Share

Bukan Anak SD

Sekolah telah berakhir, dan kini Yandi tengah berjalan menuju rumahnya. Jarak rumahnya dan sekolah terbilang cukup jauh, tetapi ia selalu berjalan kaki saat ingin berangkat maupun pulang sekolah. Walaupun jarak rumah dan sekolahnya tak dekat, ia tetap memilih berjalan kaki sekalipun ia terlambat.

Setelah menempuh jalan yang melelahkan, Yandi segera berbaring di kasur kesayangannya tanpa mengganti seragamnya. Ia yang lelah karena perjalanan yang cukup jauh pun hampir menuju alam mimpi. Saat hampir menuju alam mimpi, Yandi tersadar karena suatu suara. Ia pun segera menghampiri sumber suara itu yang tepat berada di sebelah kamarnya.

“Lo kenapa lagi? Udah tua, gak usah cengeng!” ujar Yandi saat menghampiri adiknya.

“Kalian semua jahat!” teriak Yeri sambil menangis.

Jawaban Yeri langsung saja membuat darah kakaknya mendidih. Yandi yang sudah terlanjur kesal karena harus terbangun dari tidurnya, kini semakin kesal begitu melihat tingkah adiknya. “Lo kenapa, sih? Gak ada kerjaan apa gimana? Kerjaan lo nangis aja tiap hari!” ujar Yandi menaikkan suaranya, karena kesal pada Yeri.

“Kakak jahat!!” teriak anak berusia dua belas tahun itu dan segera berlari meninggalkan Yandi di kamarnya. Entah apa yang ingin dilakukan remaja itu, begitu membalas ucapan kakaknya ia langsung berlari menuruni anak tangga, dan hendak menuju ke luar rumah. 

Namun, Yandi langsung bergegas mengejar adiknya dan menghentikan langkahnya saat ia masih berada di ruang makan. “Yeri berhenti.” teriak Yandi namun, tak didengarkan Yeri. 

“Yeri! Gue bilang berhenti!” teriak Yandi sekali lagi dengan suara yang lebih keras.

Langkah kaki remaja itu langsung terhenti begitu ia menaikkan volume suaranya. “Lo kenapa? Itu pertanyaan gue! Gak bisa jawab?” tanya Yandi yang terlihat sangat marah pada adiknya. 

“Ma... maaf  kak...” ucap Yeri sambil menyeka air matanya yang tak kunjung berhenti. 

Yandi yang merasa bosan melihat adiknya menangis berdecak kesal sambil menatap tajam adiknya. “Oke. Ngomong,” ucap Yandi singkat. Ia ingin tahu apalagi yang membuat remaja ini terus saja menangis.

“Aku cuma marah aja sama mama, papa. Mereka gak mau ke sekolahan aku besok, kak. Padahal besok ada acara di sekolah, terus harus bawa orang tua,” ujar Yeri tersedu-sedu menjelaskan permasalahannya.

Begitu mendengar penjelasan adiknya, mulut Yandi langsung terbuka lebar. “Cuma kayak gitu doang lo nangis?” tanya Yandi tak habis pikir. 

Ia benar-benar tak habis pikir dengan adiknya yang menangisi hal yang dianggapnya sepele. “Lo itu udah tua. Udah SMP (Sekolah Menengah Pertama), bukan anak SD (Sekolah Dasar)! Kalau mereka gak mau datang, ya udah. Emang apa masalahnya kalau mereka gak datang? Gak ada masalah, kan?” ucap Yandi lantang sambil menyilangkan kedua tangan di dadanya.

Wajah Yeri langsung memerah saat mendengar ucapan Yandi. Ia merasa kesal pada kakaknya, yang menurutnya tak bisa mengerti dirinya. “Kakak tuh gak ngerti! Kakak tahu apa-apa! Kakak jahat!” ucapnya dan berlari lagi meninggalkan Yandi kembali menuju kamarnya. 

Yandi hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah adiknya itu. “Dasar anak kecil! Udah tua, tapi kelakuannya sama aja. Apa beratnya sih masalah kayak gitu?” Dengan kekesalan, Yandi melangkahkan kakinya kembali ke kamarnya.

Bagi Yandi, diabaikan adalah hal biasa. Bahkan ia sering tak dianggap, karena ia tak sama seperti dulu. Yandi yang dulu adalah anak yang selalu menunjukkan prestasinya di mana pun ia berada, hingga membuat kedua orang tuanya memperhatikannya. Namun, Yandi yang telah sadar dengan semua arti dari perlakuan orang tua mereka, tak menunjukkan lagi prestasinya.

Pria berusia 17 tahun itu sadar, bahwa orang tuanya tak membutuhkan dirinya. Setelah mengalami berbagai hal, akhirnya ia mengetahui bahwa bagi kedua orang tuanya hal terpenting dari Yandi adalah otaknya. Dengan kecerdasannya, tentu ia selalu membuat nama keluarga itu terjaga dengan baik. 

Kecerdasan Yandi  juga dapat dijadikan sebagai bahan pembicaraan untuk menyombong diri, karena bagi kedua orang tua mereka anak hanyalah sebagai barang yang siap dipamerkan. Konsep berpikir ini, membuat mereka tak memedulikan perasaan anak-anak yang selalu dituntut untuk memenuhi keinginan mereka.

                      ************

Malam telah datang, kini Yandi beserta kedua saudaranya sedang menyantap makan malam dalam diam. “Kak Yani, mama sama papa kok gak makan bareng kita?” tanya Yeri membuka pembicaraan saat itu. 

Kedua kakaknya terlihat malas menjawab pertanyaan dari adik mereka. “Makan aja. Gak usah nanya mereka bisa gak? Gue gak selera makan jadinya,” ucap Yandi ketus, dan segera melanjutkan makannya.

Yeri yang tak menyukai balasan Yandi langsung membanting sendok di sebuah piring batu berwarna putih yang penuh dengan makanan. “Kakak kenapa, sih? Aku kan cuma nanya! Kalau gak mau jawab, ya gak usah jawab!” ucap anak bungsu keluarga itu menaikkan suaranya.

Yani yang sejak tadi tak menanggapi adiknya, kini memanas. “Yeri, kalau lo mau makan, makan aja. Gak usah ribet bisa, kan? Jangan pernah lo teriak-teriak di meja makan. Gue gak suka. Ini tempat buat orang makan. Bukan buat teriak-teriak,” ucap Yani tegas menegur adiknya.

Remaja dua belas tahun itu semakin kesal dan tak terima atas perlakuan yang didapatnya dari kedua kakaknya. Ia pun segera meninggalkan meja makan tanpa menghabiskan makanannya. Dengan air mata yang hampir jatuh, Yeri segera berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya.

Setelah kepergian Yeri, suasana meja makan kembali hening. Kedua kakak beradik itu bahkan tak saling melihat satu  sama lain. Keduanya menyelesaikan makan malam tanpa mengeluarkan suara apa pun. Begitu makan malam berakhir, keduanya menuju kamar masing-masing tanpa melirik atau bersuara.

Setelah makan malam berakhir, kedua orang tua mereka baru menampak batang hidung mereka. “Bi... bibi...” teriak Yena memanggil asisten rumah tangga mereka. 

Wanita dengan tubuh ramping dan rambut sependek dagu, langsung berlari kecil mendekati kedua tuan rumah itu ketika namanya dipanggil. “Selamat datang tuan, nyonya. Maaf, tadi bibi di kamar mandi,” ucap asisten rumah tangga menunduk. 

“Panggil Yandi sekarang. Suruh dia ke kamar saya,” perintah Yena tanpa mendengar ucapan wanita itu. 

“Oia bi, sekalian panggilin Yani. Suruh dia ke ruang kerja saya sekarang,” ujar Yudi memberi tambahan. 

“Baik. Kalau begitu saya permisi dulu, mau panggilin nona sama tuan muda.” Wanita itu segera berlalu dan menaiki anak tangga menuju kamar Yandi dan Yani.

Tok... tok... tok...

“Tuan, nyonya minta tuan ke kamar nyonya sekarang,” ucap Ami, asisten rumah tangga mereka. 

“Mau ngapain, bi? Bilang aja aku udah tidur,” sahut Yandi dari kamarnya. 

“Tapi... nanti... na... nanti nyona marah tuan,” balas bi Ami terbata-bata. Wanita itu merasa takut jika harus menghadapi kemarahan nyonyanya.

“Huuh... ya udah, iya.” Walaupun tak ingin, ia harus menemui mamanya. Ia tak ingin orang lain menjadi sasaran kemarahan Yena karena dirinya.

Tok... tok... tok...

Ketukan pintu kini beralih ke kamar Yani.

“Non, tuan mau ketemu sama nona. Tuan tunggu nona di ruang kerjanya tuan,” ucap bibi menyampaikan pesan dari Yuda. 

“Makasih, bi,” ujar Yani tak bersemangat. 

“Makasih ya, non,” ucap Ami segera meninggalkan kamar Yani, dan kembali menyelesaikan pekerjaannya. 

Butuh waktu satu jam untuk Yandi bersiap menemui mamanya. Ia bukan bersiap seperti merapikan diri atau sebagainya, namun ia memanjakan tubuhnya di atas kasur kesayangannya.

Setelah puas bermalas-malasan, Yandi akhirnya bergerak menuju kamar orang tuanya yang berada di lantai satu. Saat menuruni anak-anak tangga langkah kaki Yandi sangat lambat, selambat langkah kura-kura itu. Tak berbeda jauh dengannya, Yani pun melangkahkan kakinya selambat siput menuruni anak tangga menuju ruang kerja Yudi.

Butuh waktu sekitar tiga puluh menit bagi Yandi dan Yani untuk menemui orang tua mereka. Keterlambatan mereka pun memicu kemarahan orang tua mereka. 

Tanpa mengetuk pintu kedua kakak beradik ini langsung menerobos masuk ke ruangan tujuan mereka. “Kamu gak bisa ngetuk dulu baru masuk?” tanya Yena kesal. 

“Udahlah... gak penting. Mau ngomong apa?” ujar Yandi membalas pertanyaan mamanya. 

“Kamu gak bisa jawab pertanyaan mama?!” Yena menaikkan suaranya dan berjalan mendekati putranya, yang sedang bersandar pada pintu kamar. 

“Udahlah, ma. Kalau mau ngomong, ngomong aja. Kayak pernah ngajarin kita sopan santun, aja!” ucap Yandi malas tahu.

Perkataan Yandi memang tak salah, karena kedua orang tuanya tak pernah mengajarkan sopan santun. Mereka hanya dituntut untuk berprestasi agar tak menjatuhkan harga diri kedua orang tua mereka. “Mama mau ngomong gak, sih? Kalau enggak, aku mau tidur.” 

Ucapan putranya membuat Yena merasa gerah di malam hari yang dingin. “Oke. Mama langsung to the point, aja,” ujar Yena sambil menyilangkan kedua tangan di dada. 

“Mama mau semester ini sampai nanti kamu lulus, kamu harus berada di peringkat satu. Bukan peringkat satu yang gak jelas. Tapi peringkat satu nasional. Ngerti?!” ucap Yena singkat menyampaikan keinginannya.

Sudah lama putra yang selalu dibangga-banggakannya pada setiap kenalannya tak mempunyai prestasi apa pun. Hal ini membuat Yena merasa malu jika teman-temannya mulai membicarakan anak-anak mereka. Ia tak bisa membanggakan kedua saudara Yandi, karena mereka tak memiliki prestasi sepertinya.

Inilah yang membuat Yena kembali memaksa putra untuk mendapatkan prestasi yang bisa membuat dirinya berada di atas angin. Meskipun ia juga tak ingin lagi meminta hal itu pada putra keduanya, karena ia telah berubah menjadi anak yang pembangkang

“Kalau aku gak mau gimana?” ucap Yandi memainkan kedua alisnya.

“Mama gak mau dengar kata itu! Pokoknya harus!” ujar Yena memaksa putranya.

Braak!!

Yandi langsung membanting pintu kamar itu dan kembali ke kamarnya. Ia merasa muak saat mendengar paksaan dari mamanya.

Aquarius

Happy readers🤗

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status