guling Denim, lalu lelaki berumur matang itu menidurkan anaknya dikasur. Diangkatnya selimut bergambar superhero kesayangan anaknya, ditutupkan hingga ke dada.Aksara melirik kearah babysitter anaknya. Wajahnya tampak gusar, beberapa kali dia melihat Celine memilin ujung pakaiannya. Terlihat tampak ketakutan.Di sisi lain, Celine ingin kembali menanyakan pertanyaan yang belum dijawab. Tapi, ia masih takut dengan Tuannya. Rasanya tak sopan.“Apa Tuan Aksara menraktir saya makan untuk itu? Terus yang dibahas pun tentang pulang kampung. Apa beliau akan meruma
“Maaf ya, Tuan.” Gadis itu mendekat, lalu mulai memijat tengkuk leher Tuannya. Baru saja satu pijatan mengenai tubuhnya, Aksara langsung menghindar. Ia merasa aneh pada dirinya. Suatu sengatan yang tak diinginkan kembali hadir. Padahal, ia kerapkali melakukan pijat di tempat massage.“Maaf, Tuan, apa ada yang salah?” tanya Celine terkaget.“Ada. Kamu salah, diam-diam mencuri hati saya,” batin Aksara. “Saya takut kamu meminta imbalan,” ucap Aksara yang terkesan dingin dan berlalu begitu saja. Celine mematung. Ia masih bingung dengan tuannya yang selalu berubah sikap dengan cepat. Terkadang hangat dan terkadang galak seperti macan. Seperti ini tadi, bukankah tuannya yang meminta? Lalu imbalan, bukankah Celine tak pernah memintanya? Andai pun iya, sudah pasti Aksara sanggup membayarnya, karena hartanya yang berlimpah.Gadis itu menggeleng. Ia mengambil cangkir kotor bekas Tuannya. Membersihkan benda tersebut dan kemudian masuk ke dalam kamarnya. ***Celine menyiapkan sarapan lebih aw
Aksara menggeleng. Seumur hidupnya baru kali ini ia disuguhi ikan asin. “Masakan orang desa tuh enak, Pak.” Perkataan dari Baskoro tempo lalu membuatnya sedikit penasaran. Dilihatnya makanan di depannya sambil sedikit bergidik. Tangannya mulai memegang sendok, lalu menyuapkan lauk itu ke mulutnya. Seketika wajahnya menampakkan ekspresi yang aneh.Pintu terketuk, dan tak lama kemudian supir yang telah menemaninya beberapa tahun ini mulai masuk, “Maaf, Pak, anda kenapa?” tanya Baskoro kaget. Dilihatnya majikannya yang menampakkan ekspresi lain dari biasanya.“Tuh, katamu makanan ndeso itu enak. Tapi kenyataannya?” tanya Aksara sambil menunjuk makanan di depannya. Baskoro memang terlihat akrab dengan bosnya, karena ia lah satu-satunya orang yang paling lama dan paling paham tentang Aksara. Ia juga teman sekolah Aksara saat di SMA dulu. Sayangnya, nasibnya tak sebagus lelaki yang dipanggil pak.“Pak Aksara makan ikan asin?” tanya Baskoro terkejut. Ia menahan tawa dengan menutup mulutnya
“Itu tugas saya. Sedangkan kamu lakukan tugasmu!”“Tugasku adalah memastikan rumah bersih, mengurus Dek Denim dan juga Tuan. Saya belum selesai bertugas karena belum melihat Tuan makan malam ini.”Aksara terkesima. Dari ekspresi wajah dan cara bicara Celine, gadis itu terlihat sangat tulus. “Saya masak soto ayam tadi, tuan mau makan sekarag? Biar saya hangatkan dulu.”Aksara memang lapar, lagi-lagi tumpukan pekerjaan membuat jam makannya berantakan. Rencananya sampai rumah mau bikin mie instan sebelum tidur seperti biasa. Tapi, ia melupakan mengisi perut ketika mendapati Celine tidur di ruang tamu.“Baiklah. Temani saya makan.”“Baik, Tuan.”Gadis itu mengucek matanya yang bulat, meningkatkan cahaya penglihatannya yang hanya tinggal 5 watt. Disisirnya rambut panjang itu dengan jari-jarinya, lalu dikuncir atas layaknya pungguk onta. Ia berjalan menuju dapur dan memanaskan kuah sayur yang dimasaknya sore tadi. Ia juga membuat teh hangat untuk peneman makan malamnya. Di sisi lain, Aksa
Celine meringis. Dengan ragu ia mengambil ponselnya dan mendekatkan benda itu ke telinganya.“Tuan.”“Iya. Apa yang kamu bicarakan dengan anak saya?”“Gak ada, Tuan.”“Gak ada? Yang kamu bilang tadi? Yang galak seperti macan itu siapa?”“E ... Itu ....” Celine berpikir dengan keras. “Itu saya, Tuan.”“Kamu galak seperti macan?”“Iya, Tuan.”“Babysitter galak nggak boleh mengasuh anak saya. Takut anak saya jadi korban kekerasan.”“Bukan, bukan, Tuan. Bukan seperti itu.”“Lalu?”“Maaf, Tuan. Celine hanya bercanda. Saya gak bermaksud apa-apa.”“Jangan kotori pikiran anak saya dengan yang tidak-tidak.”“iya, Tuan. Saya minta maaf.”Denim mulai merebut ponsel yang Celine pegang. Hingga akhirnya gadis itu mengalah, memberikannya benda pintar itu dengan mengubahnya menjadi video call dan mengarahkan kamera depannya. Kini wajah Denim yang dipangkunya masuk ke dalam kamera.“Papa, papa,” ucap lelaki kecil itu.“Papa, waung,” ucap Denim menirukan babysitternya tadi.Celine meringis. Ia lupa ten
“Di ... situ, Tuan?” tanya Celine sambil menunjuk ranjang besar tuannya.“Iya, kamu dengarkan perintah saya?”“E ... tapi ... E ...,” tanya Celine kebingungan.Aksara mendekat ke arah Celine, menarik lengan gadis itu untuk duduk di bibir ranjang miliknya. Ia sedikit berjongkok, menyetarakan tubuh gadis di depannya.“Tuan, ada apa?” tanya Celine yang semakin gugup. Hari mulai malam, sedangkan rumah begitu sepi. Dia dan lawan jenis berada dalam satu kamar.“Tuan, Celine ....”“Diamlah! Biarkan saya berbicara.”Gadis itu terkejut mendengar nada sedikit meninggi. Ditutupnya kedua telinganya dengan mata yang terpejam.“Maaf, Celine. Maaf. Saya tidak bermaksud menakutimu.”Dada gadis berambut panjang itu bagai gemuruh. Jantungnya kembali berdetak dengan cepat, aliran darahnya berdesir lebih kencang membawa pikiran buruk menghantui isi kepalanya. Ia menundukkan pandangan, di mana rambut panjangnya menutupi sebagian wajahnya. Ia tak berani menatap manik mata Tuannya.Dengan mengumpulkan tekad
“Ya, kalau kamu punya sawah, saya tidak akan kenal kamu.”“Dek Denim malah diurus babysitter yang profesional tuan. Babysitternya juga gak akan ngerepotin mulu seperti saya.”“Tapi saya sukanya kamu. Bukan yang lain.”“Apa, Tuan?”“Tidak, tidak, tidak, jangan salah fikir dulu. Maksud saya, saya suka kinerja kamu,”Celine tersenyum, “Iya, Tuan. Saya juga tidak mengarah ke sana.”“Memangnya kalau mengarah ke sana kenapa?”“Tidak mungkin, Tuan. Saya ini seorang pengasuh, kasarannya tuh babu, mana mungkin berfikir akan dicintai majikannya. Itu tidak mungkin. Dalam angan pun tidak pernah.”“Tapi kalau kenyataannya iya bagaimana?” tanya Aksara lirih. Lelaki itu ingin mengungkapkan rasanya tapi masih maju mundur.“Apa, Tuan? Celine tidak cukup mendengar.”“Lupakan saja!”“Baik, Tuan.”Aksara terus melajukan kendaraannya, mulai memasuki jalan untuk masuk desanya Celine. Di sebuah perkampungan dengan gang-gang sempit itu, roda kendaraan terus melaju. Anak-anak mulai bersorak tatkala melihat mo