“Tidak, saya tidak mengijinkan itu,” ucap Aksara dengan raut muka yang memerah. Bagaimana pun Celine itu miliknya dan tak ingin ada orang lain yang mengambil.“Anda itu majikannya. Tidak lebih. Anda tidak punya hak atas diri Celine. Celine itu keponakan saya. Saya tahu yang terbaik untuk keponakan saya.”Bude Celine tampak emosi. Terlihat sekali sikap arogan dari wanita bertubuh gemuk itu.“Saya bisa melaporkan Anda atas pemaksaan pernikahan dini. Saya tidak main-main dengan ucapan saya,” ucap Aksara yang tersulut emosi.“Tuan, sudah, Tuan,” ucap Celine ketakutan yang memegang lengan majikannya.Aksara menoleh ke arah gadis itu, “Berapa warisan hutang orang tuamu?“Tiga puluh juta,” ucap bude Celine yang menyaut. “Berapa nomor rekening, Anda? Akan saya kirim sekarang!”Usai pengiriman uang tersebut, Bude Celine pamit pulang begitu saja.***“Tuan, maaf ya, saya selalu merepotkan, Tuan. Saya berjanji akan membayar hutang bapak saya,” ucap gadis itu dengan lirih. Sudut matanya mengembu
“Celine, minumnya sudah cukup,” ucap Aksara yang menyadarkan lamunan gadis itu.“Eh, iya, Tuan, maaf.”“Kamu nggak pengen ikut renang?”“Mbak Celine nggak bisa renang, Tuan,” ucap Bima yang menyaut. Kedua lelaki kecil itu berenang mendekat ke arah kakak perempuannya.“Mbak Celine, kami juga minta minumnya dong,” ucap adiknya itu.“Iya, sini, sekalian makan cemilannya,” ucap gadis berambut panjang sambil mengangkat tas kresek yang berisi makanan.“Segede ini nggak bisa renang?” tanya Aksara.“Dulunya bisa, Tuan. Tapi mbak Celine pernah tenggelam jadinya trauma.” Lagi-lagi adik Celine lah yang menyaut.“Kata orang tua jaman dulu, nyawa Mbak Celine tuh kayak kucing, sudah mati balik lagi,” imbuh Baim.“Hust, kalian!”Kedua adiknya tersenyum. Mereka turut duduk di pinggir kolam sambil memakan jajan yang mereka bawa. Cukup lama mereka di sana, hingga akhirnya mereka keluar dari kolam dan mengganti pakaian kering. Aksara juga mengajak babysitter dan adik-adiknya itu mampir di resto yang
Usai dari kamar Aksara, Celine menuju kamar anak asuhnya. Lelaki kecil itu membuka matanya sambil tersenyum sumringah menatap babysitternya.“Selamat pagi, Dek Denim? Semalam mimpi indah ya?” tanya Celine yang mendekat. Ia membuka gorden kamar, sehingga sinar mentari yang baru beranjak itu pun masuk ke ruangan. Lalu duduk di bibir ranjang bersprei superhero dan mencium dahi anak asuhnya.“Ganteng banget muka bantalnya. Masih wangi pula.”“Ate, main,” ucap Denim sambil menunjuk permainannya yang tersimpan rapi di rak.Celine menggeleng, "Enggak sekarang ya! Kita mandi dulu. Lalu mamam. Habis itu main. Ok.”Denim terdiam, mengikuti perintah babysitternya. Turut menurut dengan apa yang diperintah.“Angkat tangannya,” ucap Celine dengan nada tegas bak seorang komandan kepada bawahannya. Denim menurut dan gadis itu mulai mengenakan pakaiannya. Di detik berikutnya mereka saling tertawa.Hal yang biasa dilakukan ketika hendak mandi dan ganti baju, terasa membahagiakan untuk anak seumuran Den
“Me-ni-kah, Tuan?” tanya Celine tergagap. Ia tidak menyangka mendapatkan pernyataan seperti itu.“Iya, kenapa? Kamu tidak berkenan?”“Apa ini perintah?”“Maksudmu?”“Apa ini perintah untuk menebus semua hutang-hutangku kepada tuan, seperti yang dilakukan juragan tanah itu?” tanya Celine polos.“Tidak. Bukan seperti itu, Celine. Aku ingin menikahimu karena punya rasa sama kamu. A-aku mencintaimu," ucap Aksara dengan mengkukuhkan segala keberanian. Ia tak menyangka mengucapkan rasa itu begitu susah. Lidah terasa kaku, tidak bisa diajak berkompromi. Celine terkekeh, ditutupnya tawa kikuk itu dengan telapak tangan.“Apa ada yang lucu, Celine? Kamu mentertawakan saya?”“Bukan seperti itu, Tuan.”“Apa jawaban kamu atas semua perasaan saya? Kamu pasti beranggapan saya tua-tua tidak tahu diri.”“Saya juga tidak berfikiran seperti itu.”“Lalu? Apa jawaban untuk pertanyaan saya?”“Pertanyaan yang mana dulu, Tuan? Pertanyaan untuk menikah dengan tuan atau pernyataan cinta tuan.”“Memang jawaban
“Ini makanan apa, Tuan?” tanya Celine yang tampak memperhatikan makanan di atas meja.“Kamu nggak pernah makan?”Celine menggeleng, “Lihatnya saja baru sekarang.”“Ini namanya steak, Sayang.”“Sayang?’ tanya Celine kaget. Ia terkejut dengan nama sebutan baru dari Tuannya.“Iya, apa saya tidak boleh memanggil itu? Hari ini kita jadian. Kita resmi jadi kekasih.” Aksara merogoh saku celananya, kini ia menampakkan sebuah kotak bludru berwarna merah yang telah lama dibelinya. Cincin tersemat di dalamnya, sebagai pengikat cinta yang telah timbul di hati keduanya. Aksara dulunya berpikir, kalau cincin itu tak akan tersemat di jari mana pun. Namun kali ini, ia sudah menemukan wanita itu. Wanita yang berhasil meluluhkan hatinya yang beku. Wanita yang berhasil mengembalikan hatinya yang mati.“Itu apa, Tuan? Untuk siapa?”Aksara menarik tangan Celine, membuka benda tersebut dan menyematkan cincin emas putih itu ke jari manis gadis di depannya, “Cincin ini sebagai bukti kalau kamu adalah milik s
“Sepuluh atau sebelas anak rasanya cukup.”“Apa, Tuan?” tanya Celine dengan membelalakkan mata. Aksara terkekeh melihat reaksi wanitanya. “Saya hanya bercanda.”“Syukurlah! Jika itu perintah, mau tidak mau saya harus melakukannya.”“Tapi saya rasa memang seru. Apalagi kalau laki-laki semua, bisa jadi kesebelasan.”“Lebih seru lagi kalau ada perempuannya, Tuan. Saya bisa kuncir dan mainin rambut mereka.”Aksara tersenyum tipis menatap wajah Celine yang kemerah-merahan. Meskipun tanpa blush on, gadis itu terlihat merona sejak pertama kali berjumpa. Lebih tepatnya ketika Aksara menyatakan perasaannya.“Itu artinya kamu bersedia? Kenapa mesti nunggu sih, Celine? Bukannya kamu sudah punya kartu tanda penduduk? Kita bisa menikah secepatnya.” Lelaki itu terlihat kesal.“Iya, Tuan. Maaf.”“Boleh tahu alasannya kenapa?”“Saya masih takut untuk begituan, Tuan,” ucap gadis itu polos.“Begituan apa?”“Itu, hubungan itu.”Aksara terkekeh, “Kamu itu lucu. Andai kamu tahu rasanya pasti bakal nagih.
“Celine, dengar tidak? Saya kesusahan mengaitkan kancing lengan ini,” ucap Aksara.“Baik, Tuan.” Gadis itu mulai memegang lengan baju Tuannya, di mana tubuhnya mendadak gemetar. Apalagi ketika ia menyadari manik mata Aksara mengarah ke wajah lugunya. Celine salah tingkah. Hal yang terasa mudah justru malah begitu lama. Beberapa kali ia memasukkan kancing itu ke lubangnya, sekali, dua kali belum juga berhasil. Mbok Atun cukup tahu diri, ia sengaja kembali ke dapur dan mencari kesibukan di sana, membiarkan tuan dan sahabat seprofesi itu untuk berduaan.“Apa susah?”Celine tersenyum. Disuguhi senyum Aksara yang indah itu membuat fokusnya justru menghilang.“Sayang, kamu deg-degan?” tanya Aksara dengan tangan kanan yang memegang lengan gadisnya. Sudut bibirnya tertarik sambil memperhatikan wajah lucu kekasihnya, “Tangan kamu dingin sekali.”“Maaf, Tuan. Ini sudah bisa,” ucap Celine malu yang langsung menarik lengannya. Ia menundukkan pandangan, bingung harus berbuat apa. Sebelumnya, ia
Aksara kembali menarik sudut bibirnya. Lagi-lagi sikap konyol Celine mampu menghadirkan tawa di wajah kakunya.“Apa-apaan sih, Sayang? Kenapa ada Mpok Nori dan Susi Similikiti segala?” Lelaki itu memijat pelipisnya.Kesehariannya bekerja dengan jadwalnya yang penuh sedikit reflek dengan hiburan kecil kekasihnya.Aksara : Sayang, apa-apaan itu? Kenapa ada nama tetanggamu. Harusnya nama kita.Aksara mengirim pesan dengan bualan mautnya. Ia bak anak ABG yang tengah kasmaran dan baru merasakan indahnya cinta.Celine : Nama kita?Aksara : Ya, dalam buku undangan.Celine yang tengah bermain bersama Denim tersenyum membaca balasan Chat dari Tuannya.Aksara : Kenapa gak dibalas, SayangAksara : Bekal makanku juga nasi sisaCeline : Bukan sisa, Tuan. Kan sudah Celine bilang, itu nasinya baru. Ikannya juga sudah digoreng.Tak membalas, Aksara langsung melayangkan panggilan. Ia rindu wajah lugu Celine, juga suaranya yang ceria.“Tuan,” ucap Celine sambil menunduk, tak berani menatap wajah Aksara