“Serakah namanya, kalau saya sih malu banget. Rumah aja mewah, tapi pelit sama diri sendiri mah. Mending saya, rumah biasa, tapi mau makan apa pun bisa semaunya.”
Suara Mbak Daniah terdengar begitu berapi-api. Membuatku geram saja.
Sengaja kugeber motor yang pagi itu sedang kupanaskan. Biar saja mereka bubar. Mulutnya benar-benar membuat jengkel. Beberapa ibu-ibu terlihat menengok ke dalam rumah.
Aku yang sudah terlanjur emosi memilih mendekati mereka. Sayangnya baru saja gerbangnya terbuka, hanya ada Pak Baim, penjual sayuran yang tersenyum ramah menyambutku.
“Saya dengar Bu Prilynya masuk rumah sakit, apa benar?” tanya Pak Baim.
“Iya, tapi alhamdulillah udah mendingan mungkin nanti sore sudah boleh pulang.”
“Oh, syukur alhamdulillah. Semoga cepat sehat kembali.”
“Aamiin.”
Tak lama Pak Baim pamit untuk kembali berkeliling menjajakan sayurannya, yang masih penuh. Seiring dengan gerobaknya yang semakin menjauh.
Aku berjalan dengan sedikit terburu-buru, lalu melajukan motor matic keluaran terbaru dengan kecepatan tinggi. Tiba di rumah sakit Prily sepertinya tengah salat.
Dia memang rutin menunaikan ibadah salat dua setiap pagi hari. Namun, kali ini tak menyangka kalau dia tetap nekat salat walau tanpa mukena. Saat dia bersiap akan melakukan zikir, karena melihatku. Prily mengurungkan niatnya.
“Ada apa?” tanya Prily.
Masih bisa dia bertanya ada apa, setelah menubuatku kehilangan muka.
“Kamu bikin malu aku tau gak, Ly.”
“Bikin malu apa sih, Mas? Aku enggak ngerti.”
“Kamu ngapain bawain lauk sisa setiap kali ada makan-makan? Gara-gara keserakahanmu, keluarga kita jadi omongan banyak orang.”
“Maaf.”
“Aku enggak butuh maafmu, aku butuh penjelasanmu. Kenapa? Apa kita kekurangan makan? Ini bisa sampai masuk rumah sakit. Dokter bilang kamu tidak makan seharian. Aku suruh kamu berhemat bukan berati kamu tidak makan sama sekali. Kau ini punya pikiran ‘kan? Begitu saja tidak tahu.”
“Maaf.”
“Berhenti minta maaf. Renungkan kesalahanmu!”
Inilah yang paling menyebalkan dari semua itu adalah dia tak pernah menunjukkan permohonan sedikit pun hanya sekedar maaf.
Apa susahnya menjelaskan sedikit? Aku memilih meninggalkannya dari pada menyakiti lebih dalam lagi. Sejujurnya temperamenku cukup buruk.
“Ada apa, Pak kenapa teriak-teriak?” Beberapa perawat berdatangan dengan wajah panik.
“Apa pasien kolaps lagi?” tanya perawat lagi.
Mereka berpikir kalau pertengkaran kami itu adalah sebab kondisi Prily semakin memburuk.
“Dia baik-baik saja, Sus. Bukannya nanti sore juga sudah boleh pulang?”
“Syukurlah, tadi kami dengar Bapak teriak-teriak.”
“Itu, hmm, ada masalah sedikit saja," ucapku. tak mungkin juga kuberi tahu apa yang terjadi sesungguhnya.
“Pak, tolong dijaga ibunya. Soalnya stres yang berlebian juga bisa menaikkan kembali asam lambungnya. Bukan saya menakut-nakuti, tapi penyakit ini tidak bisa disepelekan. Banyak korban meninggal dunia, karena awalnya hanya menganggap penyakit ini sekedar sakit perut biasa.”
“Tapi, kata Dokter istri saya akan baik-baik saja.”
“Itu karena Bapak yang sejak datang tidak mau melakukan pemeriksaan lanjutan. Kami tidak bisa memastikan kondisi lambung pasien. Kalau dari luar akan terlihat baik-baik saja, tapi 'kan enggak tahu di dalamnya.”
Suster itu begitu sombong, jelas-jelas kemarin dokter mengatakan tidak apa-apa. Aku memang menolak melakukan pemeriksaan lanjutan. Toh, Prily juga sudah terjaga. Wajahnya bahkan sudah terlihat lebih segar dari sebelumnya.
“Saya akan periksa ke dalam dulu. Takutnya keributan tadi membuat kondisi pasien menurun.”
Cih, mana mungkin. Tentu saja aku mengucapkannya dalam hati.
Aku masih menghormati profesinya sebagai perawat. Lain kali tak akan kubawa Prily atau anak keturunanku berobat ke sini.
“Bu, saya periksa dulu ya.”
“Ibu!"
Perawat itu sedikit meninggikan suaranya, mencoba membangunkan istriku yang tak bereaksi apa pun. Prily tak lekas membuka matanya. Perawat itu akhirnya langsung memeriksa denyut nadinya tanpa izin dari Prily.
“Apa saya bilang? Sebaiknya Bapak keluar. Suster Maya tolong panggilkan dokter Adrian ya. Pasien kolaps lagi.”
“Hah, maksudnya bagaimana?" tanyaku.
“Bapak ini sebagai suaminya harusnya bisa menjaga mood pasien agar tetap baik, bukan malah mengajak bertengkar di rumah sakit!"
Suster arogan itu terlihat begitu berapi-api.
“Suster Nayla, udah tenang dulu. Kita tangani pasiennya dulu.”
Jadi namanya Nayla. Wanita itu terlihat menarik nafas panjang.
“Saya minta maaf, tapi sebaiknya Bapak keluar karena kehadiran Bapak mengganggu konsentrasi kami," ucap salah seorang perawat lainnya.
“Tapi, istri saya bisa selamat ‘kan?”
“Doakan saja yang terbaik, Pak," imbuhnya lagi.
Kenapa semua jadi begini?
Aku terus memanjatkan doa demi keselamatan Prily sampai ponselku tiba-tiba berdering. Panggilan dari Ibu Mertuaku, di saat seperti ini kenapa dia harus menghubungi. Pasti minta uang lagi.
“Assalamualaikum maaf Ibu mengganggu waktu kamu, Nak Juna, tapi dari kemarin nomor Prily enggak bisa dihubungi. Ibu jadi khawatir. Enggak biasanya dia begini. Apa kalian baik-baik saja?”
Ada apa dengannya? Apa selama ini Prily selalu mengadu kepada kedua orang tuanya? Kenapa mertuaku seolah tahu segalanya?
“Nak, jangan salah paham dulu. Ibu begini bukan karena apa-apa. Perasaan Ibu udah enggak enak dari kemarin. Makanya ibu cuma mau mastiin keadaan Prily aja.”
Haruskah aku jujur? Bagaimana kalau kemudian mereka menyalahkanku? Ah sudahlah, enggak akan ada yang tahu kalau Prily dirawat.
Apa yang akan mereka katakan saat tahu kalau Prily sakit karena tak makan?
“Kami baik-baik saja kok, Bu. Prilynya lagi belanja. Mungkin hapenya kelupaan belum di charge. Nanti biar kusuruh dia buat mengisi batrai ponselnya.”
Maafkan aku Bu, tetapi aku berjanji akan membawa Prily bertemu denganmu. Saat keadaannya membaik.
“Alhamdulillah, ya sudah kalau begitu. Maaf ganggu waktu kerjamu," kata Ibu mertuaku.
“Enggak apa, nanti akhir pekan kita mampir ke rumah ya.”
“Alhamdulillah, Ibu tunggu kalian.”
Huh! Akhirnya.
Baru saja bernafas lega, melihat perawat keluar dari ruang rawat Prily hatiku kembali cemas. Aku diminta masuk ke dalam karena dokter ingin membicarakan suatu hal yang penting.
“Pak, Ibu itu lambungnya sudah luka. Apa Ibu suka sekali makan makanan instan?”
“Hmm itu sepertinya sering, Dok.” Seingatku Prily tak pernah terlihat makan. Aku tak tahu dia makan apa, karena setiap aku pulang dia hanya mengambilkanku makan, tapi dia tak ikut makan bersama. Aku tak tahu dia makan apa dan kapan. Tuhan kenapa aku benar-benar teledor. Apa jangan-jangan dia tak pernah makan? Rasanya tak mungkin dia bisa meninggal kalau seperti itu.
“Pak, masih dengar saya?”
Dokter itu sedikit mengeraskan suaranya.
“Iya, Dok.”
“Ibu itu sepertinya sering telat makan juga. Ini ibu juga kena malnutrisi. Tolong lain kali lebih diperhatikan lagi 4 sehat 5 sempurna nya.” Sungguh kenapa bisa begini? Dia kurang gizi, Bagaimana bisa?
“Jangan puasa dulu, jadi nanti setiap hari Ibu harus makan setiap 2 jam sekali. Makanan yang ringan saja. Seperti buah-buahan tidak boleh makan nasi dulu ya.”
“Terus makannya apa?”
“Pasien bisa makan, makanan untuk bayi yang teksturnya lembut.”
“Dok serius? Itu bukannya porsinya sangat sedikit, apakah bisa kenyang?”
“Yang penting ada makanan yang masuk, terlalu kenyang juga enggak baik buat pasien. Satu lagi tolong jangan biarkan dia setres. Pasien perlu pikiran yang tenang. Saya dengar tadi Bapak bertengkar. Tolong jangan membuat Ibu semakin parah. Ini sudah sangat memprihatinkan. Bapak bisa kerja sama?”
“Iya, Dok. Sa-saya mengerti.”
Pantas saja Dokter yang memeriksa semalam begitu ketus saat aku memaksa ingin pulang dan menolak melakukan pemeriksaan lanjutan ternyata penyakit Prily sudah separah ini. Aku melihat wajah istriku yang terbaring di ranjang, dia begitu pucat.
Aku mengusap lembut keningnya lalu mengecupnya perlahan tanpa sadar sudut mataku basah.
“Aku pergi dulu, berjuanglah untuk sembuh, Sayang.”
Aku harus mengurus administrasinya, yang sungguh membuatku kelabakan. Uang sebanyak ini setidaknya aku harus mengambil tabunganku. Saat hendak pergi keluar rumah sakit aku justru bertemu dengan ayah dan Ibu. Ah sial! Di sana juga ada Hisyam. Adik laki-laki Prily.
Kalau tahu aku di sini karena Prily sakit habislah aku. Anak kecil itu punya temperamen yang buruk.
Saat aku khilaf mendorong Prily karena emosi saja. Anak kecil itu berani menegurku. Bahkan sekarang dia menjadi lebih berani setelah bekerja freelance sebagai pelayan cafe, untuk membiayai sekolahnya sendiri. Berbeda dengan dulu, yang semua ditanggung olehku.
“Mas, gak sopan banget sih. Ketemu Ibu sama Bapak malah kabur. Memangnya kami ini setan.”
Si kecil Hisyam itu malah menepuk pundakku dia sengaja berlari padahal aku hampir saja berhasil kabur dari mereka.
“Loh, kamu di rumah sakit. Siapa yang dirawat?” kata Ibu.
“Iti teman kantorku sakit, Bu.”
“Bohong!” sentak Hisyam.
Anak itu memang tak segan menunjukkan ketidaksukaannya padaku.
“Hisyam jangan begitu, dia itu kakakmu. Gak sopan bersikap letus begitu.”
“Mbak Prily sakit ‘kan?”
“Tahu dari mana kamu?”
“Tuh ‘kan Bu, dia ketakutan. Dia pasti habis melakukan KDRT.”
“Nak, kenapa kamu berbohong? Kamu bilang Prily baik-baik saja.”
“Bukan begitu Ibu hmm ini itu. Prily hanya sakit perut.”
“Sakit perut? Pasti gak pernah dikasih makan.” ketus Hisyam.
Astaga ingin sekali aku meremas mulutnya itu.
“Kau memukul Mbakku lagi 'kan? Berani sekali, kamu pikir keren bisa memukul perempuan. Sini lawan aku!”
Anak kecil itu berani sekali. Dia menarik kerah bajuku. Sial! Kenapa harus begini, sih. Dia bahkan menyeretku keluar rumah sakit beberapa orang mulai berteriak, tapi Hisyam benar-benar seperti orang kesetanan.
“Jangan mentang-mentang kau ini membiayai keluargaku bisa seenaknya memperlakukan Mbakku dengan kasar.”Hisyam masih saja berusaha memukul wajahku, meski beberapa orang mulai menariknya menjauh. Tubuhnya yang tinggi dan sedikit berisi membuatku sedikit kewalahan.“Heh, saya tidak pernah memukul Mbakmu. Dia sakit juga bukan karena saya melakukan kekerasan!” ucapku.“Nak Hisyam, sudah jangan kurang ajar sama kakakmu!” Ibu Rosa, mertuaku berteriak mencoba melerai kami.“Dia hanya kakak ipar. Aku melihat sendiri bagaimana dia memperlakukan Mbak Prily. Enggak ada bedanya dengan pelayan, kenapa Ibu malah membela dia. Apa karena dia rutin memberikan ayah uang bulanan? Aku juga bisa, Bu. Ke depannya biar aku yang tanggung semuanya. Tidak perlu lagi mengemis pada laki-laki ini!”Plak! Ayah Jery, mertuaku baru saja menampar anak itu. Seketika Hisyam menutup mulutnya. Dia terlihat menatap nanar pada pria paruh baya yang masih terbatuk sembari terengah-engah itu.Ayah Jerry baru saja berlari dari
“Yah, kita bicarakan saja di sini."Aku tidak mau kalau masalah kami mempengaruhi kesehatan Ayah, karena aku membuat anak sahabat karibnya, terbaring di rumah sakit.“Jelaskan itu di depan ayahmu nanti. Saya tahu kamu selama ini sudah menanggung kehidupan keluarga saya, tapi melihat putriku terbaring di sana hanya karena kelaparan. Apa yang kamu lakukan sebagai suami?”“Pak demi Tuhan saya rutin memberikan nafkah. Tak mungkin saya lepas tanggung jawab. Seharusnya Bapak juga ajak Prily juga. Kita obrolin sama-sama.”“Kalau itu maumu. Kita adakan pertemuan di rumah sakit. Nanti sore.”“Apa enggak sebaiknya menunggu sampai Prily membaik dulu, Yah?”“Apa ada jaminan kalau setelah membaik kamu enggak akan membuatnya kembali masuk rumah sakit. Saya mau masalah ini segera diselesaikan.”Hilang sudah kesempatanku untuk bisa merayu Ayah mertua. Kali ini aku hanya bisa meminta bantuan Prily, aku harus bicara padanya.“Masih punya muka datang ke sini?” sindir Hisyam dengan seringai menyebalkan.
“Aku enggak bisa menceraikan dia Ayah. Selamanya dia akan tetap jadi istriku.”Aku tidak akan pernah melepasnya. Setelah dia berkorban begitu banyak hanya demi mendapat keturunan dariku. Bagaimana bisa aku melepasnya begitu saja.“Jangan terlalu percaya diri. Apa istrimu bersedia hidup sama kamu!” sindir Ayahku.“Prily katakan sesuatu, kamu mencintaiku ‘kan? Jangan diam saja. Yakinkan mereka kalau kita memang sama-sama ingin melanjutkan pernikahan ini,” ucapku sembari menggenggam kedua tangannya erat-erat.“Lihat ‘kan dia diam saja,” sindir Ayah.“Dia pasti mau Ayah. Prily bahkan sangat menginginkan anak dariku. Bagaimana dia mau meninggalkan pernikahan ini begitu saja.”“Ly, Sayang please katakan sesuatu. Kasih Mas kesempatan buat memperbaiki segalanya. Kamu ingin kita punya anak ‘kan. Kita akan punya anak, Sayang. Setelah kamu sembuh. Kita akan mulai program hamil. Lupakan tentang mobil dan impianku. Sekarang hanya akan ada impianmu dan impian kita. Kamu ingin berapa anak 2, 3 atau
PoV Prily“Apa kamu juga akan rela menjual tubuhmu demi orang tuamu? Kamu benar-benar enggak punya prinsip!”Mas Arjuna berteriak, sorot matanya memerah menatapku dengan penuh amarah. Aku bahkan baru melihatnya semarah itu sejak pernikahan kami 5 tahun lalu. Tubuhku gemetar, melihat dia yang terus mengusir satu persatu ayah dan ibu bahkan kedua orang tuanya sendiri.Dia yang kukenal selalu menghormati mereka meski terkadang kesal, dia memilih menyimpannya sendiri. Aku bisa tahu, karena sering kedapatan dia menggerutu sendirian di kamar.“Kenapa kau melihatku seperti itu?” tanya Mas Juna, mungkin dia sadar sejak tadi aku terus melihat ke arahnya.“Aku hanya meminta kita berpisah untuk sementara kamu harusnya enggak memperlakukan mereka seperti itu. Bagaimana pun mereka orang tua kita.”“Iya, orang tua yang egois. Suka memaksakan kehendak, memaksa anak-anaknya menikah lalu sekarang seenaknya juga memaksa mereka bercerai! Orang tua seperti itu yang harus kuhormati?”Mas Juna begitu emosi
Sejak pulang dari tempat itu Ibu memaksaku meminum banyak obat setiap hari. Baru kemarin aku tahu mereka mencoba melakukan hipnoterapy untuk menghilangkan ingatanku pada Akbar. Mereka memaksaku percaya kalau Akbar sudah meninggal. Aku seperti orang gila terus mendoakan agar aku tenang di surga tapi nyatanya, kabar kematianmu hanya sebuah rekayasa. Kenapa kamu begitu, Akbar? Apa kamu tak pernah mencoba mencariku? Kenapa kamu mematahkan hatiku, setelah kau berjanji untuk menjaganya agar tetap baik-baik saja. Kau tahu bahkan hidupku telah berhenti sejak saat ayahku membawa kabar kematianmu. Kau tahu berapa banyak derita yang kulalui setelah kepergianmu? Demi terus hidup aku harus menikah dengan pria asing. Aku pikir semua pria akan sama sepertimu. Lembut, penuh perhatian dan tak pernah perhitungan. Kenyataanya dia begitu berbeda. Dia sering marah hanya karena aku membeli barang yang mahal. Akbar, apa kau marah padaku. Sehingga kau meminta Tuhan mengirim suami sepertinya untukku. Kau pe
Plak!Ayah tiba-tiba saja menamparku. Rupanya mereka masih menunggu di luar, setelah aku berhasil mengusir semua orang. Saat itu jam kunjung memang sudah habis jadi yang diperbolehkan masuk hanya satu orang saja. Tentu aku memanfaatkan kesempatan itu untuk membuat mereka pergi, karena dalam hal ini aku yang paling berhak atas istriku sendiri. Terlepas mereka orang tuanya. Sekarang tanggung jawab itu sudah berpindah padaku.“Ayah kenapa lagi?”“Jangan panggil aku Ayah, selama kamu belum menceraikan istrimu!”“Ayah, yang anakmu itu dia atau aku?” Saat itu Ayah sudah bersiap menamparku kembali kalau saja Ibu tidak menahannya. Sudah pasti tak akan terelakkan lagi.“Berani kamu mengatakan itu padanya. Kau tahu kalau bukan karena Jasa mertuamu mana bisa kita hidup dengan layak. Kau tahu berapa banyak hutangku yang sudah dia bayar tanpa meminta ganti sedikit pun? Kau tahu rasanya dipukuli rentenir hanya karena tak bisa bayar hutang, bahkan Ibumu hampir dipaksa melayani nafsu mereka hanya ka
“Kita hidup masing-masing. Apa masih kurang jelas? Tenang saja, aku akan tetap menafkahimu seperti biasa. Oh, tidak mulai besok. Aku akan memberikanmu lebih banyak uang. Begitu ‘kan yang kamu mau?” Aku tersenyum, sengaja ingin tahu bagaimana respons Prily, ketika aku mengikuti semua permintaannya.“Satu lagi, kau boleh bekerja. Mulai hari ini lakukan saja semua yang kau sukai. Aku tidak akan melarangmu.”“Mas cukup! Aku tahu kamu marah, tolong jangan diteruskan.”“Diam! Aku belum selesai bicara.” Entah kenapa aku menangkap raut sendu dari wajah cantiknya. Ah, bukankah dia memang pandai memainkan peran. Aku tidak akan tertipu lagi. Cukup 5 tahun, aku menganggap semua perlakuanmu itu sebuah ketulusan. Ke depannya jangan harap wajahmu itu akan membuatku luluh.“Lupakan soal anak!” tegasku“Mas …” Suara Prily terdengar memelas. Mulai hari ini aku tidak akan membuat semuanya menjadi mudah Prily. Bukankah kau suka bermain tarik ulur? Sayangnya perasaanku bukan layangan yang bisa kau mainkan
PoV 3Tunggu dan bersiaplah, akan ada kejutan menarik buat kamu. Kau pasti akan suka, Sayang.“Kau gugup, Sayang? Lihat apa?” Arjuna tersenyum mengejek, begitu pandangan istrinya beralih pada beberapa karangan bunga yang terpampang memenuhi setiap sudut halaman depan Lazuardy Hotel & Resort. Mirza Akbar Lazuardy, deretan nama yang selama ini selalu memenuhi hati Prily. Hari ini suaminya sendiri yang mengantarnya bertemu sosok itu. Perasaan gugup bercampur takut, membuat wajah Prily seketika memucat.“Mas, kita pulang aja yu!" ajak Prily yang sedikit memelas. Jelas saja Arjuna menolak. Pria itu justru menarik lengan istrinya, lalu menggenggamnya perlahan. Dia harus menurunkan ego, setidaknya agar rencananya berjalan lancar. Tak hanya itu, Arjuna bahkan menarik pinggang ramping istrinya, demi memangkas jarak yang tercipta di antara mereka. “Kenapa mau pulang? Aku susah payah membelikanmu gaun. Kau juga sudah berdandan cantik. Sayang kalau kita tidak masuk ke dalam dulu. Ayolah, hanya