"Amit-amit jabang bayi." Leona terus mengusap perutnya karena tak mau anaknya mirip tukang kebun di rumahnya. "Kenapa kamu bisa sampai begitu, Din?" Wanita hamil itu tak habis fikri melihat penampakkan Udin yang sudah berlumuran tai ayam."Ya Allah, iki suamimu, mbak. Kok wis ra rupo wong blas." (Ini suami kamu, kok sudah tidak berwujud seperti manusia), ucap Bu Leni yang tak kalah kaget.Ijah yang merasa kasihan sekaligus menyesal karena sudah mengenalkan suami di waktu yang tidak tepat itu pun lari terbirit-birir menghampiri Udin."Kamu kenapa bisa begini sih, Din?" Ijah geleng-geleng kepala."Maaf, Nya. Tadi di kebun saya habis bersihin kandang ayamnya Tuan. Eh, malah kepleset. Ya sudah jadi kotor semua."Leona mencubit hidung karena tak tahan dengan bau yang tak sedap di tubuh Udin. Tapì tak kunjung pergi karena terkejut dengan pernyataan Udin."Sejak kapan mas Nathan memelihara ayam?""Lho, nyonya belum taukah?""Kalau saya tau ngapain saya nanya, Din.""Iya juga, sih." Udin garu
Aslinya Nathan masih keturunan orang Jawa. Ayah kandungnya bernama Kusuma. D masih asli orang Jawa yang berasal dari Semarang. "Hah?" Leona terperanjat hingga hampir oleng ketika membawa secangkir kopi untuk sang suami."Pelan-pelan, sayang?" Nathan menerima cangkir tersebut dan menyeruputnya pelan."Masih panas, mas." Duduk di samping Nathan."Ah. Seger banget, sayang. Dari tadi di kantor mas udah kangen minum kopi buatan kamu." Jujurnya usai meletakkan cangkir di meja."Mas bisa aja. Baru juga tadi pagi minum kopi.""Nggak tau tuh. Kayaknya mas mulai kecanduan kopimu, sayang.""Mas ada-ada aja. Tapi nggak boleh berlebihan, mas. Mesti tau batasannya juga. Tadi gimana? Aku nggak salah dengarkah? Mas masih keturunan asli orang Jawa?" Serius Leona karena penasaran."Iya, Le. Ibu ko baru tau kamu punya gen asli orang Jawa." Pria itu menghela napas panjang. "Ayahku asli orang Semarang, dia pemilik hotel Muria yang ada di depan perusahaan INTI SEJAHTERA. Kamu tau 'kan?" Leona berusaha m
Nathan menghela napas panjang ketika sudah sampai di kamar, duduk bersandar bantal di punggung, sambil mengelus-elus kepala sang istri yang ada di pahanya."Capek ya, mas?""Lumayan, sayang. Ayamnya lari mulu. Susah nangkepnya.""Lagian ngapain mas beli ayam hidup? Mana nggak ngomong dulu sama aku lagi," ucap Leona sambil memainkan kuku jari."Maaf, sayang. Niat mas cuma pengin nurutin ngidam kamu pingin makan ayam goreng kampung. Tapi karena keinget acara 4 bulanan, mas pikir sekalian aja beli ayamnya. Kan lebih enak kalau menyembelih sendiri.""Astaghfirullah." Leona refleks bangkit dari rebahannya."Kenapa, sayang?""Mas udah sembelih ayamnya?" Mimik Leona berubah cemas."Belum.""Mas tau nggak?"Nathan menggeleng polos. "Tau apa, sayang. Kamu kan belum ngomong apa-apa.""Mas, kalau istrinya lagi hamil itu pamali menyakiti hewan apalagi sampai membunuh.""Serius, sayang?" Nathan baru tau."Serius, mas. Jadi jangan pernah mas berpikirin buat sembelih ayam sendiri, ya? Aku nggak mau
Malam semakin larut, rintik hujan perlahan mulai turun membasahi bumi. Angin berembus masuk melalui celah tirai.Pasutri itu tampak asyik dengan dunianya, hawa dingin yang mencekam pun seolah sirna oleh hangatnya sentuhan raga yang tengah memadu kasih malam itu. Sayup-sayup, terdengar rintihan lembut di tengah guncangan hebat yang semakin membabi buta."Apa kamu sudah keluar?" Entah apa itu. Suara Leona bergetar di tengah pertempuran di medan perang nan hebatnya.Wanita yang tengah hamil memasuki bulan ke empat itu masih memejamkan mata, menikmati setiap permainan indah yang Nathan ciptakan dalam naluri."Belum.""Ke-napa?" Nafas Leona tersengal menahan sesuatu yang ingin menyembur di liang hangat miliknya."Aku masih ingin bermain lebih lama lagi, sayang?" Kecupan singkat mendarat dengan sempurna di bibir legit Leona yang menggoda."Aish, kok bisa? Ini udah hampir satu jam, mas?" Dusta. Tapi itu faktanya. Pasangan suami istri itu telah melewatkan waktu yang tak sebentar hanya untuk
Leona terkejut. Wanita hamil itu pun langsung berbalik ke belakang untuk membangunkan sang suami."Eh, belum dijawab ibu le tanya kok udah ditinggal pergi." Bu Leni garuk-garuk kaki, bukan. Maksudnya kepala.Sementara di dalam, Leona sedang susah payah membangunkan Nathan yang terlihat masih mimpi di pulau kapuk hingga nampak pulau baru yang tergambar di bantal.'Ganteng-ganteng kok ngiler sih kamu, mas.' Gumamnya sambil mengguncang tubuh atletis pria itu yang masih polos tanpa sehelai benang.Keterlaluan sih, bisa-bisanya mereka bermain tanpa jeda hingga adzan subuh. Ente kadang-kadang ente."Mas!" Nathan tak bergeming. Pemilik pabrik kosmetik itu tetap mendengkur dengan posisi tengkurap dengan bibir yang mengaga sedikit."Nduk?" Leona menoleh menuju sumber suara lantas menepuk jidat. "Ya Allah, ibu masih nunggu di luar." Buru-buru dia keluar untuk menemui Bu Leni. "Kenapa, bu? Ngapain ibu masih di sini?" Khawatir Leona kalau sampai ibu tak sengaja melihat suaminya belum memakai b
Brakk!Suara gebrakan meja itu membuat Leona berjengit saking kagetnya usai memberikan sebuah tespek yang menunjukkan dua garis merah pada sang suami."Apa kau sudah gila?" tanya Nathan. Pria tampan yang baru Leona nikahi tepat sebulan yang lalu karena terpaksa harus menuruti keinginan almarhum Diana - ibu kandung Nathan yang menderita sakit parah selama setahun terakhir.Beliau menuliskan surat wasiat kepada putra semata wayangnya bahwa Nathan harus menikahi Leona, karyawannya sendiri yang sudah bekerja selama hampir lima tahun di perusahaan Diana Beauty. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang kosmetik dengan menciptakan serangkaian produk kecantikan bagi kaum hawa.Menurutnya, hanya Leona yang bisa mendampingi Nathan karena sifatnya yang galak dan grasa grusu. Si cantik Leona langsung mendongak menatap manik mata milik sang suami sekaligus merupakan bosnya sendiri di kantor."Jadi kau tidak mau menerima anak ini?" Seru Leona sambil memegangi perutnya yang masih rata. Sementara
"Bapak gila!" teriak Leona sambil mendorong tubuh pria itu menjauh darinya.Sementara si tampan Nathan hanya cekikikan melihat raut wajah ketakutan istrinya yang terlihat menggemaskan. "Kalau bapak lapar ya makanlah! Bukannya malah menyuruh saya minum," sungut Leona dengan raut wajah kesal. Apa dia pikir dirinya adalah makanan lezat siap santap?'Menyebalkan, huh!'Nathan tersenyum tipis. Hal itu tentu membuat Leona bingung. Tidak seperti biasanya Nathan bersikap demikian. Mata Leona mengedar, mencari keberadaan Pak Dirga yang bahkan sudah setengah jam yang lalu tak kembali.Beberapa listrik juga sudah padam. Menyisakan satu lampu di ruangan yang sedang mereka tempati untuk makan malam bersama Nathan. Anehnya, tidak ada seorang pelayan datang mengingatkan kalau memang restorant ini mau tutup.Leona berdecak kesal. Ingin sekali dia segera pergi dari tempat ini. Tetapi tidak mungkin, atau Nathan akan memarahinya "Kau kenapa?" tanya Nathan. Nadanya terdengar serius. Namun masih menampa
"Hentikan, Pak!" Seru Leona ketika tangan kekar Nathan mulai menarik resleting baju yang sedang ia kenakan. "Apa bapak sudah gila?"'Kau yang sudah membuatku tergila-gila, Leona,' batin pria itu. Dia bahkan sudah hampir mati karena harus menahan hasrat yang kian memburu. Apa dia pikir selama ini tidur bersama adalah hal yang mudah Nathan lalui? Pria itu bahkan harus mati-matian menahan gejolak rasa yang teramat sulit hanya karena dia tidak ingin menyentuh istrinya sendiri.Kesepakatan sudah dibuat, mereka menikah karena status dan tidak akan pernah membiarkan orang lain tau hal ini. Tetapi kecantikan Leona sungguh membuatnya lupa hingga Nathan hampir gila dibuatnya."Kau tidak lupa dengan kesepakatan yang kita buat sebelumnya 'kan, pak?" tanya Leona saat sukses menggenggam tangan Nathan, menahannya agar tidak melanjutkan aksi yang hendak dilakukan.Deru nafas Nathan kian memburu. Peluh sudah mengalir di pelipisnya. Kancing yang sudah terlepas tanpa sisa, memperlihatkan dada bidang N