Share

Ternodai

"Hentikan, Pak!" Seru Leona ketika tangan kekar Nathan mulai menarik resleting baju yang sedang ia kenakan. "Apa bapak sudah gila?"

'Kau yang sudah membuatku tergila-gila, Leona,' batin pria itu. Dia bahkan sudah hampir mati karena harus menahan hasrat yang kian memburu.

Apa dia pikir selama ini tidur bersama adalah hal yang mudah Nathan lalui? Pria itu bahkan harus mati-matian menahan gejolak rasa yang teramat sulit hanya karena dia tidak ingin menyentuh istrinya sendiri.

Kesepakatan sudah dibuat, mereka menikah karena status dan tidak akan pernah membiarkan orang lain tau hal ini.

Tetapi kecantikan Leona sungguh membuatnya lupa hingga Nathan hampir gila dibuatnya.

"Kau tidak lupa dengan kesepakatan yang kita buat sebelumnya 'kan, pak?" tanya Leona saat sukses menggenggam tangan Nathan, menahannya agar tidak melanjutkan aksi yang hendak dilakukan.

Deru nafas Nathan kian memburu. Peluh sudah mengalir di pelipisnya. Kancing yang sudah terlepas tanpa sisa, memperlihatkan dada bidang Nathan juga perutnya yang sikpack.

Susah-susah Leona menelan saliva ketika manik matanya menatap pemandangan di depan. 'Jangan bodoh kau, Le. Kau bahkan tidak boleh jatuh cinta padanya hanya karena ketampanan yang dimiliki pria itu.' Elaknya dalam hati.

"Aku ingat dan akan selalu ingat, Leona."

Senyuman tipis itu kembali mengembang. "Syukurlah. Kalau begitu hentikan aksimu ini, pak?"

"Bagaimana jika aku menginginkannya?" tanya Nathan. Membuat bola mata Leona membulat sempurna.

"Apa aku tidak salah dengar?"

"Kupingmu rusak?"

Wanita itu cepat menggeleng. "Aku tidak mau."

"Kenapa?" tanya pria itu penasaran. Mendekatkan wajah tepat di hadapan Leona.

"Karena aku tidak pernah mencintaimu. Untuk saat ini, esok, dan selamanya."

Pria itu mendecih. "Hati-hati mulutmu bicara. Atau kau akan menyesal."

"Tidak akan."

"Kau tau? Di luar sana ada ribuan wanita yang antri ingin memilikiku seutuhnya. Dan aku malah memilih wanita gila sepertimu dalam hidup ini."

Leona melotot tak suka. Apa dia pikir selama ini dia bahagia bersanding dengannya? Kalau bukan karena ibu Diana yang menjodohkan mereka juga Leona ogah menikah dengan Nathan dan meninggalkan sang mantan tercinta.

"Bapak pikir saya pernah menginginkan pernikahan ini?" Leona menggeleng. "Kalau saja waktu bisa diputar, lebih baik saya tidak menikah seumur hidup saya dari pada harus menikah dengan bapak, huh."

'Dasar wanita tidak tau diuntung,' batinnya bicara. Nathan yang sudah hampir kehilangan kendali refleks mendorong tubuh Leona dan mengukungnya hingga wanita itu tak bisa berkutik lagi.

"Pak, hentikan!"

Nathan tak menanggapi. Bahkan saat Leona berteriak sekalipun. Percuma. Tidak akan ada seorang pun yang mendengar. Di tempat ini hanya ada mereka berdua.

"Pak, saya mohon. Jangan lakukan itu, hiks-hiks!" Wanita itu menangis sesenggukan. Tetapi Nathan tidak peduli.

"Tenanglah. Aku akan menciptakan malam yang indah ini untukmu." Senyuman itu terbit dari bibir Nathan sebelum akhirnya pria itu mulai melakukan aksinya merenggut kesucian Leona yang selama ini dijaga.

***

Nathan mengacak rambutnya frustrasi. Dia kembali mendekat ke arah istrinya yang masih duduk termangu di lantai.

"Apa kau yakin dengan ucapanmu itu?"

Leona mendongak. "Menurutmu? Apa aku sebercanda itu, mas? Jika memang kau tidak percaya dengan tespack ini, kita bisa pergi ke dokter kandungan untuk memastikannya."

"Tapi aku sudah menggunakan pelindung agar kau tidak sampai hamil, Le."

"Mas? Meskipun kamu sudah memakai pelindung, hanya sembilan puluh persen upaya untuk pencegahan kehamilan. Tapi sisanya?" Leona mengedikkan bahu. "Masih ada sepuluh persen kemungkinan untuk hamil."

"Aku ..., arghh."

"Apalagi kau melakukannya saat tiba masa suburku, mas."

"Astaga! Kenapa kau tidak bilang, sih?"

Leona melotot. "Aku bahkan sudah menolakmu berkali-kali tetapi kau tetap memaksa, mas? Dan sekarang kau menyalahkanku karena aku hamil?" Air mata Leona runtuh saat itu juga.

Dasar pria berengsek. Habis manis sepah dibuang. Setelah mendapatkan kenikmatan bersama istrinya, dengan gampangnya dia menolak menerima kenyataan bahwa Leona hamil.

"Aku tidak menyalahkanmu, aku hanya belum siap kalau kau hamil sekarang."

Leona mendecih. "Segampang itu kamu bilang belum siap hamil, mas?"

"Punya anak bukan perkara mudah, Le."

"Terus mau kamu apa, mas?" tanya Leona sarkastis. Sementara yang diajak bicara hanya diam mematung. "Jangan katakan kalau kamu ingin aku menggugurkan calon anak kita, mas?"

"Kenapa pikiranmu buruk sekali terhadapku?"

"Aku tidak menilai buruk tentangmu. Tetapi sikapmu yang menunjukkan itu semua."

Senyum Nathan terbit di kedua sudut bibirnya. Sebelum akhirnya pria itu mengangguk dan berkata. "Pandai sekali bicaramu."

"Aku hanya mengatakan berdasarkan apa yang kulihat, mas. Aku tau dan aku sadar betul betapa tak sukanya kamu dengan pernikahan kita. Begitu juga denganku, kamu pikir itu gampang, mas?"

"...." Nathan tak menanggapi. Pikirannya benar-benar kacau. Dia belum siap punya anak, tapi dia juga tidak tega jika harus menyuruh Leona menggugurkan bayi itu. Semenyebalkan Nathan, bukan sifatnya menjadi seorang pembunuh. Apalagi darah dagingnya sendiri.

"Jawab, mas?" Sentak Leona. Netranya lalu terpejam, meresapi rasa sakit yang kini memenuhi rongga dadanya. Rasa sakit itu menyeruak hingga membuat dadanya sesak.

"Aku tidak akan menyuruhmu menggugurkan kandungan," ucap Nathan sebelum akhirnya pergi meninggalkan Leona sendirian.

Leona meremas kasar wajahnya lalu beranjak ke kasur dan duduk. Baru saja ketika wanita itu hendak mengambil segelas air mineral di atas nakas, ponselnya tiba-tiba berdering. Benda pipih itu menyala seolah-olah menimbulkan bunyi.

Tanpa pikir panjang, Leona segera mengambilnya dan membaca satu nama yang tertera di atas layar. Rupanya Dea, sahabat Leona di kantor. Dia langsung menggeser tombol hijau ke atas layar dan mulai berbicara.

"Halo," sapa Leona dengan nada parau.

"Le, are you okay? Aku telpon dari tadi enggak kamu angkat-angkat?"

Leona mengernyit. 'Perasaan dari tadi enggak ada HP bunyi,' gumam Leona. Dia lalu mengecek ponselnya dan mendapati beberapa panggilan masuk dari sahabatnya beberapa menit yang lalu.

Mungkin saat sedang ribut dengan Nathan hingga dia tak menyadari jika ponselnya bunyi.

"Sorry, tadi aku lagi ke kamar mandi," alibi Leona.

"Yakin?"

Leona mengangguk. "Iya, De. Aku baik-baik aja, kok. Kamu belum tidur?"

Dea mendesah. "Aku kepikiran kamu terus, Le. Apalagi sama kejadian tadi siang di kantor. Yang sabar, ya? Kalau kamu perlu bantuan atau sekedar mau curhat, aku siap kok jadi pendengar buat kamu."

Leona menghela napas panjang. Ucapan Dea mengingatkannya tentang masalah di kantor yang bahkan belum menemukan solusi. Dan sekarang ... ia harus dihadapkan lagi dengan kenyataan bahwa dirinya sedang mengandung anak Nathan - bosnya sendiri di kantor.

Apa kata orang-orang nanti jika mereka sampai tau?

"Le? Kamu dengar aku ngomong, 'kan?"

"I-iya. Aku dengar kok."

"Kamu tenangin diri kamu dulu, ya? Soal Pak Nathan, jangan terlalu kamu pikirin. Kita 'kan sama-sama tau bos kita kayak apa."

"Hm."

"Btw, besok aku jemput kamu ke rumah, ya? Udah lama nih kita enggak berangkat bareng."

"Tapi, De."

"Enggak ada alasan apapun, Le. Pokoknya besok aku ke rumah kamu. Bye, Le."

Tut.

Panggilan berakhir saat Dea memutuskannya secara sepihak.

"Mati aku!" Leona menepuk jidatnya pelan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
inggrid LARUSITA Nganjuk
ketshuan satu rumah sma bos nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status