Masa bodo dengan norma dan kesantunan. Wajah yang selalu tampak ramah itu hari ini hanya ada kemarahan di sana. Siapa pun yang menyaksikannya malam itu dibuat merinding. Beberapa warga tampak menahannya, tetapi Arjuna tetap bersikukuh ingin merusak pintu pagar yang terbuat dari besi itu dengan menginjaknya berulang kali. Tak ia pedulikan rasa sakit yang di kakinya. Hanya ada satu wajah yang ada dalam benaknya. Wajah yang selama sembilan bulan ini selalu menyembunyikan kesedihan di balik senyumnya itu sungguh membuatnya semakin muak dengan semua penghuni di rumah ini.Sampai akhirnya ketiga orang yang berada di dalam rumah itu keluar.“Apa kamu sudah gila membuat keributan di jam malam begini?” sentak Ayah Jeri dengan wajah yang merah padam.“Ya, saya gila karena Anda. Anda yang membuat istri saya bersedih sepanjang hari hingga berbulan-bulan. Anda tahu hari ini dia hanya ingin bertemu orang tuanya, tapi sungguh dua orang itu benar-benar egois. Bahkan sedikit pun tak punya belas kasiha
“Hisyam, kamu tidak ingin berkata apa pun?”“Aku hanya ingin minta maaf Mbak. Seharusnya aku enggak ikut membencimu.”“Sudahlah, Mbak titip Ayah sama Ibu ya.”“Memangnya Mbak mau ke mana, tolong jangan bikin Hisyam takut.”“Sayangi mereka, Hisyam … berjanjilah.” Bahkan pemuda yang biasanya tampak acuh, hari ini terlihat begitu rapuh.“Hisyam janji, Mbak.”“Ayah.”“Iya, Sayang.”“Lihat dia, bukankah suamiku sangat tampan?" tanya Prily. Sejenak membuat Ayah Jeri memutar kepala ke arah Arjuna.“Iya, dia sangat tampan."“Jangan membencinya lagi, Ayah. Aku sudah sangat bahagia, percayalah.”“Ayah tidak akan membencinya Nak, tapi bisakah kamu berhenti menakuti kami. Dokter pasti bisa sembuhin kamu. Berapa pun biayanya biarlah kami yang membayarnya. Kalau perlu jual saja rumah kami untuk biaya pengobatanmu.” Sekali lagi Prily hanya tersenyum saja.“Dokter, putri saya pasti bisa sembuh ‘kan?” tanya Ayah Jeri. Sayangnya tak mendapat jawaban dari dokter di belakangnya. Namun, ia bukan orang bod
“Dek, tolong catat semua hadiah yang udah aku kasih ke kamu. Bonnya ada di tasku!”“Catat lagi?”“Iyalah kita harus menghemat. Pengeluaran dan pemasukan harus ada notanya. Tidak boleh kita pakai berlebihan sehari hanya boleh 70 ribu. Tidak boleh lebih.”Tak ada sahutan dari istriku. Ia malah menatap lurus dengan pandangan kosong. Aku mendekat untuk memastikan dia mendengarnya atau tidak.“Kamu dengar tidak, Dek?”Baru saja kau ingin menyentuh pundaknya. Prily sudah lebih dahulu berjalan menghindar. “Hmm,” sahutnya tak acuh.Bahkan barang-barang yang kuberikan sebagai hadiah ulang tahun pernikahan kita saja dia abaikan.Bukankah dia pernah bilang menginginkan long dress dengan berwarna merah muda dengan aksen renda.Sudah aku repot-repot memesannya diam-diam lewat market place online. Prily justru membiarkan gamis beserta cokelat yang kupesan khusus untuknya tergeletak di meja.Ck, kenapa perempuan susah sekali dimengerti? Sungguh membuatku frustrasi saja. Lebih baik bermain game dari
“Serakah namanya, kalau saya sih malu banget. Rumah aja mewah, tapi pelit sama diri sendiri mah. Mending saya, rumah biasa, tapi mau makan apa pun bisa semaunya.”Suara Mbak Daniah terdengar begitu berapi-api. Membuatku geram saja.Sengaja kugeber motor yang pagi itu sedang kupanaskan. Biar saja mereka bubar. Mulutnya benar-benar membuat jengkel. Beberapa ibu-ibu terlihat menengok ke dalam rumah.Aku yang sudah terlanjur emosi memilih mendekati mereka. Sayangnya baru saja gerbangnya terbuka, hanya ada Pak Baim, penjual sayuran yang tersenyum ramah menyambutku.“Saya dengar Bu Prilynya masuk rumah sakit, apa benar?” tanya Pak Baim.“Iya, tapi alhamdulillah udah mendingan mungkin nanti sore sudah boleh pulang.”“Oh, syukur alhamdulillah. Semoga cepat sehat kembali.”“Aamiin.”Tak lama Pak Baim pamit untuk kembali berkeliling menjajakan sayurannya, yang masih penuh. Seiring dengan gerobaknya yang semakin menjauh.Aku berjalan dengan sedikit terburu-buru, lalu melajukan motor matic keluar
“Jangan mentang-mentang kau ini membiayai keluargaku bisa seenaknya memperlakukan Mbakku dengan kasar.”Hisyam masih saja berusaha memukul wajahku, meski beberapa orang mulai menariknya menjauh. Tubuhnya yang tinggi dan sedikit berisi membuatku sedikit kewalahan.“Heh, saya tidak pernah memukul Mbakmu. Dia sakit juga bukan karena saya melakukan kekerasan!” ucapku.“Nak Hisyam, sudah jangan kurang ajar sama kakakmu!” Ibu Rosa, mertuaku berteriak mencoba melerai kami.“Dia hanya kakak ipar. Aku melihat sendiri bagaimana dia memperlakukan Mbak Prily. Enggak ada bedanya dengan pelayan, kenapa Ibu malah membela dia. Apa karena dia rutin memberikan ayah uang bulanan? Aku juga bisa, Bu. Ke depannya biar aku yang tanggung semuanya. Tidak perlu lagi mengemis pada laki-laki ini!”Plak! Ayah Jery, mertuaku baru saja menampar anak itu. Seketika Hisyam menutup mulutnya. Dia terlihat menatap nanar pada pria paruh baya yang masih terbatuk sembari terengah-engah itu.Ayah Jerry baru saja berlari dari
“Yah, kita bicarakan saja di sini."Aku tidak mau kalau masalah kami mempengaruhi kesehatan Ayah, karena aku membuat anak sahabat karibnya, terbaring di rumah sakit.“Jelaskan itu di depan ayahmu nanti. Saya tahu kamu selama ini sudah menanggung kehidupan keluarga saya, tapi melihat putriku terbaring di sana hanya karena kelaparan. Apa yang kamu lakukan sebagai suami?”“Pak demi Tuhan saya rutin memberikan nafkah. Tak mungkin saya lepas tanggung jawab. Seharusnya Bapak juga ajak Prily juga. Kita obrolin sama-sama.”“Kalau itu maumu. Kita adakan pertemuan di rumah sakit. Nanti sore.”“Apa enggak sebaiknya menunggu sampai Prily membaik dulu, Yah?”“Apa ada jaminan kalau setelah membaik kamu enggak akan membuatnya kembali masuk rumah sakit. Saya mau masalah ini segera diselesaikan.”Hilang sudah kesempatanku untuk bisa merayu Ayah mertua. Kali ini aku hanya bisa meminta bantuan Prily, aku harus bicara padanya.“Masih punya muka datang ke sini?” sindir Hisyam dengan seringai menyebalkan.
“Aku enggak bisa menceraikan dia Ayah. Selamanya dia akan tetap jadi istriku.”Aku tidak akan pernah melepasnya. Setelah dia berkorban begitu banyak hanya demi mendapat keturunan dariku. Bagaimana bisa aku melepasnya begitu saja.“Jangan terlalu percaya diri. Apa istrimu bersedia hidup sama kamu!” sindir Ayahku.“Prily katakan sesuatu, kamu mencintaiku ‘kan? Jangan diam saja. Yakinkan mereka kalau kita memang sama-sama ingin melanjutkan pernikahan ini,” ucapku sembari menggenggam kedua tangannya erat-erat.“Lihat ‘kan dia diam saja,” sindir Ayah.“Dia pasti mau Ayah. Prily bahkan sangat menginginkan anak dariku. Bagaimana dia mau meninggalkan pernikahan ini begitu saja.”“Ly, Sayang please katakan sesuatu. Kasih Mas kesempatan buat memperbaiki segalanya. Kamu ingin kita punya anak ‘kan. Kita akan punya anak, Sayang. Setelah kamu sembuh. Kita akan mulai program hamil. Lupakan tentang mobil dan impianku. Sekarang hanya akan ada impianmu dan impian kita. Kamu ingin berapa anak 2, 3 atau
PoV Prily“Apa kamu juga akan rela menjual tubuhmu demi orang tuamu? Kamu benar-benar enggak punya prinsip!”Mas Arjuna berteriak, sorot matanya memerah menatapku dengan penuh amarah. Aku bahkan baru melihatnya semarah itu sejak pernikahan kami 5 tahun lalu. Tubuhku gemetar, melihat dia yang terus mengusir satu persatu ayah dan ibu bahkan kedua orang tuanya sendiri.Dia yang kukenal selalu menghormati mereka meski terkadang kesal, dia memilih menyimpannya sendiri. Aku bisa tahu, karena sering kedapatan dia menggerutu sendirian di kamar.“Kenapa kau melihatku seperti itu?” tanya Mas Juna, mungkin dia sadar sejak tadi aku terus melihat ke arahnya.“Aku hanya meminta kita berpisah untuk sementara kamu harusnya enggak memperlakukan mereka seperti itu. Bagaimana pun mereka orang tua kita.”“Iya, orang tua yang egois. Suka memaksakan kehendak, memaksa anak-anaknya menikah lalu sekarang seenaknya juga memaksa mereka bercerai! Orang tua seperti itu yang harus kuhormati?”Mas Juna begitu emosi