Share

Ruang Kepala Sekolah

Kini Yandi harus berurusan lagi dengan kepala sekolah. Memang bukan sekali atau dua kali ia datang ke ruang kepala sekolah. Bisa di bilang, ia seperti pelanggan yang tak bosan masuk ke ruangan ini.

“Yandi, kamu kenapa selalu buat masalah? Kamu nggak bosan buat masalah terus?” Tanya kepala sekolah. 

“Saya nggak buat masalah, pak,” sahut Yandi santai, karena ia merasa dirinya tak bersalah.

“Kamu ini udah salah, terus nggak mau ngaku gitu?” tanya kepala sekolah menaikkan suaranya.

“Pak, saya emang gak buat masalah. Bu Dina aja yang berlebihan.” Bukan Yandi jika tak mebantah perkataan para guru.

Pernyataan Yandi benar-benar menghabiskan tabungan kesabaran kepala sekolah. “Kamu sekarang ke lapangan, hormat bendera sampai jam pulang!” ucap kepala sekolah memberi hukuman. 

Siswa itu pun tak merasa keberatan saat diberi hukuman. Malahan ia menerima hukuman itu dengan senang hati. “Oke pak. Kalau gitu saya permisi,” terima Yandi, dan segera melaksanakan hukumannya.

Di tengah teriknya matahari, Yandi sedang menjalani hukumannya. Para siswa yang sedang melihatnya pun sudah merasa bosan. “Waaah... gak bosan ya dia,” ujar seorang siswa menggelengkan kepalanya saat melihat Yandi. 

“Mungkin dia suka kali,” ujar Rita membalas ucapan pria itu. 

“Gitu-gitu dia teman sekelas lo tuh,” ujar siswa itu sambil menunjuk Rita. 

“Bodoh amat. Emang gue peduli? Apa urusannya ama gue?” Balas Rita ketus dan meninggalkan siswa itu. 

                       

                           ************

Jam pelajaran kini telah berlalu, hukuman Yandi pun berakhir. Kini Yandi hendak meninggalkan lapangan dan menuju ke kelas untuk mengambil tasnya. Namun, langkah Yandi terhenti saat seseorang memanggil namanya. “Yandi,” panggil seorang guru sambil berjalan mendekatinya yang tak jauh dari tiang bendera. 

“Iya pak,” jawab Yandi sambil mengalihkan pandangannya ke sisi kanannya, di mana guru itu berada. 

“Kamu baik-baik, aja?” tanya guru itu penuh perhatian. 

Pertanyaan itu langsung membuat Yandi merasa mual. “Bapak lihat saya baik-baik saja, kan. Berarti saya gak kenapa-napa.” Yandi menjawab dengan ketus, karena baginya guru itu tidak tulus. 

itu pun berjalan mendekati Yandi. “Yandi, kamu harus rubah perilaku kamu. Kamu itu sekolah bukan hanya buat pintar, tapi memperbaiki sikap kamu.” ujar pria bertubuh sedikit gemuk dengan seragam berwarna coklat memberi nasihat.

Begitu mendengar nasihat dari pria itu, raut wajah Yandi terlihat jelas mengatakan ia tak menyukai guru tersebut. “Bapak gak usah sok baik sama aku, nasehatin aku, terus ujung-ujungnya cuma cari muka sama orang tua aku kayak guru-guru lain,” ucap Yandi ketus. Bagi Yandi ucapan yang disampaikan oleh guru tersebut mempunyai maksud terselubung.

“Bapak gak perlu hal kayak gitu,” balas pria dengan tubuh yang sedikit gemuk dengan tegas. 

“Aku gak percaya tuh. Apalagi bapak guru baru.” Yandi tetap tak memercai perkataan pria itu, karena baginya semua guru di sekolah itu tak ada bedanya. 

“Mungkin sekarang bapak bisa bilang gitu. Tapi kalau bapak udah ketemu orang tua saya, pasti bapak sama kayak guru-guru lain,” ucap Yandi lalu membuang wajahnya.

“Kamu pegang kata-kata bapak. Bapak gak akan berubah, sekalipun tahu siapa orang tua kamu.” Pria itu meminta Yandi memegang ucapannya. Ia yakin bahwa dirinya tak sama seperti guru lainnya yang mudah tergiur dengan tawaran manis. 

“Oke. Saya permisi pak,” ucap Yandi dan berlalu menuju kelasnya.

Langkah Yandi lagi-lagi terhenti saat ia hampir mendekati ruang kelasnya, karena seorang siswa memanggilnya. Siswa itu memberitahunya, bahwa kepala sekolah ingin bertemu dengannya dan memintanya untuk segera ke ruang kepala sekolah. 

Rasa kesal langsung menumpuk begitu ia mendengar perkataan siswa itu. “Emang ada apaan, sih?” tanya Yandi kesal.

“Mana gue tahu! Gue bukan kepsek (kepala sekolah). Kalau lo mau tahu, ya langsung aja.” balas siswa itu ketus.

Dengan wajah yang begitu penuh kemalasan, Yandi memasuki ruang kepala sekolah. “Ada apa pak?” tanya Yandi dalam keadaan berdiri. 

“Kamu duduk dulu,” ujar kepala sekolah meminta Yandi duduk berhadapan dengannya.

Yandi pun duduk berhadapan dengan kepala sekolah di sebuah kursi kayu berwarna coklat muda. “Ada apa, pak?” tanya Yandi tak sabar berlama-lama di sekolah. 

“Yandi, besok ada lomba cerdas cermat antar sekolah. Tapi satu pesertanya tadi baru saja masuk rumah sakit,” ujar kepala sekolah memulai pembicaraan.

Yandi yang mengerti ke arah mana pembicaraan kepala sekolah, langsung membuang wajahnya ke samping. “Lombanya itu besok, kamu bisa gantiin, kan? tanya kepala sekolah penuh harap. 

“Cerdas cermat apaan, pak?” tanya Yandi tanpa melihat kepala sekolah. 

“Cerdas cermat matematika,” jawab kepala sekolah penuh harap.

Pria itu terlihat tenang saat mengajukan permintaan tersebut. Ia berpikir bahwa Yandi pasti langsung akan menerima permintaannya. “Kenapa waktu itu gak pilih saya? Kenapa setiap kali ada lomba atau kegiatan yang udah sampai ujung tanduk, baru bapak minta saya yang gantiin?” balas Yandi dengan wajah masa bodohnya. 

“Yandi, kalau kamu ikut keluarga kamu bakal bangga nantinya. Kamu juga bisa dapat teman baru yang lebih baik,” bujuk kepala sekolah. 

“Saya gak ikutan pak,” ujar Yandi tegas.

Hancur sudah semua harapan Kepala sekolah.

Kini ia harus berpikir lebih keras agar dapat membujuk Yandi. “Yandi, kalau kamu gak ikut, nama sekolah kita bisa hancur.” Ucapan kepala sekolah terdengar begitu lucu baginya. Pasalnya ia tak bertanggung jawab, jika nama sekolah mereka hancur.

“Salah bapak, dong. Siapa suruh milih orang lain. Masa salah saya?” ucap Yandi tak memedulikan perkataan kepala sekolah.

Namun, kepala sekolah tak menyerah. Ia terus berusaha membujuk Yandi dengan berbagai macam cara. “Yandi, semua ini ada manfaatnya buat kamu,” ujar kepala sekolah yang terus membujuknya. 

Melihat kepala sekolah yang terus membujuknya, membuatnya berpikir untuk mengambil kesempatan bagus. “Oke aku mau, tapi ada syaratnya pak. Gimana?” ujar Yandi memainkan sebelah alisnya. 

“Baik, bapak setuju. Apa syaratnya?” ujar kepala sekolah penuh percaya diri. Ia berpikir bahwa dirinya dapat memenuhi permintaan Yandi.

“Jangan hukum aku, atau panggil aku ke ruangan ini kalau aku buat masalah,” ucap Yandi santai menyampaikan keinginannya. 

Raut wajah pria itu seketika berubah. Semua kepercayaan dirinya langsung saja menghilang. Ia merasa sangat berat menerima persyaratan itu. Namun, ia tak ingin nama sekolahnya menjadi taruhan. “Yandi, kamu gak bisa minta yang lain?” Kepala sekolah terus membujuknya untuk memberikan syarat lain.

Sayangnya, Yandi bersikeras pada persyaratan yang telah diberikannya. “Gak bisa pak. Kalau bapak nggak setuju, ya udah. Aku juga malas buang-buang waktu ikut gituan,” jawab Yandi dan segera bangkit dari duduknya. 

Mau tak mau kepala sekolah harus mengambil resiko atas permintaannya. “Yandi, duduk dulu. Bapak belum selesai bicara sama kamu,” ucap kepala sekolah menahan langkah Yandi. 

“Baik, bapak terima persyaratan dari kamu. Tapi hanya seminggu,” ucap kepala sekolah dengan berat hati.

Dengan cepat Yandi segera menolak lagi. “Gak bisa seminggu, pak,” balas Yandi dalam keadaan berdiri. 

“Aku mau semuanya setara sama semua lomba-lomba dadakan yang pernah aku ikutin. Kalau bapak gak setuju, aku juga gak maksa.” Sekalipun ia adalah anak yang selalu bermasalah, tetapi ia juga merupakan siswa andalan para guru saat para siswa pilihan mereka berhalangan. Walaupun selalu menjadi peserta dadakan dalam setiap lomba, namun ia selalu membawa kemenangan bagi sekolah. Inilah yang menjadi alasan kepala sekolah memilihnya.

Ingin rasanya ia membatalkan saja permintaannya pada siswa seperti Yandi. Namun, lomba tinggal di depan mata. “Baik, bapak setuju. Kamu maunya berapa lama?” 

Begitu pertanyaan itu diucapkan, Yandi menaiikan sebelah alisnya sambil tersenyum tipis. “Kalau aku hitung-hitung, total lombanya ada sekitar 12. Artinya setahun pak,” ujar Yandi sambil menghitung jari-jari tangannya.

Ucapan Yandi pun langsung dibalas secepat kilat oleh kepala sekolah. “Gak bisa gitu!” ucap kepala sekolah menolak permintaan siswanya.

“Ya sudah, kalau bapak nggak mau.” Yandi membalikkan badannya dan berjalan ke arah pintu. Tak masalah jika permintaannya ditolak, karena ia tak merasa merugi sedikit pun. 

“Yandi, kamu bahkan udah gak nyampe setahun di sekolah ini. Terus kamu mintanya setahun, itu gimana?”  ucap kepala sekolah berusaha menahan langkah Yandi. 

Yandi sama sekali tak memedulikan perkataan kepala sekolah. Ia bersikeras tak ingin mengganti yang diinginkannya. “Pokoknya gitu pak. Bapak pikirin baik-baik,” ujarnya tak peduli dan bergegas pulang.

Aquarius

Happy readers🤗

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status