Share

Chapter 07 - Ketidaksengajaan

Chayyara baru saja menyelesaikan ritual mandinya, ia jadi teringat niatannya untuk mengingatkan Armor bahwa sudah saatnya makan malam.

Chayyara mengetuk pintu ruang kerja Armor. Namun, tidak terdengar jawaban dari dalam. Chayyara pun memutuskan untuk kembali ke dapur, tetapi langkahnya terhenti saat mendengar suara Armor di pinggir kolam yang kini tengah berbicara dengan seseorang melalui telepon.

Chayyara berhenti di ambang pintu, lantas secara tidak sengaja Chayyara mendengar sesuatu yang membuat hatinya berdenyut nyeri. Chayyara menutup mulutnya tidak percaya. Saat Armor akan berbalik, dengan cepat Chayyara pergi dari sana, Chayyara memutuskan untuk kembali ke kamarnya.

Chayyara menenangkan dirinya di dalam kamar, menghapus air matanya yang terus saja mengalir, lantas tatapannya terjatuh ke arah perutnya, ia mengusap perutnya dengan penuh kasih sayang.

Setelah sesi menangisnya selesai, Chayyara memutuskan untuk kembali ke dapur dan menyiapkan makan malam untuk Armor, Chayyara berusaha menyembunyikan kesedihannya dengan bersikap seolah-olah dirinya tidak mengetahui apa-apa.

Armor menoleh ke arah Chayyara yang baru saja datang, pria itu pun mengikuti Chayyara dari belakang menuju meja makan. Mereka menikmati makan malamnya dengan keadaan hening.

"Bagaimana sekolahnya?" tanya Armor.

"Baik," ujar Chayyara pelan, namun lagi-lagi Chayyara tidak menatap Armor, Chayyara memilih fokus pada makan malamnya.

Armor mengangguk, lantas berdiri saat makanannya sudah habis di piring.

"Bawakan saya kopi ke ruang kerja."

"Iya."

"Tidak pakai gula."

"Baik, Kak."

Terdengar seperti perintah, hal itu membuat Chayyara mau tak mau menganggukkan kepalanya. Saat Armor sudah meninggalkan ruang makan, Chayyara menghentikan aktivitas makannya. Ia sudah tidak berselera untuk menghabiskan makan malamnya.

***

Armor mengepalkan tangannya sekuat tenaga saat melihat berita panas mengenai Feranda. Perempuan itu ketahuan berciuman dengan salah satu model pria terkenal, dan tertangkap oleh kamera paparazi, membuat berita itu menjadi tranding saat ini.

Tidak dapat mengelak jika di dalam lubuk hati Armor, pria itu masih memiliki perasaan pada Feranda.

Namun di sisi lain ia akan menjadi seorang ayah dari anak yang kini tengah dikandung oleh adik mantan kekasihnya. Seakan dunia mengajaknya bercanda, rencana yang sudah Armor rancang dengan matang, soal pernikahan, rumah, liburan, hadiah bahkan masa depan tentang anak bersama Feranda, hancur dalam seketika.

Terlebih Armor harus menjaga sikap pada Feranda karena ia tidak ingin membahayakan bayinya yang mungkin akan mendapat karma atas perbuatannya sendiri.

Armor mendapat panggilan, melihat nama seseorang tertera di sana, ia pun langsung mengangkatnya. Armor memejamkan mata lalu menarik nafasnya dalam-dalam. Fredy baru saja memberi kabar bahwa partner bisnis mereka membatalkan kerja sama secara sepihak, dan hal itu membuat Armor sangat marah.

Tok...

Tok...

Tok...

"Masuk," ujar Armor dingin.

Terlihat tubuh kecil itu memasuki ruang kerjanya dengan membawa secangkir kopi. Chayyara tersenyum, lantas berjalan secara perlahan ke arah Armor.

"Kak ini kopinya..."

Armor mengangguk, lalu kembali fokus pada berkas-berkasnya.

Tak

"Ah..."

PYARRR

Chayyara tidak tahu jika lantai ruang kerja Armor terdapat undakan tangga, membuatnya hampir saja terjatuh. Beruntungnya, Chayyara berhasil menahan tubuhnya dengan kedua tangan dan membuat perutnya tidak langsung menghantam lantai.

"Eh-"

Mata Chayyara membelalak saat melihat pemandangan di depannya. Kopi yang baru Chayyara bawa terlempar ke depan dan mengenai berkas-berkas yang tergeletak di meja kerja Armor.

“Kak—Kay… Kay… tidak sengaja, Kay minta maaf… Kay—”

Armor yang terdiam dan masih memproses apa yang baru saja terjadi, mendadak emosinya kembali memuncak saat melihat berkas-berkas pentingnya terkena tumpahan kopi. Armor menggebrak meja, menatap tajam ke arah Chayyara yang kini tengah menatapnya dengan sorot ketakutan.

"Keluar, Chayyara." Armor berujar dingin, namun auranya terasa menyeramkan.

"Kak Armor, Kay minta maaf, Kay—"

"Saya bilang keluar!" ujar Armor meninggikan nada bicaranya.

"Tapi Kay tidak bermak—"

"KELUAR!" bentak Armor dengan suara lantangnya.

Chayyara langsung diam, jantungnya berdegup kencang, matanya memanas. Chayyara membalikkan tubuhnya, berlari keluar dari ruang kerja suaminya itu.

Armor mengacak-acak rambutnya. Sungguh hari ini benar-benar kacau, hari yang teramat sial bagi seorang Armor Musa Altamiz.

Armor mengambil berkas-berkas yang terkena tumpahan kopi itu, membuangnya ke tempat sampah, lantas menelepon Fredy untuk kembali mengirimkan salinan berkas-berkas penting itu. Pria itu menghela nafas berat, benar-benar hari yang melelahkan.

***

Chayyara jadi teringat obrolan yang tak sengaja ia dengar tadi sore di dekat kolam berenang. Air matanya lagi-lagi mengalir, tidak seperti biasanya, kini dirinya memang menjadi lebih sensitif.

"Siapkan surat perceraian..."

"Ya. Setelah bayi itu lahir..."

"Aku ingin hak asuh anak jatuh ke tanganku."

Perempuan itu menghela nafas panjang, menghapus air matanya, lalu mulai memejamkan matanya.

Ya, sampai kapan pun Chayyara akan menyadarkan dirinya bahwa mustahil jika ia dapat membangun keluarga harmonis sesuai impiannya karena Armor akan menceraikannya setelah bayi di dalam kandungannya lahir.

Mengingat ucapan dan sikap Armor, Chayyara kembali terisak, membiarkan segala pertanyaan memenuhi pikirannya, dan sibuk menyalahkan dirinya hingga Chayyara pun jatuh tertidur.

***

Armor berjalan ke ruang makan saat dilihat ternyata sarapan nasi goreng sudah siap di meja. Namun, Armor tidak melihat sosok kecil yang biasanya selalu menemani dirinya sarapan. Ada apa? Apa Chayyara sengaja menjauhi dirinya karena insiden kemarin?

Apa Armor terlalu kasar dengan membentak Chayyara kemarin? Armor benar-benar hilang kendali karena kemarin adalah hari yang benar-benar buruk bagi dirinya.

Armor menghabiskan sarapan nasi gorengnya, setelah itu ia melangkah keluar rumah, sebelum itu pandangannya mengarah ke pintu kamar Chayyara. Pria itu pun menghela nafas panjang, ada setitik rasa bersalah di hatinya.

***

"Pak!" panggil Fredy.

Fredy melambaikan tangannya di depan wajah Armor, menggelengkan kepalanya saat menyadari jika direktur utama tempat Fredy bekerja tengah melamun.

"Hello, Pak!"

"Gue gak transparan kan ini sampe gak dilihat gini?" tanya Fredy pelan pada dirinya sendiri.

"Pak Armor, mohon segara sadar dan dengarkan saya."

Fredy menatap jengkel Armor, "Woy!" sentak Fredy dengan nada tinggi membuat Armor langsung menoleh ke arah Fredy dengan tatapan membunuh.

"Kenapa lo? Gak di kasih jatah sama bini sampe melamun gini?" sindir Fredy. "Gue panggil dari tadi, astaga!"

"Berisik!" ujar Armor. "Apaan?" tanya Armor lagi dengan wajah kesalnya.

"Masalah lo udah kelar, mereka udah di basmi, malam ini siap eksekusi." Fredy menyerahkan map tebal yang dibawanya kepada Armor.

Armor lantas menerima map itu, membukanya, lantas mengangguk. Armor tersenyum miring saat melihat daftar nama para pengkhianat yang membuat kerugian besar pada anak perusahaan yang baru saja dirintisnya.

“Hukum di negara ini emang gak bisa dipercaya lagi,” ujar Fredy. “Untung aja ada yang laporan, kalau nggak, udah pasti mereka pergi bersembunyi.”

“Huft… emang di jaman sekarang kalau mau puas ngehukum orang, harus turun tangan, gak bisa ngandelin orang lain yang gampang banget disogok uang.”

Armor mengangguk setuju. Ia tidak bisa membiarkan pengkhianat itu bebas begitu saja karena berhasil menyuap para petinggi hukum. Jika mereka berniat bermain-main dengan Armor, makan dirinya tidak akan segan-segan mengeluarkan taring untuk menghabisi mereka langsung.

To be continued...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status