Share

DUA

ā€œHishhh!ā€

Gadis itu melontar kaleng minuman terakhir. Mendekap tas yang seharusnya ia sandang. Namun sayangnya, kedua pundaknya terlalu penat untuk membawa. Jadi berakhirlah ia di sini, di pinggir jalan dengan merangkul semua bebannya: beban benda maupun hidup.

Sungguh, ia tak menyangka kedua orang tuanya setega itu untuk membuatnya menanggung utang yang mungkin tak terhitung lagi jumlahnya. Euhm yaa, itu hanya hiperbola. Karena sesungguhnya, utang yang harus dibayarnya sebanyak setengah miliyar saja. Saja. Sekali lagiā€”saja.

"Ish ... lapar."

Ia meraba perut ratanya. Meringis lirih. Ia tahuā€”tahu betul jika lambungnya butuh banyak nutrisi juga karbohidrat; singkatnya perlu terisi lantaran lapar. Hanya, harus makan apa dia? Untuk beli makanan saja ia harus berpikir ratusan kali, bagaimana untuk menyewa sebuah apartemen? Kos murahan saja tidak akan bisa.

Sejenak, Pearl mengeluarkan dua lembaran uang berwarna merah dalam sakunyaā€”satu-satunya harta yang kini ia punya. Ia bingung, ia tak tahu harus melakukan apa. Kini, dia mengumpati diri sendiri karena menempatkan diri dalam lingkup pertemanan yang melantarkan kesengsaraan. Andai saja malam itu ia tak menghamburkan uangnya sia-siaā€”karena Janeā€”, pasti ia tak akan semenderita ini.

ā€œHhhh, 'menemani sepanjang masa' apanya?ā€ desisnya. ā€œLihat saja, suatu hari aku akan membalas perbuatan mereka!ā€

Tahu-tahu saja, seorang anak kecilā€”yang usianya sekitar lima atau tujuh tahunā€”melangkah tepat di depannya. Memandanginya tajam-tajam dan meringis, lalu berlari seolah baru melihat penampakan yang menyeramkan.

Jelas saja gadis itu mendelik, meraba permukaan wajahnya dengan belingsatan.

ā€œApakah barusan dia mencemoohiku?ā€ Pearl mendengkus, menjatuhkan kedua lengannya yang terasa pegal. "Ah, lebih baik aku pergi saja."

Pearl bangkit, menggaet tas ransel yang penuh akan baju-baju juga barang penuh kenangan lainnya. Ia melangkah dengan pandangan pada tungkainya yang tak mengenakan alas; dan lagi-lagi mengumpati anjing liar yang membuatnya kehilangan sepasang flat shoes penuh kenangan. Ya, apalagi selain melontarkannya bersama harapan untuk mengusir para anjing itu?

Baru dua menit berselang untuk berjalan santai dengan arah pandangan yang samaā€”sepasang kakinya yang kumuhā€”tahu-tahu satu celetukan membuatnya tertegun bukan main.

"Gadis Fanatik?!"

Pearl melirik sangsi, memandang sosok yang berpenampilan rapi dengan jaket kulit berwarna hitam pekat juga helm full face-nya. Datang bersama motor besar yang terlihat menawan tetapi sederhana. Entah bagaimana, Pearl bisa tak menyadari kedatangannya.

"Pearl. Kau Pearl Carmina, bukan?"

Dara itu tak bisa berkata-kata. Ia tak bisa mengenali sosok itu, jadi apa yang harus dikatakannya? Masak iya mengucapkan satu persatu nama orang yang ia kenal? Ah, itu terlalu konyol.

"S-siapa?"

Sosok itu lekas menggerakkan kedua lengannya. Melepas helm berkilau itu dan menampakkan raut wajahnyaā€”yang segera menciptakan pekikan tertahan dari Pearl yang terkejut bukan main.

"Lelaki berdarah dingin?!" Pearl bungkam cukup lama. Tengah berusaha memastikan siapa sosok yang tengah ditatapnya. "Se-sedang apa kau di sini? B-bukannya kau pergi ke Jerman? Apa kaā€”apa kau diusir dari asramamu, huh?"

"Aku tak tahu kau ini gagap."

Netra cantik itu mendelik sempurna." Heiā€”"

"Bercanda." Seringai tipis yang terlihat manis tersimpul di bibir merah muda itu. Bahkan warna bibir Alaric lebih cerah daripada Pearl yang tak masih tergagu-gagu. "Bagaimana kabarmu?"

"B-baik!" Pearl menggaruk rambutnya sekilas. "Euhm ... jangan menanyakan alasanku menjadi gelandangan seperti ini. Akuā€”"

"KAU SEORANG GELANDANGAN?"

Pearl mengumpat lirih, menepuk keningnya dramatis. Sialan, ia malah menjelaskannya tanpa diminta.

"Hei, ada apa? Kukira kau sedang melakukan hal gila lainnya!"

Lagi, Pearl mengumpat.

Memang segila apa dia sampai mengenakan pakaian usang, tak merawat rambut, tak mengenakan alas kaki, dan berjalan kaki mengarungi kota setengah hari lebih? Yang benar saja! Sepertinya lelaki itu turut kehilangan akal sehatnya.

"Aā€”"

"Sudah. Ceritakan saja pada apartemenku nanti, akuā€”"

"APA?! Kau menawarkanku tempat tinggal?"

Alaric meringis, sedikit terkejut dengan respons Pearl yang terlampau bahagia. Ingin rasanya ia menyangkalnya, menyampaikan bila sekadar menyuruhnya untuk singgah sebentar saja. Namun melihat penampilan gadis itu yang membuatnya iba, ia rasa itu tak buruk juga untuk membuatnya tinggal di sana. Pun, ia tahu betul siapa Pearl ini; malar-malar lelaki itu tahu siapa nenek moyang gadis tersebut, atau mungkin berapa jumlah surainya tiga tahun silamā€”di saat terdekat keduanya.

"Iya, bukan, Ric?"

"Y-ya terserah kau. Cepat! Sejam lagi aku ada urusan!"

"Ini kauā€”"

"Yaa! Aku yakin."

"Betulkah?" Pearl menaikkan satu alisnya skeptis. "Ini tak seperti kauā€”"

"Terserah jika kau ingin aku berubah pā€”"

"Ah, oke, oke! Kau ini yang terbaik!"

Tak meragukan apa pun, lekas saja Pearl mengangkat tungkai kanannya. Mendaratkan pantat juga tasnya atas jok kendaraan yang menurutnya megah itu. Berakhir menggantung kedua telapak kaki pada tumpuan di masing-masing sisi.

Senyuman manis terpatri di bibir Pearl yang pecah-pecah. Kebahagiaan ternyata mudah ditemukanā€”ketika ia sedang tak mengharapkan apa pun. Yaa, takdir memang selucu itu. Ia bahkan menemui sahabat lamanya begitu saja, yang untungnya bersedia membantunya.

šŸ„‚

Ada rotan, ada duriā€”mungkin peribahasa itu gambarannya kini. Ia kira, ia hanya akan tinggal dengannya, Alaricā€”lelaki dingin yang dapat berubah sesuai suasana hatinya. Dan siapa kira? Rupanya ia tak diterima di kediamannya begitu saja, tetapi Alaric mempekerjakannya! TANPA BAYARAN SEPERTI ROMUSA.

"Ya, teruslah mencomel sampai menara Eifeel ada di Indonesia!" seru Alaric dingin. "Kau pikir ada yang gratis di dunia ini? Bukannya aku sudah membiarkanmu tinggal di sini? Makan? Kamar pribadi?"

"T-tapi ... hei, kita ini sudah mengenal sejak lama! Kenapa kau perhitungan begini denganku?"

"Ayolah, membersihkan seluruh apartemenku setiap hari tak akan membuatmu tersiksa!"

"AKU TERSIKSA!" Pearl memekik memelas. "Kau bahkan menyuruhku menggosok langit-langit! Apa kau ini kehilangan akal sehatmu?" jeritnya. Kembali menggosok plafon dengan menggerutu.

Alaric merotasikan bola netra. Tak menyahutinya.

"Hei, jawab aku Ibu Tiri!" pekik Pearl dari atas tangga jenjang.

"Kebersihan itu menyenangkan!"

"Persetan menyenangkan!" sungut Pearl geram. "Jangan bilang kau akan menyuruhku mencuci air! Menyuruhku menggosok laptopmu, atau mungkin mengilapkan bohlam lampumu!"

"Jangan gila!"

"Hei, kaulah yang gila Ibu Tiri!"

"Lalu kau Pearlella?"

"Diā€”eh, boleh juga."

"Jika begitu, bersihkanlah semuanya!" tegas Alaric, menciptakan desisan tajam dari bibir Pearl.

Merawak rambang, Pearl mencelupkan kanebo yang dicekalnya ke dalam ember berisi cairan pel. Membasahinya dan mengangkatnya begitu sajaā€”sungguh tanpa memerasnya. Ia mengaplikasikan kain kasar itu ke permukaan langit-langit, membuatnya basah dan menetes ke permukaan kayu pada dasar ruang tengah itu.

"Hei, jika sampai plafon itu berjamur, aku akan membuatmu menggantikannya!" seru Alaric seraya menunjuk langit-langitnya yang basah seketika atas perbuatan sahabat gilanya.

"Kau tak akan berani!" seru gadis itu. Melempar kanebo ke sembarang arah dengan kilatan pada netranya.

"Ya, aku berani."

Lagi-lagi Pearl mengumpat lirih, lantas segeranya membuang muka. Berlalu ke kamar dan mengurung diri di sana. Meninggalkan Alaric yang tengah menunduk guna memungut kanebo tadi.

Dengan misterius dan mencurigakan, tersungging senyuman tipis dari bibirnya. Lelaki itu terkekeh bahagia.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status