Share

Bukankah Adil, Sayang?

Plak!

Ayah tiba-tiba saja menamparku.  Rupanya mereka masih menunggu di luar, setelah aku berhasil mengusir semua orang. Saat itu jam kunjung memang sudah habis jadi yang diperbolehkan masuk hanya satu orang saja. Tentu aku memanfaatkan kesempatan itu untuk membuat mereka pergi, karena dalam hal ini aku yang paling berhak atas istriku sendiri. Terlepas mereka orang tuanya. Sekarang tanggung jawab itu sudah berpindah padaku.

“Ayah kenapa lagi?”

“Jangan panggil aku Ayah, selama kamu belum menceraikan istrimu!”

“Ayah, yang anakmu itu dia atau aku?” Saat itu Ayah sudah bersiap menamparku kembali kalau saja Ibu tidak menahannya. Sudah pasti tak akan terelakkan lagi.

“Berani kamu mengatakan itu padanya. Kau tahu kalau bukan karena Jasa mertuamu mana bisa kita hidup dengan layak. Kau tahu berapa banyak hutangku yang sudah dia bayar tanpa meminta ganti sedikit pun? Kau tahu rasanya dipukuli rentenir hanya karena tak bisa bayar hutang, bahkan Ibumu hampir dipaksa melayani nafsu mereka hanya karena aku tak sanggup membayar. Kau tahu siapa yang menyelamatkannya?”

“Aku minta maaf, Ayah.”

“Ayah hanya meminta kamu memperlakukannya dengan baik.  Aku pikir kalian saling cinta, tapi nyatanya apa? Kalau saja kamu menolak menikahinya itu bukan masalah. Kamu enggak perlu merendahkannya dengan kesepakatan yang enggak masuk akal itu.” Ayah andai kau tahu, kalau kesepakatan itu hanya semu. Aku mencintai putri sahabatmu. Hanya saja aku merasa tak percaya diri kalau harus mengungkapkannya. Dia terlalu misterius kadang-kadang aku bingung mengartikan perasaannya.

“Tapi waktu itu kondisi Ayah kritis, mana tega aku berkata enggak. Aku enggak mau kalau Ayah sampai kenapa-kenapa?” kilahku.

“Ayah lebih baik mati, dari pada melihat perlakuanmu yang tak bisa menghargai perempuan. Kau ini lahir dari perempuan juga. Kenapa kau sampai begitu perhitungan? Kamu enggak akan miskin hanya karena memberikan sebagian hartamu untuk menafkahi keluarga.”

“Aku tahu itu salahku. Aku yang terlalu terobsesi ingin punya segalanya, tapi maaf kalau Ayah meminta kami berpisah. Aku tidak bisa melakukannya.”

“Kau!” Ayah kembali mengangkat tangannya.

“Ayah sudah!” Ibuku berteriak.

“Ayah aku berjanji akan membahagiakan Prily. Bagaimanapun caranya, tolong kasih kesempatan aku sekali lagi.”

“Kenapa aku harus membantumu? Pergi dari sini! Selama kau tidak menceraikannya kau bukan lagi anakku! Kamu benar-benar manusia yang tak tahu diri!” Ayah dan Ibu langsung beranjak pergi. Namun, nyatanya kepergian mereka begitu membekas di hatiku. Ada nyeri yang perlahan menjalar. Kenapa Ayah begitu membela Prily, padahal aku ini putranya. Salahkah kalau aku cemburu. Aku hanya berusaha membahagiakannya dengan kemewahan. Bukankah Ayah dan Ibu yang mendidikku kalau makan tak perlu mewah-mewah yang penting tabungan dan membeli barang yang punya nilai investasi. Aku menerapkan prinsip yang Ibu bilang sampai hari ini, tetapi kenapa kalian malah menyalahkanku. Aku hanya mengikuti cara kalian mendidikku, bukankah kalian juga yang memutuskan untuk punya satu anak, karena berpikir tentang bagaimana membiayainya. Aku benci kalian, seharusnya kalian tak mengajarkanku cara hidup yang seperti itu. Kalau setelah aku menerakannya dengan teganya kalian mengucap kata itu. Kata yang sangat membuatku sakit hati.

Lihatlah Prily demi mempertahankanmu, aku bahkan rela tak dianggap anak oleh orang tuaku sendiri. Padahal, kalau memang caraku salah, tak cukupkah hanya menegurku. Kenapa malah menyuruh kami bercerai. Aku bahkan tak pernah protes saat ayah memintaku membiayai keluarga mereka. Suka tak suka aku tetap menunaikannya, tapi kenapa begini.

Entahlah kenapa dunia senang sekali mempermainkanku. Aku ingin bebas mereka memaksaku terikat, tetapi saat aku ingin terikat semua orang malah berusaha melepaskan diri.

Aku memutuskan kembali ke ruangan Prily. Emosiku sudah sedikit mereda. Lebih baik pergi menjauh dari pada harus melampiaskan amarahku padanya. Aku tahu bahkan tanpa dia dirawat pun mentalnya memang sudah tak baik-baik saja. Entah kenapa dia menyembunyikan masalah itu padaku, sebenarnya sudah lama aku ingin menanyakan masalah apa yang dia alami sampai harus bergantung pada obat-obatan anti depresant, yang dia bilang vitamin itu. Aku bukan orang bodoh, meski dia berbohong. Dunia sudah canggih, hanya dengan mengetikkan kata kunci nama obatnya, semua fakta yang berkaitan dengan obat itu akan langsung muncul. Jadi bagaimana pun menyebalkannya sikap Prily yang terlampau pendiam, aku selalu memaafkannya. Namun, hari ini tak menyangka kalau dia bisa sampai meminta pisah. Mungkin aku yang terlalu emosi hingga terpancing dengan kalimat yang belum selesai itu. Entah apa yang dibisikkan ayah dan ibu mertuaku sehingga Prily yang semula begitu yakin, ingin memiliki anak dariku. Bisa memutuskan untuk berpisah, meski hanya untuk sementara. Ini sedikit tak masuk akal, seharusnya ada alasan kuat yang membuat pendiriannya roboh begitu saja. menabung selama 4 tahun bukan waktu yang sebentar.

Pintu ruangan itu sedikit terbuka, aku gegas mendekat dengan sedikit mengendap-ngendap. Rupanya ada Hisyam di sana, mereka sepertinya tengah asyik mengobrol sampai-sampai tak menyadari kalau aku sudah ikut bergabung di ruangan ini.

“Hatiku sudah lama mati, Hisyam. Kalau kau tanya kenapa aku membela dia mati-matian, itu karena dia suamiku. Selebihnya kau tahu apa yang kurasakan. Apa orang yang sudah mati masih bisa merasakan cinta?” ucap Prily. Apa maksudnya. Jadi selama ini dia tak pernah mencintaiku? Jadi semua kekhawatiranku benar?

Prily … bagus sekali, kau tahu ucapanmu itu. Bahkan terasa lebih menyakitkan dibandingkan ayahku yang memutuskan hubungan kekeluargaan denganku.

Melihat keberadaanku mereka mendadak kikuk.

“Sudah curhatnya? Jangan berisik, aku mau tidur!” ucapku santai, tetapi cara Hisyam melihatku justru seperti menantang perang. Aku benar-benar tak tertarik untuk melakukan apa pun. Aku butuh tidur jadi mengabaikan mereka yang masih melempar tatapan heran padaku. Aku tetap merebahkan tubuhku di sofa. Mataku mulai terpejam, tapi sepertinya Hisyam masih saja tertarik untuk bergulat denganku satu ronde lagi.

“Hisyam, kamu keluar dulu ya!”

“Tapi, Mbak kalau dia nyakitin bagaimana?”

“Enggak akan, Mbak bisa teriak. Tinggalkan Mbak ya, please!” Suara Prily terdengar memohon. Memangnya apa yang mau dia bicarakan. Bukankah dia bilang hatinya sudah mati. Tak lama setelah terdengar pintu tertutup Prily mulai mengajakku bicara.

“Mas, aku tahu kamu belum tidur,” katanya.

“Aku sedang enggak ingin bicara apa pun, jangan ganggu aku!” ucapku tanpa membuka mata. Kali ini aku tak berbohong, baik fisik maupun mentalku benar-benar lelah.

“Mas, tapi lukamu enggak bisa dibiarkan begitu aja!”

“Diam! Berhenti berpura-pura baik. Mulai hari ini dan seterusnya kamu enggak perlu lagi melakukan kewajibanmu sebagai istriku.”

“Astaghfirrullah Mas, maksud kamu apa?” Aku bisa melihat Prily tampak shock, dengan ucapanku.

Bodoh! Bisa-bisanya aku jatuh cinta pada wanita seperti itu. Lihat saja akan kubuat kau merasakan hal yang sama. Akan kubuat kau jatuh cinta padaku, tapi saat itu terjadi aku akan meninggalkanmu. 'Bukankah ini adil, Sayang?'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status