"Armor…” panggil Silva kepada putranya. “Ingat! Seminggu lagi. Pernikahanmu seminggu lagi."
Armor menatap datar mamanya, "Hm," ujar Armor singkat.
Silva tersenyum penuh haru, ia memeluk putra sulungnya itu, mengusap punggung tegap Armor, "Mama memang kecewa padamu, tapi Mama juga bangga karena kamu berani untuk bertanggung jawab." Armor terdiam untuk sesaat, setelahnya ia pun mengangguk lantas membalas pelukan mamanya itu.
Di sisi lain, seseorang tengah menahan tangis setelah mendengar rencana bahwa orang yang paling dirinya cintai akan menikah dengan adik yang dirinya sayangi. Ya. Feranda. Perempuan itu memilih diam di depan pintu unit apartemennya yang memang sedikit terbuka dan membuat Feranda dapat mendengar semua percakapan itu dengan jelas.
***
Chayyara tidak menyangka jika semuanya akan menjadi seperti ini. Menikah dengan kekasih kakaknya bukanlah hal yang Chayyara inginkan. Bahkan Chayyara tidak bisa tidur karena terus memikirkan kakaknya, ia merasa bersalah dengan menikahi kekasih dari kakaknya itu, Feranda.
Chayyara memperhatikan para tamu undangan yang berdatangan, sedari tadi ia merasa cemas pada Feranda yang belum juga menunjukan diri di hari pernikahannya ini.
Di samping Chayyara yang mengharapkan kehadiran kakaknya, Chayyara justru dikejutkan dengan kehadiran tamu spesial. Ya. Kakek dan neneknya yang berasal dari Negeri Gingseng itu menghadiri pernikahannya.
"Sonja..." ujar Yeonna, memeluk Chayyara yang merupakan cucu kesayangannya itu.
"Halmeoni..." lirih Chayyara, membalas pelukan neneknya itu. Chayyara menangis bahagia.
"Banyak yang ingin Halmeoni tanyakan, tapi mungkin bisa nanti saja," ujar wanita paruh baya itu melempar senyum.
Pria paruh baya yang sedari tadi diam menyaksikan pun berjalan menghampiri Chayyara, ia tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca, lantas menatap ke arah Armor dan Chayyara secara bergantian, "축하합니다. 세상에서 가장 행복한 두 분이 되길 바랍니다," ujar Park Yoongi yang merupakan kakek Chayyara, ia ikut memeluk cucu kesayangannya itu. Chukahamnida. Sesangeso ghajang hengbokan dubuni dwegil baramnida. (Selamat. Semoga kalian berdua menjadi orang yang berbahagia di dunia ini).
Armor tersenyum tipis kepada kakek dan nenek dari Chayyara sekaligus Feranda yang baru saja ia ketahui. Meski terkesan kaku, Armor berusaha untuk terlihat sopan dan ramah di mata keduanya.
Pernikahan mereka hanya dihadiri oleh beberapa tamu undangan karena keluarga Armor memang menginginkan konsep intimate wedding dimana hanya keluarga dan kerabat dekat saja yang mereka undang.
Selama pernikahan berlangsung, Armor maupun Chayyara tidak ada yang memulai obrolan. Mereka hanya menyambut tamu, berbincang dan berfoto, selain itu tidak ada lagi. Mungkin terlihat aneh jika pasangan pengantin tidak terlihat akrab di hari pernikahan mereka yang membahagiakan. Namun seperti yang mereka tahu, pernikahan ini ada, bukan atas keinginan mereka sendiri.
Chayyara tersenyum saat kakaknya mulai terlihat memasuki aula, dari kejauhan Chayyara bisa melihat penampilan kakaknya yang sangat cantik, tak lupa juga tubuh tinggi semampai dengan gaun yang menampilkan punggung indah itu selalu membuat Feranda tampak memesona.
Untuk sesaat Armor terpana melihat kekasihnya—maksudnya mantan kekasihnya. Feranda memang cantik dan anggun, dengan postur tubuh model itu siapa yang tidak terpesona melihat aura yang memancar dari diri seorang Feranda.
Feranda langsung memeluk Chayyara, "Selamat atas pernikahan kalian.” Chayyara bisa melihat sorot kesedihan dari pancaran mata kakaknya itu, mereka hanya berbincang beberapa menit hingga Feranda pun beralih kepada seseorang di samping Chayyara, perempuan itu menjabat tangan Armor.
Feranda berusaha tersenyum, wanita itu berusaha tegar saat melihat kekasihnya harus menikahi adiknya sendiri. “Selamat!” ujar Feranda dengan mata yang berkaca-kaca saat ia menatap wajah dingin Armor.
***
Chayyara tengah duduk bersama neneknya di kamar hotel yang sengaja disediakan untuk Chayyara berganti pakaian dan menata ulang riasan dan make-upnya.
Setelah Chayyara meminta waktu kepada Tante Oliana agar membiarkannya berbicara dengan neneknya untuk sebentar saja, kini hanya tersisa mereka berdua.
Chayyara terdiam untuk sesaat, melihat neneknya yang masih setia berdiri di depan pintu kamar hotel.
Tanpa berikir lama, Chayyara langsung berlari ke arah neneknya, ia langsung menangis dipelukan wanita paruh baya yang sudah membesarkan dirinya selama ini, Chayyara menangis tergugu, meratapi nasibnya yang tidak disangka-sangka akan berakhir seperti ini.
Chayyara masih duduk di bangku sekolah atas namun takdir kehidupan membuatnya harus menerima bahwa ia hamil dan harus menikah diusia muda, yang lebih parahnya lagi ayah dari bayi yang dikandungnya adalah kekasih kakak sepupunya sendiri.
"Maafkan Halmeoni, Sayang… maaf… " ujar Yeonna ikut menangis, wanita paruh baya itu mencium kepala Chayyara.
Setelah sepuluh menit Chayyara gunakan untuk menangis, seseorang mulai mengetuk pintu, itu pasti para asisten Tante Oliana yang mengingatkan bahwa mereka tidak punya banyak waktu. Yeonna melepaskan pelukannya, lantas mengusap pipi cucunya itu.
Yeonna tersenyum, "Dengarkan Halmeoni…” Chayyara masih terlihat sesenggukan, namun Chayyara tetap menganggukkan kepalanya.
"Meski kamu tidak mencintai, Armor. Meski pernikahan kalian terjadi karena sebuah peristiwa yang tidak mengenakan. Tapi hadirnya janin yang tumbuh di perutmu itu bukanlah sebuah kesalahan, itu anugerah dari Tuhan,”
“Usia Yara memang masih muda, tetapi Halmeoni cukup mengenal kamu selama ini. Kamu sudah tumbuh menjadi gadis cantik, baik dan penurut. Bahkan sebelum usiamu dinyatakan dewasa, Halmeoni sudah melihat sikap dewasamu saat pertama kali kamu tinggal di rumah Halmeoni,"
"Yara… kedewasaan seseorang itu tidak bisa diukur dari usia, tapi dari sikap, cara kita berpikir dan juga bagaimana kita mengambil keputusan. Kamu selalu menerima apa yang terjadi pada dirimu, Sayang… meski Halmeoni tahu itu bukanlah hal yang mudah untuk kamu terima dan hadapi. Tetapi keputusan kamu kali ini merupakan sikap yang sangat dewasa, mempertahankan janin, siap tidak siap kamu tetap menerimanya… kamu sudah melakukan yang terbaik!”
Chayyara menundukan kepalanya.
"Kamu itu seperti ibumu, Halmeoni tidak pernah menyesal membiarkan ayahmu yang kekanak-kanakan itu menikahi ibumu. Nyatanya, ibumu membantu ayahmu untuk bersikap lebih dewasa dan membangun rumah tangga yang di anugerahi seorang putri cantik, yaitu kamu, Kim-Yara," ujar Yeonna seraya menghapus air matanya, jika mengingat putra dan menantunya itu, Yeonna tidak bisa untuk tidak menangis.
"Sekarang, izinmu itu tergantung izin suamimu. Bahagiakan suamimu, laksanakan kewajibanmu. Jangan menentang perkataan suami, jangan sesekali kamu berbicara dengan nada tinggi, jangan menjadi istri pembangkang, terimalah segala kekurangan dan kelebihan suamimu, Armor, ayah dari anakmu. Jadilah istri yang berbakti kepada suami, Yara. Jadilah ibu yang baik, jadilah rumah untuk suami dan anak-anakmu, dengar apa kata Halmeoni?"
Chayyara mengangguk, lalu memeluk kembali neneknya itu untuk beberapa saat. Setelah itu, Chayyara mengizinkan para asisten Tante Oliana masuk, membantunya mengganti pakaian, dan menata ulang riasan Chayyara untuk acara nanti malam.
Langit mulai gelap, waktu sudah menunjukan pukul tujuh malam, dimana rangkaian acara pernikahan Armor dan Chayyara di akhiri dengan jamuan makan malam dan pesta dansa.
Chayyara berjalan memasuki aula, semua mata tertuju kepada Chayyara yang terlihat cantik, auranya yang lembut dan teduh membuat siapa saja yang melihatnya tidak bisa berpaling. Hal itupun terjadi pada Armor saat melihat Chayyara, Armor sempat terdiam memperhatikan Chayyara yang tampil dengan balutan gaun putih dan make-up natural yang entah mengapa hal itu justru membuat Chayyara terlihat lebih cantik dari riasan make-up pagi tadi.
Chayyara tersenyum saat ia sudah berada dihadapan Armor, sedangkan Armor masih memasang tampang dinginnya, menyembunyikan ekspresi kagumnya kepada perempuan yang kini telah sah menjadi istrinya.
Setelah acara jamuan makan malam selesai, Chayyara terlebih dahulu pamit kepada para tamu, karena Silva memaksa Chayyara untuk beristirahat, Chayyara tidak boleh kelelahan saat usia kandungannya masih sangat rentan mengalami keguguran, Silva tidak ingin hal-hal buruk terjadi pada Chayyara hanya karena membiarkan Chayyara kelelahan.
Sesampainya di kamar, Chayyara melepas gaun pengantin, menghapus make-up, lalu mandi air hangat. Saat Chayyara tengah mencari kopernya, seseorang membuka pintu kamar hotel. Chayyara langsung membalikkan tubuhnya dengan ekspresi terkejut. Wajah Chayyara bersemu merah, menahan rasa malu karena Chayyara masih mengenakan handuk.
Armor menatap Chayyara dengan ekspresi dingin, pria itu melepas jasnya lalu melemparkannya ke sofa.
Sedangkan Chayyara tengah menggigit bibir bawahnya, "Kak… Armor?" panggil Chayyara pelan.
Armor mengerutkan keningnya, untuk pertama kalinya Chayyara memanggil dirinya meski dengan menambahkan embel-embel 'kak' di depannya.
Armor menolehkan ke arah Chayyara yang kini tengah menunduk. "Koper Kay... itu..."
Armor yang mengerti maksud Chayyara pun langsung mengeluarkan ponselnya lantas menelepon seseorang.
"Ambilkan koper," perintah Armor.
"…"
"Hm." Armor menjawab singkat.
Setelah anak buahnya membawakan apa yang Armor perintahkan, pria itu memberikannya kepada Chayyara, lalu terlihat sosok kecil itu langsung berlari memasuki kamar mandi.
Armor menatap keluar jendela hotel yang menunjukan pemandangan kota di bawah sana. Pria itu memejamkan matanya selama beberapa menit. Saat mendengar pintu kamar mandi terbuka, Armor pun mulai berjalan mendekati kamar mandi.
Tatapan Armor kini tertuju pada Chayyara yang sempat menatapnya juga, perempuan itu terlihat mematung di tempat membuat langkah Armor terhenti di hadapan Chayyara. Armor bukanlah pria bodoh yang tidak bisa melihat reaksi Chayyara saat ini. Apakah Chayyara benar-benar takut padanya?
Bodoh Armor jika ia bertanya seperti itu, jelas Chayyara ketakutan padanya setelah apa yang sudah ia lakukan kepada perempuan itu.
"Mau sampai kapan berdiri di situ?" tanya Armor dengan nada dinginnya. "Saya mau mandi," lanjutnya.
Chayyara yang tersadar pun langsung menggeserkan tubuhnya lalu melangkah menuju tempat tidur. Namun panggilan Armor tiba-tiba menghentikannya.
"Saya tidak akan meminta apapun malam ini. Jadi tidurlah."
Mendengar ucapan bernada tegas dan dingin itu membuat jantung Chayyara berdegup kencang, dengan langkah cepat, Chayyara menarik selimut dan langsung membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Chayyara bertanya-tanya dalam hati, mengapa Armor mengetahui apa yang sedang Chayyara pikirkan?
To be continued...
Kini Armor dan Chayyara sudah pindah ke rumah baru dimana mereka akan menetap beberapa bulan ke depan di kota Bandung. Hal itu karena Armor ditugaskan papanya untuk menyelesaikan proyek yang berada di kota tersebut.Chayyara terlihat sibuk dengan aktivitasnya yang tengah membereskan pakaian hingga tidak menyadari ada seseorang di belakangnya.Saat Chayyara membalikkan tubuhnya ke arah pintu, Chayyara berjengit kaget, di sana ia melihat Armor tengah bersandar di pintu kamarnya dengan menyilangkan kedua lengan di dada. Tidak lupa wajah pria itu yang selalu menampakan ekspresi dingin membuat Chayyara merasa takut sekaligus bingung harus berbuat apa.Ya. Armor dan Chayyara memang tidur terpisah."Ini." Armor memberikan kartu persegi panjang yang berwarna hitam itu kepada Chayyara. Chayyara menerimanya lantas menatap Armor dengan ekspresi bingung."Untuk membeli kebutuhan," ujar Armor. "Dan saya punya peraturan selama kita menjalani hubungan ini," lanjut Armor yang lagi-lagi menatap dingin
Beradaptasi kurang lebih selama dua minggu dengan sikap Armor yang terkesan dingin, membuat Chayyara mulai terbiasa menjalani kesehariannya sebagai seorang istri dari seorang Armor Musa Altamiz. Sedikit demi sedikit Chayyara mencoba menghilangkan rasa takutnya. Ia mulai menerima takdirnya dan juga mulai paham bahwa Armor tidak sepenuhnya salah karena pada saat itu juga Armor tidak menyadari tindakannya, pria itu hanya tahu jika dirinya Feranda. Mungkin jika Armor tahu dirinya adalah Chayyara, adik sepupu dari Feranda, Armor tidak mungkin memperkosanya hingga hamil seperti ini. Sekilas bayangan menyakitkan itu datang kembali, Chayyara menghela nafas berat saat mengingatnya. Menelungkupkan kepalanya di lipatan tangan, menyembunyikan air matanya yang sudah mengalir deras. *** Armor berjalan menuju mobilnya, tiba-tiba muncul sosok perempuan yang sangat Armor kenali. Perempuan itu adalah Feranda. Armor bisa melihat jika perempuan itu tengah menangis, dengan wajah pucat dan penampilan
Setelah menemani kakaknya menangis, Chayyara meminta Feranda untuk membersihkan diri dan ikut sarapan bersamanya dan Armor. Kebetulan posisi dapur rumah yang ditinggalinya berada di samping kolam berenang, jadi jika Chayyara ingin ke dapur, perempuan itu harus melewati kolam berenang terlebih dahulu. Saat Chayyara tengah berjalan menuju dapur, tiba-tiba Chayyara merasakan lantainya licin hingga tubuhnya kehilangan keseimbangan, membuat Chayyara langsung jatuh ke kolam. Feranda yang baru saja selesai berganti pakaian, langsung berlari ke arah kolam bersamaan dengan Armor yang terkejut saat mendengar suara riak air kolam. "Chayyara! Chayyara! Tidak bisa berenang, Armor! Tolong Kay! Ya Tuhan!" teriak Feranda panik, membuat Armor langsung terjun ke kolam yang ke dalamannya hampir dua setengah meter. Terlihat pria itu mengangkat tubuh Chayyara dan menaikan tubuh istri kecilnya itu di pinggiran kolam. Armor langsung melakukan resusitasi jantung paru. Sesekali memeriksa apa nafas Chayyar
Chayyara baru saja menyelesaikan ritual mandinya, ia jadi teringat niatannya untuk mengingatkan Armor bahwa sudah saatnya makan malam. Chayyara mengetuk pintu ruang kerja Armor. Namun, tidak terdengar jawaban dari dalam. Chayyara pun memutuskan untuk kembali ke dapur, tetapi langkahnya terhenti saat mendengar suara Armor di pinggir kolam yang kini tengah berbicara dengan seseorang melalui telepon. Chayyara berhenti di ambang pintu, lantas secara tidak sengaja Chayyara mendengar sesuatu yang membuat hatinya berdenyut nyeri. Chayyara menutup mulutnya tidak percaya. Saat Armor akan berbalik, dengan cepat Chayyara pergi dari sana, Chayyara memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Chayyara menenangkan dirinya di dalam kamar, menghapus air matanya yang terus saja mengalir, lantas tatapannya terjatuh ke arah perutnya, ia mengusap perutnya dengan penuh kasih sayang. Setelah sesi menangisnya selesai, Chayyara memutuskan untuk kembali ke dapur dan menyiapkan makan malam untuk Armor, Chayyara
Tadi pagi Chayyara sudah bangun dari tidurnya karena perutnya terasa mual. Hampir berulang kali ia keluar masuk kamar mandi hanya untuk mengeluarkan cairan bening, tubuhnya terasa lemas, tapi waktu sudah menunjukan pukul enam pagi. Biasanya Chayyara sudah bersiap-siap memasak sarapan untuk dirinya dan Armor, tetapi sepertinya ia akan memasak sarapan nasi goreng saja untuk Armor karena suaminya itu harus berangkat kerja dengan keadaan perut terisi. Chayyara memaksakan dirinya untuk berjalan ke arah dapur, mengambil bahan-bahan di kulkas dan mulai bergelut dengan alat-alat dapur. Setelah selesai, Chayyara menghidangkannya di atas meja makan. Chayyara tidak ikut makan karena tidak merasa lapar, namun Armor pasti akan marah padanya jika ia tidak sarapan. Chayyara pun memutuskan mengambil sehelai roti dengan selai nutella kesukaannya. Tak lupa Chayyara juga membuat susu coklat khusus ibu hamil agar bayinya tetap ternutrisi. Chayyara menghela nafas saat pandangannya tertuju pada pintu k
Armor terjaga semalaman hanya untuk mengganti kompresan dan memastikan demam Chayyara turun. Di samping itu, Armor juga menyelesaikan pekerjaannya di malam hari untuk ia berikan kepada Fredy di keesokan harinya. Tanpa disadarinya, ternyata Armor tertidur di sofa, ia terbangun saat mendengar suara berisik dari arah kamar mandi. Armor menoleh ke arah ranjang, tidak ada Chayyara di sana. Ia pun bergegas menuju kamar mandi. Armor memasuki kamar mandi yang memang pintunya terbuka, ia bisa melihat Chayyara tengah memuntahkan isi perutnya di kloset. Ia menghampiri Chayyara untuk kemudian memijat pelan tekuk istri kecilnya itu. Armor juga memegangi rambut Chayyara agar tidak terkena muntahan. "Kak… Kak Armor… keluar," ujar Chayyara lemah. "Nan… nanti jijik," lanjut Chayyara. "Diam,” perintah Armor dingin. Chayyara masih menghadap kloset, ia kembali merasa mual, sambil menangis Chayyara kembali memuntahkan cairan bening dari mulutnya. Chayyara merasa kelelahan, di tambah ia juga merasaka
"Hmm tadi pagi Kay sudah makan tujuh gorengan, terus sekarang sudah delapan gorengan, berarti Kay sudah makan lima belas gorengan." Armor menatap heran ke arah Chayyara, apa tidak ada yang salah dengan istri kecilnya itu? Mengingat nafsu makan Chayyara yang semakin hari semakin membaik, membuat Armor tidak terlalu khawatir akan kondisi istri kecilnya. Meski Armor akui, ia masih sedikit khawatir saat Chayyara masih mengalami mual-mual di pagi hari. Setelah selesai sarapan, Armor melihat Chayyara tengah bersiap untuk sekolah onlinenya, sedangkan dirinya belum berangkat ke kantor karena masih mengecek beberapa berkas di iPadnya. Ketika Chayyara tengah melihat-lihat sosial media, betapa terkejutnya Chayyara melihat berita tentang kakaknya. Chayyara menoleh ke arah Armor yang masih setia duduk di sofa. Armor yang merasa di perhatikan, mengalihkan pandangannya ke arah Chayyara, kini mereka saling bertatapan. "Kenapa?" tanya Armor. Chayyara langsung mengalihkan tatapannya ke arah lain,
Semenjak kejadian kemarin sore, Chayyara mengunci dirinya di kamar. Perempuan itu hanya keluar saat dirinya merasa lapar. Keesokan harinya pun sama, Chayyara tidak keluar dari kamar, tidak meminta Bi Sani untuk belanja, tidak juga memasakan sarapan untuk Armor. "Kemana Chayyara?" tanya Armor kepada Bi Sani. "Nyonya belum keluar dari kamar, Tuan. Apa mungkin Nyonya masih tidur?" ujar Bi Sani hati-hati. Armor menoleh ke arah pintu kamar Chayyara, pria itu mengangguk lantas berjalan ke arah ruang tamu. "Tuan ingin sarapan apa? Karena Nyonya belum bangun, jadi saya belum tahu ingin memasak sarapan apa untuk Tuan." "Tidak perlu. Saya akan sarapan di kantor." Armor menjawab. Sebenarnya Armor ingin memakan sarapannya jika Chayyara yang memasaknya. Mengingat Chayyara mungkin masih marah padanya. Armor memilih untuk menolak tawaran asisten rumah tangganya itu. *** "Proyek di Bandung akan segera selesai, apa Bapak akan kembali ke Jakarta?" tanya Fredy formal. "Berapa persen lagi?" tany