Ini kali pertama Celine menampakkan kaki di lantai mall. Ia dibuat takjub dengan bangunan besar dan isinya. Manik matanya di manjakan oleh semua barang belanjaan yang kumplit. Dari sayur, buah, ikan dan perdagingan. Celine menggendong Denim, yang sesekali lelaki kecil itu berjalan digandengnya dan terkadang ikut masuk di kereta dorong. Sedangkan Aksara terus mendorong keranjang belanjaan sambil mengambil berbagai macam bahan yang disebutkan oleh Celine.
“Ini apa sayur bayamnya,” ucap gadis berambut panjang itu sambil mengambil sayur yang dimaksud. Sedangkan Denim kini tengah duduk di keranjang belanja yang tengah didorong Aksara. Celine memutar sayur yang dipegang, mencari bandrol harga yang tertera, hingga di detik kemudian manik mata hitamnya membulat secara sempurna.“Kenapa gak dimasukkan ke sini?” tanya Aksara menyadarkannya. Celine meneguk salivanya sendiri, “Ini harganya gak salah, Tuan? Seikat ini dua belas ribu.”Aksara mengambil sayur dari tangannya Celine, memperhatikan nominalnya dan memasukkan bayam tersebut ke keranjang belanja. “Harganya memang segitu.”“Tapi, Tuan, itu mahal sekali. Di belakang rumah saya banyak sayur bayam yang terkadang sampai berbunga gak ada yang metik. Beli dipasar pun relative murah, seikat besar hanya seribu lima ratus rupiah.”“Tapi di sini bukan desamu, Celine. Harga segitu wajar.”Mereka kembali berjalan, di mana Aksara mulai memilih daging segar. Lagi-lagi gadis tersebut dibuat terkejut dengan harga yang fantastis. “Segini dua ratus ribu, Tuan?” tanya Celine sambil memegang bongkahan daging kecil yang dialasi sterefoam. Kertas label menempel di plastic tersebut, Daging sapi segar dan nominal 200.000.“Kamu itu pernah belanja apa tidak?”Celine menggeleng, “Saya tidak pernah beli daging, Tuan. Saya gak paham harga daging. Teryata semahal itu.”“Belum pernah makan daging sapi?”“Sudah Tuan, sewaktu Idul Adha banyak tetangga yang bagiin daging Qurban gratis.”“Syukurlah, setidaknya kamu bisa mengolah daging ini.”Satu persatu bahan makanan sudah masuk keranjang, berikut dengan susu dan diapers untuk Denim. Sengaja Aksara memberikan banyak kebutuhan anaknya supaya tak kekurangan lagi.“Ada yang mau dibeli lagi?”“Sepertinya sudah semua, Tuan.”Mereka kembali mengayunkan langkah, mendekati meja kasir berada. Satu persatu bahan tersebut diambil petugas hingga wanita berseragam tersebut menyebutkan nominal keseluruhan. Hampir tiga juta. Celine terkaget. Reflek tangannya menutup mulutnya yang menganga. Bagi Celine, uang segitu bisa dia habiskan untuk berbulan-bulan lamanya. Celine jarang berbelanja. Ia lebih sering mengambil sayur belakang rumah untuk di masak. Lauknya pun seadanya. Yang terkadang tempe, tahu atau ikan asin yang bisa dimasak untuk berkali-kali makan.***“Kalian masuk dulu, saya ada perlu sebentar,” ucap Aksara ketika Celine dan anaknya sudah duduk di mobil. Lelaki matang itu mengingat sesuatu yang belum dibelinya. “Baik, Tuan.” Celine tak berani menanyakan kepentingan majikannya. Meskipun sejujurnya, ia takut berada di mobil hanya berdua dengan Denim. Sifat katroknya itu, membuat ia takut kalau mendadak kendaraan roda empat itu berjalan sendiri tanpa ada yang memegang kemudi. Aplagi majikannya membiarkan mesin mobil dalam keadaan menyala. Belum lagi kalau ada orang yang berbuat kejahatan. Bukankah di kota rawan kriminal?Cukup lama ia berdiam diri, dengan Denim yang terus dipangkuannya. Bibirnya tersenyum dengan anak asuhnya. Tapi, pikirannya terus berkelana. Sesekali ia menengok ke kanan kiri, mencari majikannya yang tak kunjung tiba.“Dek Denim, jangan pegang ini! Kalau mobilnya jalan bagaimana?” tanya Celine dengan keringat sebiji jagung di dahinya. Padahal sesaat yang lalu, ia merasa AC nya kebesaran dan membuatnya kedinginan.Pintu terbuka dan ia benar-benar dibuat terkejut. Jeritan dari bibir kecilnya, membuat Aksara panik.“Ada apa, Celine?”“Maaf, Tuan, saya kira maling. Saya takut di sini sendirian.”“Saya maling?”“Maaf, Tuan. Maksud saya bukan itu. Saya ….”“Sudahlah. Ini ponsel untukmu,” ucap Aksara memberikan benda yang tadi diibelinya. Ya, Aksara memberikan sebuah android untuk babysitternya tersebut. Dengan benda itu, dia bisa mengontrol keadaan Denim ketika dia sedang bekerja. “Po-ponsel, Tuan?” tanya Celine tergagap.“Iya, ambillah!” perintah Aksara dengan tangan yang terus menggantung. Gadis itu belum berani untuk menerimanya.“Kenapa? Kamu gak suka? Mau ditukar sama yang lain?”“Bukan begitu, Tuan. Tapi, berapa potongan gaji saya untuk membayar ponsel tersebut?” Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Ia resah. Ia ketakutan akan angsuran yang akan melilitnya nanti. “Ini gratis.”Celine kesusahan meneguk salivanya sendiri, mendadak kerongkonan terasa mengering, “Gratis.”“Iya, dengan begitu saya tak akan kesusahan saat video call nantinya.”“Video call?”“Maksud saya video call dengan denim saat saya tinggal bekerja.”“Tapi saya tidak enak, Tuan. Saya baru sehari bekerja. Saya belum berbuat banyak untuk Tuan dan Dek Denim. Tapi, saya justru selalu merepotkan. Saya tidur di kamar besar yang mewah. Saya ikut minum teh. Saya ikut makan di rumah tuan, dan kini …. Tidak-tidak, saya tidak bisa menerima ponsel itu,” ucap Celine melambaikan tangan.“Ambillah!Atau mau saya pecat,” ucap Aksara yang memegang tangan kanan Celine. Diletakkannya ponsel tersebut ke tangan gadis itu.“Tapi, Tuan.” Tangan Celine yang gemetar membuat Aksara terkekeh. Baru kali ini, ia mendapati gadis lugu seperti Celine. Gadis yang diam-diam mencuri hatinya.“Ambillah!Atau mau saya pecat,” ucap Aksara yang memegang tangan kanan Celine. Diletakkannya ponsel tersebut ke tangan gadis itu.“Tapi, Tuan ....” Tangan Celine yang gemetar membuat Aksara terkekeh. Baru kali ini, ia mendapati gadis lugu seperti Celine. Gadis yang diam-diam mencuri hatinya.“Maaf saya hanya bercanda.”Celine menghela nafas panjang sambil memegang dadanya yang bergemuruh, “Syukurlah, Tuan. Saya kira, saya beneran dipecat.”Aksara tersenyum kecil. Ia seperti kembali menemukan kehidupannya yang berwarna. Hari-hari yang dilalui dengan suram itu mendadak seperti mendapatkan secercah sinar. Senyum semu yang biasa ia tampakkan kini menjelma menjadi senyum nyata kebahagiaan.“Tidak, tidak, saya hanya simpati saja dengan gadis itu, ini bukan perasaan seorang lelaki dewasa kepada wanita,” batin Aksara yang terus menutupi perasaannya. Ia masih belum bisa menerima kalau hatinya tertambat dengan wanita yang lebih macam dipanggil gadis bau kencur.“Tuan, maaf, kenapa tidak segera
“Saya hanya salah bicara. Maksud saya kalau kamu pulang,” ucap Aksara yang mulai tak jujur dengan hatinya. Hati dan pikiran tak sinkron. Ia tak mengakui rasa yang mulai tumbuh di hatinya.“Mungkin saya hanya merasa kalau Celine seperti istri saya. Dia yang baik, santun dan terlihat sangat sayang anak kecil. Tidak, tidak, tidak, tak mungkin Celine dan Istri saya sama. Mereka dua orang yang berbeda dan saya sangat mencintai istri saya,” batin Aksara yang mulai kacau.“Dek Denim, kita makan sama-sama yuk!”“Maemm, maem,” ucap lelaki kecil yang tengah memegang sendok di tangannya. “Berdoa dulu ya, Dek! Gimana, Dek, caranya? Angkat tangannya, lalu baca doa,” ucap Celine sambil melakukan hal yang sama. Gadis kecil itu mengadahkan tangan yang diikuti dengan tangan-tangan kecil Denim yang terangkat. Lalu perlahan, Celine baca doa perkata, yang diikuti oleh bibir Denim. Meskipun hanya huruf vocal belakangnya saja. Tapi setidaknya, lelaki kecil itu sudah antusias dan menurut. Aksara tersenyum
“Babysitter untukTuan Denim sudah ada, Pak. Besok pagi akan saya jemput.”“Apa, Tuan? Saya mau dipecat?” tanya Celine ketakutan. Ia tak menyangka, karena kantuknya itu membuat ia kehilangan pekerjaan.“Hust,” ucap Aksara dengan jari trlunjuk yang didekatkan di bibir. Ada Denim dalam gendongannya yang tengah tertidur.Celine menunduk. Ia merasa bersalah. Turut mengekori Tuannya yang kini masuk ke dalam kamar.Celine menata bantal dan guling Denim, lalu lelaki berumur matang itu menidurkan anaknya dikasur. Diangkatnya selimut bergambar superhero kesayangan anaknya, ditutupkan hingga ke dada.Aksara melirik kearah babysitter anaknya. Wajahnya tampak gusar, beberapa kali dia melihat Celine memilin ujung pakaiannya. Terlihat tampak ketakutan.Di sisi lain, Celine ingin kembali menanyakan pertanyaan yang belum dijawab. Tapi, ia masih takut dengan Tuannya. Rasanya tak sopan.“Apa Tuan Aksara menraktir saya makan untuk itu? Terus yang dibahas pun tentang pulang kampung. Apa beliau akan meruma
“Maaf ya, Tuan.” Gadis itu mendekat, lalu mulai memijat tengkuk leher Tuannya. Baru saja satu pijatan mengenai tubuhnya, Aksara langsung menghindar. Ia merasa aneh pada dirinya. Suatu sengatan yang tak diinginkan kembali hadir. Padahal, ia kerapkali melakukan pijat di tempat massage.“Maaf, Tuan, apa ada yang salah?” tanya Celine terkaget.“Ada. Kamu salah, diam-diam mencuri hati saya,” batin Aksara. “Saya takut kamu meminta imbalan,” ucap Aksara yang terkesan dingin dan berlalu begitu saja. Celine mematung. Ia masih bingung dengan tuannya yang selalu berubah sikap dengan cepat. Terkadang hangat dan terkadang galak seperti macan. Seperti ini tadi, bukankah tuannya yang meminta? Lalu imbalan, bukankah Celine tak pernah memintanya? Andai pun iya, sudah pasti Aksara sanggup membayarnya, karena hartanya yang berlimpah.Gadis itu menggeleng. Ia mengambil cangkir kotor bekas Tuannya. Membersihkan benda tersebut dan kemudian masuk ke dalam kamarnya. ***Celine menyiapkan sarapan lebih aw
Aksara menggeleng. Seumur hidupnya baru kali ini ia disuguhi ikan asin. “Masakan orang desa tuh enak, Pak.” Perkataan dari Baskoro tempo lalu membuatnya sedikit penasaran. Dilihatnya makanan di depannya sambil sedikit bergidik. Tangannya mulai memegang sendok, lalu menyuapkan lauk itu ke mulutnya. Seketika wajahnya menampakkan ekspresi yang aneh.Pintu terketuk, dan tak lama kemudian supir yang telah menemaninya beberapa tahun ini mulai masuk, “Maaf, Pak, anda kenapa?” tanya Baskoro kaget. Dilihatnya majikannya yang menampakkan ekspresi lain dari biasanya.“Tuh, katamu makanan ndeso itu enak. Tapi kenyataannya?” tanya Aksara sambil menunjuk makanan di depannya. Baskoro memang terlihat akrab dengan bosnya, karena ia lah satu-satunya orang yang paling lama dan paling paham tentang Aksara. Ia juga teman sekolah Aksara saat di SMA dulu. Sayangnya, nasibnya tak sebagus lelaki yang dipanggil pak.“Pak Aksara makan ikan asin?” tanya Baskoro terkejut. Ia menahan tawa dengan menutup mulutnya
“Itu tugas saya. Sedangkan kamu lakukan tugasmu!”“Tugasku adalah memastikan rumah bersih, mengurus Dek Denim dan juga Tuan. Saya belum selesai bertugas karena belum melihat Tuan makan malam ini.”Aksara terkesima. Dari ekspresi wajah dan cara bicara Celine, gadis itu terlihat sangat tulus. “Saya masak soto ayam tadi, tuan mau makan sekarag? Biar saya hangatkan dulu.”Aksara memang lapar, lagi-lagi tumpukan pekerjaan membuat jam makannya berantakan. Rencananya sampai rumah mau bikin mie instan sebelum tidur seperti biasa. Tapi, ia melupakan mengisi perut ketika mendapati Celine tidur di ruang tamu.“Baiklah. Temani saya makan.”“Baik, Tuan.”Gadis itu mengucek matanya yang bulat, meningkatkan cahaya penglihatannya yang hanya tinggal 5 watt. Disisirnya rambut panjang itu dengan jari-jarinya, lalu dikuncir atas layaknya pungguk onta. Ia berjalan menuju dapur dan memanaskan kuah sayur yang dimasaknya sore tadi. Ia juga membuat teh hangat untuk peneman makan malamnya. Di sisi lain, Aksa
Celine meringis. Dengan ragu ia mengambil ponselnya dan mendekatkan benda itu ke telinganya.“Tuan.”“Iya. Apa yang kamu bicarakan dengan anak saya?”“Gak ada, Tuan.”“Gak ada? Yang kamu bilang tadi? Yang galak seperti macan itu siapa?”“E ... Itu ....” Celine berpikir dengan keras. “Itu saya, Tuan.”“Kamu galak seperti macan?”“Iya, Tuan.”“Babysitter galak nggak boleh mengasuh anak saya. Takut anak saya jadi korban kekerasan.”“Bukan, bukan, Tuan. Bukan seperti itu.”“Lalu?”“Maaf, Tuan. Celine hanya bercanda. Saya gak bermaksud apa-apa.”“Jangan kotori pikiran anak saya dengan yang tidak-tidak.”“iya, Tuan. Saya minta maaf.”Denim mulai merebut ponsel yang Celine pegang. Hingga akhirnya gadis itu mengalah, memberikannya benda pintar itu dengan mengubahnya menjadi video call dan mengarahkan kamera depannya. Kini wajah Denim yang dipangkunya masuk ke dalam kamera.“Papa, papa,” ucap lelaki kecil itu.“Papa, waung,” ucap Denim menirukan babysitternya tadi.Celine meringis. Ia lupa ten
“Di ... situ, Tuan?” tanya Celine sambil menunjuk ranjang besar tuannya.“Iya, kamu dengarkan perintah saya?”“E ... tapi ... E ...,” tanya Celine kebingungan.Aksara mendekat ke arah Celine, menarik lengan gadis itu untuk duduk di bibir ranjang miliknya. Ia sedikit berjongkok, menyetarakan tubuh gadis di depannya.“Tuan, ada apa?” tanya Celine yang semakin gugup. Hari mulai malam, sedangkan rumah begitu sepi. Dia dan lawan jenis berada dalam satu kamar.“Tuan, Celine ....”“Diamlah! Biarkan saya berbicara.”Gadis itu terkejut mendengar nada sedikit meninggi. Ditutupnya kedua telinganya dengan mata yang terpejam.“Maaf, Celine. Maaf. Saya tidak bermaksud menakutimu.”Dada gadis berambut panjang itu bagai gemuruh. Jantungnya kembali berdetak dengan cepat, aliran darahnya berdesir lebih kencang membawa pikiran buruk menghantui isi kepalanya. Ia menundukkan pandangan, di mana rambut panjangnya menutupi sebagian wajahnya. Ia tak berani menatap manik mata Tuannya.Dengan mengumpulkan tekad