Share

Sedikit Cemburu

Huek huek!

"Kamu kenapa, Le?" tanya Joshua saat tengah menikmati makan siang bersama di kantin kantor.

Tanpa menjawab pertanyaan sang pria, Leona langsung beranjak pergi menuju toilet yang berada di belakang kantin. Membuka pintu, lalu memuntahkan semua isi perutnya yang membuatnya mual.

Sebenarnya sudah sejak tadi pagi Leona merasa tidak nyaman dengan tubuhnya. Tapi wanita cantik itu tetap memaksakan diri untuk masuk kantor.

Di sisi lain, Dea yang baru datang ke kantin melihat Joshua dengan raut wajah cemasnya membuat wanita itu langsung menghampiri.

"Jo, kamu kenapa? Leona ke mana? Kalian janjian makan siang, kan?" tanya Dea sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru, mencari keberadaan sahabatnya tetapi hasilnya nihil.

"Dia lagi ke toilet. Kayaknya dia sakit, deh!" Ujarnya.

"Hah?"

"I-iya. Soalnya tadi mendadak pengin muntah dianya."

"Aku duluan." Pamitnya sambil berlalu pergi.

"De. Kamu mau ke mana?"

"Ke Hongkong, ya nyusul Leona lah, aneh."

Joshua mengacak rambutnya frustrasi. Ingin sekali dia menyusul Leona, tetapi mana mungkin dia masuk ke toilet cewek. Dengan malas, pria itu pun akhirnya hanya bisa menunggu Leona dan Dea kembali sambil berharap tidak akan terjadi apa-apa pada si tambatan hatinya.

Iya. Joshua telah lama menyukai Leona. Bahkan sejak kali pertama mereka bertemu di kantor Diana Group. Tapi apalah daya, sifat pemalu Joshua membuatnya ragu untuk menyatakan perasaan itu pada Leona.

"Le. Kamu baik-baik aja, kan? Le, ini aku Dea. Buka pintunya, Le?" teriak Dea saat sudah sampai di toilet. Hanya ada satu pintu yang terkunci. Dan Dea pastikan itu adalah Leona.

Ceklek

Dengan raut wajah pucat pasi, wanita dengan setelan dress code berwarna mocca dengan aksen hitam di bagian kerahnya, berdiri di ambang pintu dengan pandangan kosong.

"Le? Apa yang terjadi sama kamu?" Dea menepuk kedua pipi Leona, lalu menggenggam erat jemari wanita itu. Dingin.

"Dea. Aku ...."

"Kita ke klinik sekarang, ya?" Usul Dea sembari merangkul tubuh sahabatnya. Tetapi Leona menolak.

"Enggak."

"Kondisi kamu lagi kayak gini masih aja nolak."

"Please," ratapnya.

"Kenapa? Aku enggak mau sampai terjadi sesuatu sama kamu. Atau aku telfon Pak Nathan sekarang, ya? Biar bagaimanapun dia adalah su—."

"Stop!" Sela Leona cepat. "Kamu udah janji enggak akan cerita ke siapapun soal ini. Bagaimana kalau ada yang denger?"

"Sorry-sorry. Abisnya aku bingung, Le. Di ajak ke klinik enggak mau. Bilang sama Pak Nathan juga enggak boleh. Aku cuma enggak mau kondisi kamu makin parah."

"Aku baik-baik aja, kok. Cuma lemes aja."

"Ya udah kalau gitu kita istirahat aja di ruangan. Nanti aku bilangin ke Pak Nathan supaya kamu boleh dipulangin lebih awal."

"Enggak, De. Aku bilang enggak ya enggak." Kekeh Leona. "Aku enggak mau buat panik semua orang apalagi si gila itu, huft!" Leona mendecih. Ingatannya kembali pada ancaman hukuman yang diberikan Nathan.

"Tapi aku enggak mau kamu sampai kenapa-kenapa, Le."

"Aku baik-baik aja, De. Oke. Please! Jangan panik!"

Dea menghela napas. "Oke kalau itu mau kamu. Tapi inget, aku sahabat kamu. Kalau kamu butuh apa-apa, bilang sama aku."

Leona mengangguk.

Keduanya berjalan meninggalkan toilet untuk menemui Joshua yang masih stay menunggu di kantin.

"Le. Kamu sakit?" tanya Joshua sambil refleks membantu Leona duduk.

"Saya enggak apa-apa kok, Pak. Tadi cuma mual sama lemes aja. Mungkin maag saya kambuh," ucapnya jelas berbohong.

Beruntung, Joshua mau percaya dan tidak menanyakan hal yang tidak-tidak setelahnya. Pria itu tersenyum sembari mengelus rambut Leona dan berkata, "Lain kali lebih dijaga lagi ya? Kesehatan itu penting, Leona."

Argh! Sialan!

Umpat seorang pria tampan berbalut jas abu-abu, mengepalkan kedua tangan lalu memukul tembok di sebelahnya cukup keras usai memergoki Leona dan Joshua yang tengah berduaan di kantin.

'Ngapain si kutu kupret itu sama Leona? Kurang kerjaan aja,' batinnya sengit. Nathan mendengus kesal sebelum akhirnya memutuskan untuk menghampiri mereka di sana.

Namun sebelum pria itu sampai, Nathan berpapasan dengan Dea tepat di samping kasir. Seketika membuat langkahnya terhenti ketika mendapati sapaan dari karyawannya.

"Siang, Pak?" ucap Dea.

"Siang."

"Tumben bapak ke kantin. Biasanya bapak—."

"Kebetulan lewat. Sekalian ngecek konsumsi makanan yang tersedia di sini. Siapa tau ada yang sudah tidak layak. Saya hanya ingin selalu mengutamakan kesehatan karyawan saya. Toh kalau mereka sakit, akan berpengaruh terhadap kinerja perusahaan, bukan?" Jelasnya sambil memfokuskan perhatiannya pada Leona dan Joshua.

Dea mengangguk. Dengan senyum, gadis itu ikut mengarahkan pandangan yang sama dengan Pak Nathan.

'Lagi ngliatin Leona rupanya. Kira-kira, Pak Nathan cemburu enggak ya liat istrinya deket sama pria lain?' Gumamnya dalam hati. 'Atau aku kasih tau aja kejadian yang baru saja menimpa Leona?'

"Kamu kenapa masih di situ?"

"Bapak sendiri kenapa masih di sini?"

Ck! Pria itu mendecih. "Kau ini, ya?" Tandas Nathan sambil berlalu pergi.

"Pak, tunggu!" Panggil Dea ketika Nathan baru selangkah meninggalkan tempat tersebut. Pria itu berbalik.

"Apa lagi?"

"Ada sesuatu yang mau saya sampaikan sama bapak."

Kening pria itu mengernyit. Setelahnya melirik ke arah arloji sekilas. "Saya tidak punya waktu," tandasnya.

"Tapi ini soal Leona, pak."

Nathan tercekat. Dia yang semula hendak acuh pun akhirnya penasaran dengan Dea. Apalagi menyangkut istrinya sendiri.

"Ada apa?"

"Tapi bapak janji ya, jangan beritahu Leona kalau saya yang bilang."

"Hm."

Dea menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara. "Leona sakit, Pak. Tadi saya sempat melihat Leona muntah-muntah di toilet. Mungkin karena belum sarapan tadi pagi," ujar Dea.

Sahabatnya memang belum tau jika Leona sedang hamil. Itu sebabnya dia hanya mengira penyakit maag Leona kambuh.

Mata bulat Nathan seketika membola mendengar penuturan Dea. Dia tau penyebab Leona muntah adalah karena morning sicknes yang dialaminya di awal kehamilan.

"Terima kasih infonya." Pungkas Nathan lalu pergi begitu saja.

Dea hanya termangu menatap kepergian Nathan yang bukan tak mungkin adalah menyusul Leona. 'Sorry ya, Le. Aku terpaksa ngomong sama Pak Nathan. Dia suami kamu, dia berhak tau atas apapun kejadian yang kamu alami. Apalagi menyangkut kesehatan.'

Meski terkesan cuek dan tidak peduli, tapi sejatinya Nathan memiliki hati yang lembut. Jabatan dan kepopuleranlah yang membuatnya gengsi menunjukkan setiap kepedulian kecil pada orang lain.

"Leona. Ikut ke ruangan saya sekarang!" Titah Nathan ketika sudah berada di depan meja kantin yang ditempati istri dan sahabatnya itu.

"Tapi saya lagi makan, Pak!"

"Saya tidak peduli."

"Nat, sabar dikitlah! Leona masih makan. Dan lagi pula ini masih jam istirahat." Joshua ikut menimpali.

"Bukan urusan kamu."

"Tapi, Nat."

"Ikut sekarang!" Sentak Nathan hingga membuat semua orang yang berada di sana langsung memfokuskan perhatian ke arah mereka.

Leona yang malu karena menjadi bahan tontonan akhirnya mengalah juga. Dengan terpaksa, wanita itu menghentikan aktivitas makannya dan pergi ke ruangan bosnya.

"Aku duluan, Jo." Pamit Leona sebelum pergi.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status