Kini Armor dan Chayyara sudah pindah ke rumah baru dimana mereka akan menetap beberapa bulan ke depan di kota Bandung. Hal itu karena Armor ditugaskan papanya untuk menyelesaikan proyek yang berada di kota tersebut.
Chayyara terlihat sibuk dengan aktivitasnya yang tengah membereskan pakaian hingga tidak menyadari ada seseorang di belakangnya.
Saat Chayyara membalikkan tubuhnya ke arah pintu, Chayyara berjengit kaget, di sana ia melihat Armor tengah bersandar di pintu kamarnya dengan menyilangkan kedua lengan di dada. Tidak lupa wajah pria itu yang selalu menampakan ekspresi dingin membuat Chayyara merasa takut sekaligus bingung harus berbuat apa.
Ya. Armor dan Chayyara memang tidur terpisah.
"Ini." Armor memberikan kartu persegi panjang yang berwarna hitam itu kepada Chayyara. Chayyara menerimanya lantas menatap Armor dengan ekspresi bingung.
"Untuk membeli kebutuhan," ujar Armor. "Dan saya punya peraturan selama kita menjalani hubungan ini," lanjut Armor yang lagi-lagi menatap dingin kepada Chayyara, "Jangan mencampuri urusan saya dalam hal apapun." Armor berkata singkat.
Chayyara mengerjapkan matanya berulang kali, lalu setelahnya mengangguk pelan. Sedangkan Armor sudah melenggang pergi, meninggalkan Chayyara tanpa menjelaskan apapun lagi.
***
Chayyara sudah bangun di pagi hari, membereskan semua yang terlihat berantakan di matanya, lalu berjalan menuju dapur, memasak sarapan untuknya dan tentu saja untuk suaminya. Hari ini merupakan hari ketiga dimana Chayyara bangun pagi dengan status berbeda, menjadi istri Armor, dimana ia harus menerima dan memulai kehidupan barunya.
Saat Chayyara bersiap untuk memasak, ia melongo, tidak terlihat ada bahan-bahan masakan di kulkas. Hal itu membuat Chayyara menghela nafas beratnya. Chayyara tidak terbiasa melihat isi kulkas kosong karena saat Chayyara tinggal di rumah nenek dan kakeknya atau saat ia tinggal di apartemen kakaknya, hal yang selalu Chayyara perhatikan itu pasti isi kulkas dan bufet dapur. Chayyara pasti akan memenuhinya dengan bahan-bahan dan makanan yang sengaja Chayyara sediakan.
Chayyara pun memutuskan untuk memesan bahan-bahan dan sayur-mayur di aplikasi. Chayyara tidak terlalu yakin untuk membeli banyak, jadi ia memutuskan untuk membeli beberapa saja.
Setelah bahan-bahannya sampai, Chayyara pun membayarnya. Dengan bahan yang ia pesan, Chayyara memutuskan untuk membuat omelette. Beberapa menit bergelut di dapur, Omelettenya pun sudah jadi. Chayyara menyajikannya di meja makan. Saat Chayyara sedang menuangkan air ke dalam gelas. Terlihat Armor menghampirinya.
Chayyara berusaha tersenyum kepada Armor, pria itu terlihat mengerutkan kening, hal itu membuat Chayyara khawatir, terlihat dari bagaimana ia menggigit bibir bawahnya.
"Itu…Kay…Kay membeli beberapa bahan di aplikasi, Kak." Armor menoleh sekilas, mengangguk lalu menarik kursi, diikuti Chayyara yang juga melakukan hal yang sama, kini posisi mereka menjadi berhadapan.
Chayyara melihat Armor mulai mencicipi omelette buatannya, Chayyara menggigit bibir bawahnya lagi, ia merasa cemas saat melihat Armor justru tertegun selama beberapa detik, setelahnya menganggukkan kepala namun tidak memberikan komentar apapun kepada Chayyara.
Chayyara pun mulai mencoba omelette buatannya sendiri, tidak ada yang buruk dari rasanya. Saat Chayyara melihat ke arah Armor yang sudah berdiri, mata Chayyara langsung melirik ke arah piring Armor yang ternyata tidak ada sisa makanan di sana, hal itu membuat Chayyara tersenyum.
"Terima kasih," ujar Armor, lantas melenggang pergi meninggalkan Chayyara sendiri di ruang makan.
***
Chayyara berdiri di depan pintu ruang kerja Armor, ia berusaha mengontrol rasa takutnya. Chayyara mengetuk pintu itu dengan ketukan pelan dan terdengar seseorang di dalam yang menyuruhnya untuk masuk.
"Kay…Kay ingin belanja, Kak," ujar Chayyara pelan, Chayyara merasa takut dan gugup secara bersamaan.
Armor mengambil ponselnya terlihat ia tengah menelepon seseorang, membuat Chayyara menunggu keputusan Armor yang mengizinkannya atau tidak.
"Antar Chayyara belanja."
"…"
"Hm." Armor menutup panggilan telfonnya.
"Pak Husain menunggumu di luar," ujar Armor tanpa menatap Chayyara.
Chayyara mengangguk, lantas keluar dari ruang kerja Armor.
"Mari, Nyonya…" ujar seseorang mengejutkan Chayyara yang baru saja membuka pintu rumahnya.
"Eh—maaf, Nyonya kaget ya? Saya tidak bermaksud mengagetkan Nyonya, saya Husain, supir pribadi Tuan Armor," ujar pria paruh baya itu memperkenalkan diri.
Sepanjang perjalanan, Chayyara dikenalkan banyak hal oleh Pak Husain, pria paruh baya itu sangat baik dan ramah, membuat Chayyara tidak merasa canggung dan sesekali tertawa karena Pak Husain sangat senang bergurau.
Sesampainya di Supermarket, Chayyara membeli banyak bahan-bahan dapur, dari mulai sayuran, buah-buahan, daging, dan bumbu-bumbu. Chayyara juga menyempatkan untuk mampir ke tempat perlengkapan bayi, salah satu hal yang kini membuat Chayyara merasa antusias.
Saat Chayyara tengah melihat-lihat etalase yang menampilkan berbagai macam model sepatu bayi, Chayyara tertarik pada satu model sepatu berwarna cokelat, warna yang lucu untuk bayi laki-lakinya nanti.
Saat Chayyara tengah mengusap perutnya, seorang wanita cantik dengan perawakan ramping menghampiri Chayyara lalu mempromosikan satu-persatu dari model sepatu tersebut. Chayyara meminta untuk membungkus satu model sepatu bayi yang berwarna cokelat dengan gambar teddy bear di samping kanan-kiri sepatu itu.
Setelah selesai melihat-lihat, Chayyara memutuskan untuk pulang, dan memasak untuk makan siang Armor.
Sesampainya di rumah, Chayyara dibantu membawakan belanjaan oleh Pak Husain, Chayyara tersenyum ramah seraya mengucapkan terima kasih kepada pria paruh baya itu.
Chayyara terkejut saat melihat Armor tengah duduk di meja pantry dapur, tatapan pria itu jatuh ke arah kantung-kantung belanjaan yang sangat banyak. Chayyara yang menyadari arti tatapan itu, mulai beranggapan jika Armor telah berpikir bahwa dirinya sudah menghabiskan banyak uang milik pria itu.
"Itu… maaf… Kay…"
Pria itu menaikan sebelah alisnya, memperhatikan Chayyara yang kini lebih memilih untuk menundukkan kepala. "Maaf untuk apa?" tanya Armor pada akhirnya, masih dengan ekspresi dinginnya.
"Kay…"
"Tatap mata lawan bicaramu." Armor berujar dengan nada tegas.
Chayyara tampak ragu, namun secara perlahan Chayyara mendongakkan kepalanya, menatap mata Armor dengan sorot ketakutan. Armor tidak bodoh saat melihat tubuh Chayyara yang mulai bergetar.
"Apa?" tanya Armor sekali lagi karena Chayyara tidak kunjung menjawab pertanyaannya.
Chayyara memejamkan matanya, "Kay... itu… Kay sudah menghabiskan tiga juta untuk belanja keperluan bulanan, tolong Kakak jangan marah," ujar Chayyara menghindari dirinya untuk tidak membuka mata karena ia tidak ingin melihat sorot mata Armor yang menyeramkan.
Armor terdiam selama beberapa saat, lantas menyunggingkan senyum tipisnya. Armor ingin tertawa saat mendengar penuturan Chayyara. Tiga juta? bukankah itu jumlah yang terlalu kecil untuk seorang Armor? Mengapa Chayyara berpikir jika ia akan marah hanya karena Chayyara sudah menggunakan uang tiga jutanya? Apa Chayyara selama ini tidak tahu seberapa kaya rayanya Armor?
Chayyara membuka matanya takut-takut. Apakah Armor akan memarahinya setelah ini? pikir Chayyara.
"Tidak masalah." Armor menjawab singkat.
Terlihat Chayyara menghembuskan nafas lega, dan hal itu tidak lepas dari perhatian Armor. Tiba-tiba selintas pertanyaan tentang 'Bagaimana kehidupan Chayyara sebelum bertemu dengannya? Bukankah seharusnya Chayyara terbiasa dengan kehidupan semacam ini?'
Chayyara adalah adik dari mantan kekasihnya yang terkenal dengan kemewahan, belum lagi mendiang ayah Chayyara yang merupakan CEO dari perusahaan tekstil ternama di Indonesia, lalu mengapa Chayyara harus meminta maaf hanya karena sudah menggunakan uang miliknya yang bahkan nominalnya tidak sampai puluhan juta?
Armor melangkah keluar dari dapur, pria itu memutuskan kembali ke ruang kerjanya. Armor mencari nomor seseorang lalu meneleponnya, terdengar suara seseorang di seberang sana.
"Cari tahu semua hal tentang Chayyara." Armor menutup kembali teleponnya, berjalan mendekati kaca jendela, Armor memperhatikan bagian belakang rumahnya yang menampakan taman dan kolam berenang.
Pandangan Armor jatuh kepada sosok kecil yang tengah memperhatikan taman, lalu Armor melihat sosok itu mengambil selang dan mulai menyiram tanaman.
Armor memperhatikan bagaimana tubuh kecil itu berjalan ke sana-kemari, pria itu memasang ekspresi dinginnya, namun tatapannya tidak bisa lepas dari aktivitas yang tengah dilakukan istri kecilnya itu.
Istri kecil?
Bagaimana tidak? Armor yang berusia dua puluh delapan tahun menikahi seorang gadis remaja yang bahkan belum genap berusia dua puluh tahun. Armor baru mengetahuinya saat ia membaca dokumen tentang Chayyara yang diberikan anak buahnya.
***
Chayyara mengetuk pintu ruang kerja Armor untuk memberitahu bahwa makan siang sudah siap.
Armor keluar dari ruang kerjanya, perutnya langsung berbunyi saat mencium aroma sedap dari arah ruang makan. Ia langsung bergegas menghampiri Chayyara yang tengah menuangkan air putih di gelasnya. Dengan cekatan pula, Chayyara terlihat menyendokkan nasi dan lauk-pauk untuknya.
Chayyara tersenyum seraya memberikan piring yang sudah terisi nasi dan lauk pauk itu kepada Armor, "Selamat makan, Kak," ujar Chayyara pelan.
Armor mengangguk, ia mulai mencicipi rasa masakan Chayyara, Armor kembali dibuat tertegun. Tidak dapat dipungkiri jika masakan istri kecilnya itu ternyata memang lezat.
"Itu… tidak enak ya, Kak?" tanya Chayyara memasang wajah khawatirnya.
Armor menggelengkan kepalanya.
"Terlalu pedas? Maaf… Kay… Kay lupa bertanya Kak Armor suka pedas atau tidak," ujar Chayyara menundukan wajahnya takut-takut.
"Ini pas."
"Benarkah?” ujar Chayyara mendongakkan kepalanya dengan wajah berbinar, “Syukurlah kalau begitu."
"Suka memasak?" Kini Armor yang bertanya.
Chayyara mengangguk cepat lantas tersenyum lebar. "Kay sangat suka memasak."
Hal itu membuat Armor terdiam sesaat. Ekspresi Chayyara terlihat menggemaskan, jarang sekali Chayyara menunjukan ekspresi seperti itu kepadanya, biasanya Chayyara hanya akan menunduk atau menatap takut ke arahnya.
Ditatap Armor terlalu lama, membuat Chayyara langsung menyadari sikapnya yang mungkin terkesan berlebihan, pipi Chayyara langsung bersemu merah.
"Masakan apa saja yang bisa kamu buat?" tanya Armor.
Chayyara menghentikan aktivitas makannya, Chayyara menggenggam tangannya agar tidak bergetar saat menatap wajah suaminya itu. "Kay… Kay belajar resep makanan dari berbagai negara, jadi Kay bisa memasak semuanya."
Armor menaikkan sebelah alisnya, merasa tertarik. Pria itu menatap Chayyara dengan serius, membuat Chayyara gugup, terlihat dari bagaimana istri kecilnya itu menundukan kepala.
Satu hal yang kini Armor ketahui mengenai Chayyara, istri kecilnya itu sangat senang memasak.
To be continued...
Beradaptasi kurang lebih selama dua minggu dengan sikap Armor yang terkesan dingin, membuat Chayyara mulai terbiasa menjalani kesehariannya sebagai seorang istri dari seorang Armor Musa Altamiz. Sedikit demi sedikit Chayyara mencoba menghilangkan rasa takutnya. Ia mulai menerima takdirnya dan juga mulai paham bahwa Armor tidak sepenuhnya salah karena pada saat itu juga Armor tidak menyadari tindakannya, pria itu hanya tahu jika dirinya Feranda. Mungkin jika Armor tahu dirinya adalah Chayyara, adik sepupu dari Feranda, Armor tidak mungkin memperkosanya hingga hamil seperti ini. Sekilas bayangan menyakitkan itu datang kembali, Chayyara menghela nafas berat saat mengingatnya. Menelungkupkan kepalanya di lipatan tangan, menyembunyikan air matanya yang sudah mengalir deras. *** Armor berjalan menuju mobilnya, tiba-tiba muncul sosok perempuan yang sangat Armor kenali. Perempuan itu adalah Feranda. Armor bisa melihat jika perempuan itu tengah menangis, dengan wajah pucat dan penampilan
Setelah menemani kakaknya menangis, Chayyara meminta Feranda untuk membersihkan diri dan ikut sarapan bersamanya dan Armor. Kebetulan posisi dapur rumah yang ditinggalinya berada di samping kolam berenang, jadi jika Chayyara ingin ke dapur, perempuan itu harus melewati kolam berenang terlebih dahulu. Saat Chayyara tengah berjalan menuju dapur, tiba-tiba Chayyara merasakan lantainya licin hingga tubuhnya kehilangan keseimbangan, membuat Chayyara langsung jatuh ke kolam. Feranda yang baru saja selesai berganti pakaian, langsung berlari ke arah kolam bersamaan dengan Armor yang terkejut saat mendengar suara riak air kolam. "Chayyara! Chayyara! Tidak bisa berenang, Armor! Tolong Kay! Ya Tuhan!" teriak Feranda panik, membuat Armor langsung terjun ke kolam yang ke dalamannya hampir dua setengah meter. Terlihat pria itu mengangkat tubuh Chayyara dan menaikan tubuh istri kecilnya itu di pinggiran kolam. Armor langsung melakukan resusitasi jantung paru. Sesekali memeriksa apa nafas Chayyar
Chayyara baru saja menyelesaikan ritual mandinya, ia jadi teringat niatannya untuk mengingatkan Armor bahwa sudah saatnya makan malam. Chayyara mengetuk pintu ruang kerja Armor. Namun, tidak terdengar jawaban dari dalam. Chayyara pun memutuskan untuk kembali ke dapur, tetapi langkahnya terhenti saat mendengar suara Armor di pinggir kolam yang kini tengah berbicara dengan seseorang melalui telepon. Chayyara berhenti di ambang pintu, lantas secara tidak sengaja Chayyara mendengar sesuatu yang membuat hatinya berdenyut nyeri. Chayyara menutup mulutnya tidak percaya. Saat Armor akan berbalik, dengan cepat Chayyara pergi dari sana, Chayyara memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Chayyara menenangkan dirinya di dalam kamar, menghapus air matanya yang terus saja mengalir, lantas tatapannya terjatuh ke arah perutnya, ia mengusap perutnya dengan penuh kasih sayang. Setelah sesi menangisnya selesai, Chayyara memutuskan untuk kembali ke dapur dan menyiapkan makan malam untuk Armor, Chayyara
Tadi pagi Chayyara sudah bangun dari tidurnya karena perutnya terasa mual. Hampir berulang kali ia keluar masuk kamar mandi hanya untuk mengeluarkan cairan bening, tubuhnya terasa lemas, tapi waktu sudah menunjukan pukul enam pagi. Biasanya Chayyara sudah bersiap-siap memasak sarapan untuk dirinya dan Armor, tetapi sepertinya ia akan memasak sarapan nasi goreng saja untuk Armor karena suaminya itu harus berangkat kerja dengan keadaan perut terisi. Chayyara memaksakan dirinya untuk berjalan ke arah dapur, mengambil bahan-bahan di kulkas dan mulai bergelut dengan alat-alat dapur. Setelah selesai, Chayyara menghidangkannya di atas meja makan. Chayyara tidak ikut makan karena tidak merasa lapar, namun Armor pasti akan marah padanya jika ia tidak sarapan. Chayyara pun memutuskan mengambil sehelai roti dengan selai nutella kesukaannya. Tak lupa Chayyara juga membuat susu coklat khusus ibu hamil agar bayinya tetap ternutrisi. Chayyara menghela nafas saat pandangannya tertuju pada pintu k
Armor terjaga semalaman hanya untuk mengganti kompresan dan memastikan demam Chayyara turun. Di samping itu, Armor juga menyelesaikan pekerjaannya di malam hari untuk ia berikan kepada Fredy di keesokan harinya. Tanpa disadarinya, ternyata Armor tertidur di sofa, ia terbangun saat mendengar suara berisik dari arah kamar mandi. Armor menoleh ke arah ranjang, tidak ada Chayyara di sana. Ia pun bergegas menuju kamar mandi. Armor memasuki kamar mandi yang memang pintunya terbuka, ia bisa melihat Chayyara tengah memuntahkan isi perutnya di kloset. Ia menghampiri Chayyara untuk kemudian memijat pelan tekuk istri kecilnya itu. Armor juga memegangi rambut Chayyara agar tidak terkena muntahan. "Kak… Kak Armor… keluar," ujar Chayyara lemah. "Nan… nanti jijik," lanjut Chayyara. "Diam,” perintah Armor dingin. Chayyara masih menghadap kloset, ia kembali merasa mual, sambil menangis Chayyara kembali memuntahkan cairan bening dari mulutnya. Chayyara merasa kelelahan, di tambah ia juga merasaka
"Hmm tadi pagi Kay sudah makan tujuh gorengan, terus sekarang sudah delapan gorengan, berarti Kay sudah makan lima belas gorengan." Armor menatap heran ke arah Chayyara, apa tidak ada yang salah dengan istri kecilnya itu? Mengingat nafsu makan Chayyara yang semakin hari semakin membaik, membuat Armor tidak terlalu khawatir akan kondisi istri kecilnya. Meski Armor akui, ia masih sedikit khawatir saat Chayyara masih mengalami mual-mual di pagi hari. Setelah selesai sarapan, Armor melihat Chayyara tengah bersiap untuk sekolah onlinenya, sedangkan dirinya belum berangkat ke kantor karena masih mengecek beberapa berkas di iPadnya. Ketika Chayyara tengah melihat-lihat sosial media, betapa terkejutnya Chayyara melihat berita tentang kakaknya. Chayyara menoleh ke arah Armor yang masih setia duduk di sofa. Armor yang merasa di perhatikan, mengalihkan pandangannya ke arah Chayyara, kini mereka saling bertatapan. "Kenapa?" tanya Armor. Chayyara langsung mengalihkan tatapannya ke arah lain,
Semenjak kejadian kemarin sore, Chayyara mengunci dirinya di kamar. Perempuan itu hanya keluar saat dirinya merasa lapar. Keesokan harinya pun sama, Chayyara tidak keluar dari kamar, tidak meminta Bi Sani untuk belanja, tidak juga memasakan sarapan untuk Armor. "Kemana Chayyara?" tanya Armor kepada Bi Sani. "Nyonya belum keluar dari kamar, Tuan. Apa mungkin Nyonya masih tidur?" ujar Bi Sani hati-hati. Armor menoleh ke arah pintu kamar Chayyara, pria itu mengangguk lantas berjalan ke arah ruang tamu. "Tuan ingin sarapan apa? Karena Nyonya belum bangun, jadi saya belum tahu ingin memasak sarapan apa untuk Tuan." "Tidak perlu. Saya akan sarapan di kantor." Armor menjawab. Sebenarnya Armor ingin memakan sarapannya jika Chayyara yang memasaknya. Mengingat Chayyara mungkin masih marah padanya. Armor memilih untuk menolak tawaran asisten rumah tangganya itu. *** "Proyek di Bandung akan segera selesai, apa Bapak akan kembali ke Jakarta?" tanya Fredy formal. "Berapa persen lagi?" tany
Armor tengah menatap tajam Chayyara yang sedari tadi belum juga menyentuh sarapan paginya. "Sudahlah, Armor..." Armor mendengus kesal, berusaha sabar agar tidak terjadi perdebatan dengan ibunya. "Kay inginnya apa, Sayang? Biar Armor yang belikan." Chayyara tersenyum lantas menggeleng pelan, "Kay belum lapar, Mama." "Tapi kamu harus makan, Sayang. Kasihan bayi kamu nantinya," ujar Silva dengan nada lembut. Chayyara menggigit bibir bawahnya, menatap Silva dan Armor bergantian. Jarinya saling bertautan, ia merasa takut jika harus mengatakan yang sebenarnya. "Ada yang kamu inginkan tidak?" tanya Silva sekali lagi. "Kay…Kay…ingin spicy chicken," ujar Chayyara pelan. Mendengar itu membuat Armor melotot tajam. "Sayang… ini masih pagi untuk makan spicy chicken." "Tidak makanan pedas," pungkas Armor dengan nada dingin. Mata Chayyara berkaca-kaca, perempuan itu menundukan kepalanya. Sudah ia duga kan? Pasti keinginannya tidak akan mendapat izin dari kedua orang dihadapannya. Chayyara