“Maaf ya, Tuan.” Gadis itu mendekat, lalu mulai memijat tengkuk leher Tuannya. Baru saja satu pijatan mengenai tubuhnya, Aksara langsung menghindar. Ia merasa aneh pada dirinya. Suatu sengatan yang tak diinginkan kembali hadir. Padahal, ia kerapkali melakukan pijat di tempat massage.
“Maaf, Tuan, apa ada yang salah?” tanya Celine terkaget.“Ada. Kamu salah, diam-diam mencuri hati saya,” batin Aksara. “Saya takut kamu meminta imbalan,” ucap Aksara yang terkesan dingin dan berlalu begitu saja. Celine mematung. Ia masih bingung dengan tuannya yang selalu berubah sikap dengan cepat. Terkadang hangat dan terkadang galak seperti macan. Seperti ini tadi, bukankah tuannya yang meminta? Lalu imbalan, bukankah Celine tak pernah memintanya? Andai pun iya, sudah pasti Aksara sanggup membayarnya, karena hartanya yang berlimpah.Gadis itu menggeleng. Ia mengambil cangkir kotor bekas Tuannya. Membersihkan benda tersebut dan kemudian masuk ke dalam kamarnya. ***Celine menyiapkan sarapan lebih awal. Ia teringat dengan pesan Tuannya kalau hari ini akan masuk kerja lebih cepat. Dilihatnya jam yang menggantung di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Tapi, tuannya belum juga tiba. Gadis itu mengayunkan langkah menuju kamar. Ia mengetuk pintu berkali-kali. Namun, sama sekali tak ada jawaban dari sebrang sana. Ketika tangannya mulai memutar gagang pintu. Justru benda persegi panjang itu sedikit terdorong dan membuka. “Ya Tuhan, apa Tuan akan marah?” ucapnya lirih bermonolog. Dilihatnya ruang pribadi majikan itu. Tertata rapi dan terlihat sangat bersih. Celine memang turut membersihkan semua bagian ruangan di rumah ini, terkecuali kamar besar Aksara. Tempat itu terlalu privasi hingga tak ada yang berani masuk. “Tuan, ini Celine, Tuan. Tuan sudah bangun belum?” tanya gadis itu. Tak ada jawaban, melainkan dengkuran halus yang terdengar. Celine mulai memberanikan diri untuk melangkah. Ia mengayunkan kakinya untuk masuk. Dengan ragu, netranya menjelajah mencari sumber suara berirama itu. Majikannya tengah tertidur pulas dengan tangan direntangkan, mengisi semua ranjang besarnya. “Tuan, bangun, Tuan, ini sudah pagi,” ucap gadis kecil itu dengan ragu. Tak ada respon, melainkan suara dengkuran yang menjawab. Celine kembali melangkah, mendekatkan diri ke tubuh gagah tinggi majikannya. Dilihatnya wajah yang tengah tertidur pulas. Cambang halus, hidung mancung dan alis yang tebal. Gadis itu tersenyum kecil. “Ya Tuhan, apa yang saya lakukan?” ucap Celine lirih. Baru saja berlaku kurang sopan kepada orang yang seharusnya dihormati. “Tuan, ini sudah pagi. Maafkan saya bangunin, Tuan. Ini perintah Tuan semalam. Bangun, Tuan.”Lagi-lagi tak ada jawaban. Semalam Aksara memang lembur sampai larut. Aplaagi efek kopi itu begitu berpengaruh untuknya. Hingga dini hari, ia belum bisa terlelap. “Tuan.” Kali ini Celine mencoba menyentuh lengannya. “Bangun, Tuan.”Tanpa sadar Aksara menarik lengan yang memegangnya, di mana tubuh kecil itu justru terperangkap ke dalam dekapannya. Mimpinya terlalu jauh, di mana ia bersama istrinya dan sedang bermanjaan kepada kekasih pujaannya itu. Ya, dia begitu menyayangi wanita yang telah melahirkan Denim ke dunia. “Tuan, lepaskan! Celine tidak bisa nafas,” ucap gadis itu dengan nafasnya yang tersengal. Pelukan erat itu membuat saluran pernafasan sedikit terhambat, ditambah lagi berada dalam posisi itu membuat Jantung Celine tidak baik-baik saja. Aksara membuka pelupuk matanya. Ia terkejut dengan apa yang dilihatnya. Gadis yang selama ini mulai mengisi hatinya, berada tepat di atas tubuhnya. “Celine, apa yang kamu lakukan?” Aksara melerai pelukan ke tubuh gadis itu.Ya, meskipun ia sadar kalau dia yang memeluk. Tapi baginya, Celine lah yang bersalah. “Maaf, Tuan. Bukan niat saya kurang ajar. Saya hanya berniat membangunkan tuan.”“Kamu ... Masuk kamar saya?” tanya Aksara dengan nada meninggi.Tubuh Celine gemetar hebat. Ia sangat ketakutan mendapati majikannya yang marah besar. Kalimat pembelaannya pun terasa masih salah untuk lelaki arogan di depannya. “Maaf, Tuan. Saya ....”“Keluarlah!” Aksara menunjuk pintu kamarya.Kaki-kaki Celine terayun dengan berat. Tubuhnya masih gemetar tak karuan. Bahkan sampai melewati pintu kamar, gadis itu belum bisa menguasai dirinya. Aksara memijat pelipisnya. Ia memang salah telah membentak Celine. Ia hanya berusaha menutupi rasanya yang mebuncah begitu saja. Sengatan itu mengalir begitu hebat. Hatinya yang selama dua tahun ini telah mati, nyatanya kembali merasakan getaran yang dahsyat. Aksara belum mampu menerima jika isinya kembali terisi wanita lain. Ia tak mau mengakui. Apalagi, wanita itu adalah gadis belia di bawah umur. Aksara menatap jam di atas mejanya. Bergegas ia ke kamar mandi dan mengguyur tubuhnya dengan shower. Berharap semua rasa yang mendadak hadir itu turut luntur bersama air yang mengalir. ***Celine tertunduk ketika tuannya memasuki ruang makan. Sekilas ia menoleh dan kembali menundukkan pandangan. Celine begitu takut dengan Tuannya. Nada Aksara yang meninggi terus berputar di otaknya. “Denim, papa berangkat dulu ya!” ucap Aksara kepada bocah kecilnya. Ia mencium dahi anak kesayangannya. “Dek, salim ya!” perintah babysitter itu dengan ragu. Ia yang tengah menemani Denim makan hanya tertunduk. Tanpa menoleh ke arah tuannya. “Ini bekal, Tuan, untuk hari ini,” ucap gadis itu sambil mengambil kotak bekal yang sudah disiapkan. Wajahnya masih menunduk, sama sekali tak berani menatap majikannya. “Ya. Terima kasih.” Aksara menjawabnya dengan kaku. Aksara mulai mengayunkan langkah, hingga di detik berikutnya, langkah kakinya terhenti. Ia memanggil nama babysitternya.“Celine.”“Iya, Tuan.” Reflek mata Celine menoleh ke sumber suara. “Saya minta maaf dengan kejadian tadi pagi.”“Saya yang salah, Tuan.”“Mohon lupakan kejadian itu. Saya titip Denim.”“Baik, Tuan.”Sesampai di kantor, Aksara tak bisa terfokus. Jika hari kemarin ia memikirkan keadaan anaknya yang ditemani babysitter barunya. Kali ini, justru Babysitter barunya lah yang memasuki semua pikiran duda itu. Wajah Celine yang berada dalam pelukannya. Ekspresi ketakutan yang terus terlihat lucu di matanya. Bibir ranum dengan mata bulat. Pipinya memerah meskipun tanpa perona. Ya, gadis itu begitu cantik natural. “Apa-apaan saya, kenapa saya memikirkan gadis bau kencur itu?” ucap Aksara bermonolog. Ia mengambil figura di atas mejanya, berisikan foto almarhumah istrinya. Wajah cantik dengan rambut panjangnya. Berharap dengan melihat foto itu, bisa sedikit melupakan ingatannya tentng Celine.“Baik, Tuan. Iya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” Mendadak foto itu berubah menjadi Celine dengan suaranya yang khas. Aksara menggeleng. Ia seperti orang gila. Otaknya tak bisa berpikir dengan waras. Ia menyenderkan punggungnya di kursi, memutar benda yang diduduki hingga tubuhnya ikut berputar seirama. Tiba-tiba, sudut matanya tertuju dengan kotak makan yang disediakan oleh Celine. Ia meraih benda itu. Baru tersadar ada kertas kecil yang ditempelkan di atas bok makannya.“Saya tidak tahu makanan enak itu seperti apa, Tuan. Yang saya tahu, lauk ini sangat saya dan adik-adik saya gemari. Mereka bisa menghabiskan banyak nasi jika memakan lauk ini.”Aksara segera membuka bekalnya. Ia tidak sabar melihat menu di dalamya. Dan ...“Apa ...? Celine memberi saya lauk ikan asin?” Aksara melotot di depan makanannya.Aksara menggeleng. Seumur hidupnya baru kali ini ia disuguhi ikan asin. “Masakan orang desa tuh enak, Pak.” Perkataan dari Baskoro tempo lalu membuatnya sedikit penasaran. Dilihatnya makanan di depannya sambil sedikit bergidik. Tangannya mulai memegang sendok, lalu menyuapkan lauk itu ke mulutnya. Seketika wajahnya menampakkan ekspresi yang aneh.Pintu terketuk, dan tak lama kemudian supir yang telah menemaninya beberapa tahun ini mulai masuk, “Maaf, Pak, anda kenapa?” tanya Baskoro kaget. Dilihatnya majikannya yang menampakkan ekspresi lain dari biasanya.“Tuh, katamu makanan ndeso itu enak. Tapi kenyataannya?” tanya Aksara sambil menunjuk makanan di depannya. Baskoro memang terlihat akrab dengan bosnya, karena ia lah satu-satunya orang yang paling lama dan paling paham tentang Aksara. Ia juga teman sekolah Aksara saat di SMA dulu. Sayangnya, nasibnya tak sebagus lelaki yang dipanggil pak.“Pak Aksara makan ikan asin?” tanya Baskoro terkejut. Ia menahan tawa dengan menutup mulutnya
“Itu tugas saya. Sedangkan kamu lakukan tugasmu!”“Tugasku adalah memastikan rumah bersih, mengurus Dek Denim dan juga Tuan. Saya belum selesai bertugas karena belum melihat Tuan makan malam ini.”Aksara terkesima. Dari ekspresi wajah dan cara bicara Celine, gadis itu terlihat sangat tulus. “Saya masak soto ayam tadi, tuan mau makan sekarag? Biar saya hangatkan dulu.”Aksara memang lapar, lagi-lagi tumpukan pekerjaan membuat jam makannya berantakan. Rencananya sampai rumah mau bikin mie instan sebelum tidur seperti biasa. Tapi, ia melupakan mengisi perut ketika mendapati Celine tidur di ruang tamu.“Baiklah. Temani saya makan.”“Baik, Tuan.”Gadis itu mengucek matanya yang bulat, meningkatkan cahaya penglihatannya yang hanya tinggal 5 watt. Disisirnya rambut panjang itu dengan jari-jarinya, lalu dikuncir atas layaknya pungguk onta. Ia berjalan menuju dapur dan memanaskan kuah sayur yang dimasaknya sore tadi. Ia juga membuat teh hangat untuk peneman makan malamnya. Di sisi lain, Aksa
Celine meringis. Dengan ragu ia mengambil ponselnya dan mendekatkan benda itu ke telinganya.“Tuan.”“Iya. Apa yang kamu bicarakan dengan anak saya?”“Gak ada, Tuan.”“Gak ada? Yang kamu bilang tadi? Yang galak seperti macan itu siapa?”“E ... Itu ....” Celine berpikir dengan keras. “Itu saya, Tuan.”“Kamu galak seperti macan?”“Iya, Tuan.”“Babysitter galak nggak boleh mengasuh anak saya. Takut anak saya jadi korban kekerasan.”“Bukan, bukan, Tuan. Bukan seperti itu.”“Lalu?”“Maaf, Tuan. Celine hanya bercanda. Saya gak bermaksud apa-apa.”“Jangan kotori pikiran anak saya dengan yang tidak-tidak.”“iya, Tuan. Saya minta maaf.”Denim mulai merebut ponsel yang Celine pegang. Hingga akhirnya gadis itu mengalah, memberikannya benda pintar itu dengan mengubahnya menjadi video call dan mengarahkan kamera depannya. Kini wajah Denim yang dipangkunya masuk ke dalam kamera.“Papa, papa,” ucap lelaki kecil itu.“Papa, waung,” ucap Denim menirukan babysitternya tadi.Celine meringis. Ia lupa ten
“Di ... situ, Tuan?” tanya Celine sambil menunjuk ranjang besar tuannya.“Iya, kamu dengarkan perintah saya?”“E ... tapi ... E ...,” tanya Celine kebingungan.Aksara mendekat ke arah Celine, menarik lengan gadis itu untuk duduk di bibir ranjang miliknya. Ia sedikit berjongkok, menyetarakan tubuh gadis di depannya.“Tuan, ada apa?” tanya Celine yang semakin gugup. Hari mulai malam, sedangkan rumah begitu sepi. Dia dan lawan jenis berada dalam satu kamar.“Tuan, Celine ....”“Diamlah! Biarkan saya berbicara.”Gadis itu terkejut mendengar nada sedikit meninggi. Ditutupnya kedua telinganya dengan mata yang terpejam.“Maaf, Celine. Maaf. Saya tidak bermaksud menakutimu.”Dada gadis berambut panjang itu bagai gemuruh. Jantungnya kembali berdetak dengan cepat, aliran darahnya berdesir lebih kencang membawa pikiran buruk menghantui isi kepalanya. Ia menundukkan pandangan, di mana rambut panjangnya menutupi sebagian wajahnya. Ia tak berani menatap manik mata Tuannya.Dengan mengumpulkan tekad
“Ya, kalau kamu punya sawah, saya tidak akan kenal kamu.”“Dek Denim malah diurus babysitter yang profesional tuan. Babysitternya juga gak akan ngerepotin mulu seperti saya.”“Tapi saya sukanya kamu. Bukan yang lain.”“Apa, Tuan?”“Tidak, tidak, tidak, jangan salah fikir dulu. Maksud saya, saya suka kinerja kamu,”Celine tersenyum, “Iya, Tuan. Saya juga tidak mengarah ke sana.”“Memangnya kalau mengarah ke sana kenapa?”“Tidak mungkin, Tuan. Saya ini seorang pengasuh, kasarannya tuh babu, mana mungkin berfikir akan dicintai majikannya. Itu tidak mungkin. Dalam angan pun tidak pernah.”“Tapi kalau kenyataannya iya bagaimana?” tanya Aksara lirih. Lelaki itu ingin mengungkapkan rasanya tapi masih maju mundur.“Apa, Tuan? Celine tidak cukup mendengar.”“Lupakan saja!”“Baik, Tuan.”Aksara terus melajukan kendaraannya, mulai memasuki jalan untuk masuk desanya Celine. Di sebuah perkampungan dengan gang-gang sempit itu, roda kendaraan terus melaju. Anak-anak mulai bersorak tatkala melihat mo
“Tidak, saya tidak mengijinkan itu,” ucap Aksara dengan raut muka yang memerah. Bagaimana pun Celine itu miliknya dan tak ingin ada orang lain yang mengambil.“Anda itu majikannya. Tidak lebih. Anda tidak punya hak atas diri Celine. Celine itu keponakan saya. Saya tahu yang terbaik untuk keponakan saya.”Bude Celine tampak emosi. Terlihat sekali sikap arogan dari wanita bertubuh gemuk itu.“Saya bisa melaporkan Anda atas pemaksaan pernikahan dini. Saya tidak main-main dengan ucapan saya,” ucap Aksara yang tersulut emosi.“Tuan, sudah, Tuan,” ucap Celine ketakutan yang memegang lengan majikannya.Aksara menoleh ke arah gadis itu, “Berapa warisan hutang orang tuamu?“Tiga puluh juta,” ucap bude Celine yang menyaut. “Berapa nomor rekening, Anda? Akan saya kirim sekarang!”Usai pengiriman uang tersebut, Bude Celine pamit pulang begitu saja.***“Tuan, maaf ya, saya selalu merepotkan, Tuan. Saya berjanji akan membayar hutang bapak saya,” ucap gadis itu dengan lirih. Sudut matanya mengembu
“Celine, minumnya sudah cukup,” ucap Aksara yang menyadarkan lamunan gadis itu.“Eh, iya, Tuan, maaf.”“Kamu nggak pengen ikut renang?”“Mbak Celine nggak bisa renang, Tuan,” ucap Bima yang menyaut. Kedua lelaki kecil itu berenang mendekat ke arah kakak perempuannya.“Mbak Celine, kami juga minta minumnya dong,” ucap adiknya itu.“Iya, sini, sekalian makan cemilannya,” ucap gadis berambut panjang sambil mengangkat tas kresek yang berisi makanan.“Segede ini nggak bisa renang?” tanya Aksara.“Dulunya bisa, Tuan. Tapi mbak Celine pernah tenggelam jadinya trauma.” Lagi-lagi adik Celine lah yang menyaut.“Kata orang tua jaman dulu, nyawa Mbak Celine tuh kayak kucing, sudah mati balik lagi,” imbuh Baim.“Hust, kalian!”Kedua adiknya tersenyum. Mereka turut duduk di pinggir kolam sambil memakan jajan yang mereka bawa. Cukup lama mereka di sana, hingga akhirnya mereka keluar dari kolam dan mengganti pakaian kering. Aksara juga mengajak babysitter dan adik-adiknya itu mampir di resto yang
Usai dari kamar Aksara, Celine menuju kamar anak asuhnya. Lelaki kecil itu membuka matanya sambil tersenyum sumringah menatap babysitternya.“Selamat pagi, Dek Denim? Semalam mimpi indah ya?” tanya Celine yang mendekat. Ia membuka gorden kamar, sehingga sinar mentari yang baru beranjak itu pun masuk ke ruangan. Lalu duduk di bibir ranjang bersprei superhero dan mencium dahi anak asuhnya.“Ganteng banget muka bantalnya. Masih wangi pula.”“Ate, main,” ucap Denim sambil menunjuk permainannya yang tersimpan rapi di rak.Celine menggeleng, "Enggak sekarang ya! Kita mandi dulu. Lalu mamam. Habis itu main. Ok.”Denim terdiam, mengikuti perintah babysitternya. Turut menurut dengan apa yang diperintah.“Angkat tangannya,” ucap Celine dengan nada tegas bak seorang komandan kepada bawahannya. Denim menurut dan gadis itu mulai mengenakan pakaiannya. Di detik berikutnya mereka saling tertawa.Hal yang biasa dilakukan ketika hendak mandi dan ganti baju, terasa membahagiakan untuk anak seumuran Den