Nathan tersenyum kecut."Aku serius, Nath," ucap Joshua kemudian. Pria itu berjalan ke arah sofa dan duduk di sana sambil menyenderkan punggung. Menatap segelas air teh dalam gelas yang masih utuh, mengundang tanya bagi Joshua. "Buat siapa? Aku pikir kau masih belum menyukai minuman seperti ini.""Tidak penting itu untuk siapa." Nathan mendecih tak suka. Pria itu melangkahkan kaki menuju jendela. Sengaja membelakangi sahabatnya karena tidak ingin melihat wajah menyebalkan Joshua. "Nath?" Panggil Joshua.Yang diajak bicara hanya menoleh sekilas sambil bergumam pelan."Boleh aku minta bantuanmu?""Katakan!""Buat aku bisa dekat dengan Leona."'Ini gila!' Batin Nathan. 'Kau pikir dia siapa, huft!' "Kau dengar aku bicarakan, Nath?""Yeah.""Ayolah!""Sejak kapan kau menyukainya?""Setahun yang lalu.""Jadi kau putus dengan Klara karena Leona?" Tebak Nathan kemudian berbalik ke arah pria itu. Sahabatnya pernah berpacaran dengan Klara sebelumnya - teman seperkuliahan Joshua semasa dulu.
"Apa-apaan ini," umpat Nathan sembari membanting ponselnya kasar di atas meja. Sebuah foto berhasil masuk melalui pesan yang dikirimkan oleh seseorang hingga membuat emosi Nathan mencuat.Tanpa pikir panjang, Nathan langsung menelpon Leona saat itu juga. "Halo.""Ha-halo, Pak," jawab Leona gugup. Baru juga ditinggal sebentar, sudah langsung menelpon. Menyebalkan."Sedang apa kamu?""Kerjalah, Pak.""Kau yakin?" Nathan memastikan. Sementara Leona langsung menoleh ke samping di mana ada Dea di sana. 'Kenapa?' tanya Dea tanpa bersuara. Tetapi sahabatnya tak menjawab."Yakin, Pak. Ini saya masih mengerjakan laporan yang bapak minta.""Nanti sore pulang bareng saya!" Titah Nathan."Hah?! Tapi, pak.""Tidak terima alasan apapun."Tut.Panggilan berakhir. Nathan memutuskannya secara sepihak. Si cantik Leona hanya mengernyitkan kening bingung."Ada apa, Le?" Dea bertanya keheranan. "Pak Bos nelpon kamu? Baru juga dipanggil ke ruangan kan?"Leona mengedikkan bahu. "Entahlah.""Emang dia ngo
"Sialan!" Umpat Nathan dalam hati ketika melihat Joshua berdiri di depan pintu. "Ngapain dia ke sini?" Gumamnya sambil mengacak rambutnya frustrasi. Dia melirik ke arah Leona yang tengah berdiri menatapnya dari atas tangga."Siapa?" "Joshua."Leona membulatkan mata."Kenapa kau masih diam di situ, hem?" Nathan gemas sendiri melihat istinya."Aku ....""Cepat sembunyi, atau kau akan ketahuan jika sudah jadi istriku."Wanita itu menurut, dia pergi ke kamar dan menguncinya rapat. Membiarkan Nathan menemui Joshua.Ceklek"Lama banget buka pintunya," keluh pria berambut pirang itu dengan raut wajah yang bersungut kesal. Memilih untuk langsung masuk dan duduk dengan kasar di sofa.Nathan tak menjawab."Kerjaan gimana?""Oke.""Barusan aku ketemu sama Leona," ucap Joshua. "Apa hubungannya denganku?" tanya Nathan sarkastik."Soal kesalahannya. Aku tau kau
"Hentikan!" Sergah Nathan cepat. Menghadang Joshua yang hendak masuk tepat di depan pintu. Sontak, membuat Joshua mengernyitkan kening heran"Kenapa? Tak biasanya kau begitu?""Tidak ada apa-apa," jawabnya gugup sambil menggaruk kepala yang tak gatal."Kau menyembunyikan sesuatu dariku, bukan?" Tuduhnya. Lalu tanpa pikir panjang langsung mendorong tubuh Nathan dari sana hingga membuat si tampan itu hampir jatuh."Sialan!"Klek!Pintu terbuka. Joshua masuk ke kamar Nathan. Pandangannya mengedar ke seluruh penjuru. Tidak ada siapa pun."Kau mau cari apa, sih? Sudah kubilang di sini tidak ada siapa-siapa," ujar Nathan sembari mendekat ke arah Joshua."Hei, kau pikir telingaku rusak? Aku tidak mungkin salah dengar bahwa ada sumber suara yang berasal dari kamar ini.""Tapi kau lihat sekarang!" Titah Nathan dengan mata yang menatap sekeliling tempat itu. Aneh! Memang tidak ada siapa pun di sini. 'Lalu di mana
"Karena kita sudah sepakat untuk merahasiakan pernikahan kita, itu sebabnya aku juga mau kamu bisa diajak kerja sama dalam masalah ini," sahut wanita itu cepat sambil menatap lekat sepasang bola mata milik sang suami.Kedua telapak tangannya sudah menggenggam erat dengan nafas yang terlihat naik turun. Jantungnya seakan memompa lebih cepat dari sebelumnya. Tubuhnya terasa lemas. Pandangannya mulai kabur. Detik selanjutnya ....Leona pingsan!Beruntung, Nathan dengan sigap memapah tubuh istrinya cepat di atas pangkuannya."Hei, bangun!" Nathan menepuk pipi Leona lembut. "Kau kenapa?"Pria itu menggerutu kesal, lagi-lagi Leona selalu membuat dirinya repot hingga dia harus bersusah payah untuk menyadarkan wanita itu.Di saat yang bersamaan, bi Ijah datang mengetuk pintu kamar Nathan."Masuk!" Interupsi Nathan dari dalam ruangan.Terlihat ART yang sudah bekerja selama hampir sepuluh tahun itu membawa sebuah nampan b
Brukk!PrangggTubuh Nathan ambruk ketika dengan refleks Leona mendorong sang suami yang sudah berani menciumnya tanpa izin. Bebarengan dengan jatuhnya piring berisi nasi pecel hingga membuat makanan itu berserakan mengotori lantai."Dasar bodoh!" seru Nathan beranjak dari duduknya sambil memegangi pantat yang terasa nyeri."Kamu yang sudah lancang." Leona berteriak. Netranya berkaca-kaca meratapi nasi pecel yang sudah berceceran di lantai, tak mungkin bisa dimakan. Padahal sudah sejak semalam dia mengidamkan makanan tersebut."Lancang bagaimana?""Kenapa kamu menciumku?""Itu karena salahmu, huft." Nathan membersihkan celananya yang kotor dengan tangan sebelum akhirnya duduk kembali di tepi ranjang."Salahku?" Leona menunjuk dirinya."Iya. Aku menyuruhku makan tapi kau sangat sulit diatur.""Kan aku sudah bilang aku tidak mau disuapi. Kenapa kamu terus memaksa?" "Karena kau sudah sepakat untuk mengikuti semua kemauanku, kan?"Leona menghela napas panjang mendengar alasan Nathan yang
"Pe-peluk?" Leona gelagapan. "Iya. Aku ingin memelukmu sebagai istri."'Ya Tuhan,' batin wanita itu. Dia tidak menyangka Nathan akan menganggapnya sebagai istri. Rasanya masih seperti mimpi. Namun ketika mengingat momen Nathan yang meruda paksa sebulan lalu, hati Leona kembali nyeri."Kenapa kamu diam saja? Apa kamu keberatan? Jika kamu masih keberatan aku tidak akan memaksa?""Mas?""Ya.""Bukankah baru beberapa jam yang lalu kamu menyuruhku untuk selalu tunduk dan patuh dengan semua perintahmu?" Leona memastikan.Nathan hanya tersenyum. Dia meneguk saliva sebelum menjawab. "Aku sadar selama ini aku sudah egois.""Lalu?""Boleh aku memelukmu?" Nathan mengulang kembali pertanyaannya. Dia sungguh ingin mendekap erat tubuh tambatan hatinya untuk yang kedua kali setelah insiden malam panas kala itu. Jika kemarin dia memaksa, kali ini dia sangat serius dengan ucapannya.Mau tak mau, Leona akhirnya mengangguk."Terima kasih."Nathan langsung mendekat ke arah istrinya dan memeluknya erat.
HeningLeona dan Nathan saling adu pandang selama beberapa menit hingga membuat gemuruh di dada Leona berpacu cepat."Kenapa kamu memberitahu Dea, sayang?" ucapnya lembut dengan panggilan sayang, membuat wanita itu melongo keheranan.'Apa aku tidak salah dengar?' gumamnya pelan."Tidak.""Ha.""Kenapa kamu memberitahu Dea, sayang?" Nathan mengulang pertanyaannya."Sa-sayang? Apa aku tidak sedang bermimpi?" Puk!Si cantik Leona menepuk pipi lalu meringis sakit. Tak lama setelah itu Nathan mendekat seraya tersenyum."Kamu tidak bermimpi, Leona. Ini kenyataan. Memangnya kenapa? Apa kamu keberatan jika aku memanggilmu sayang?"Tak ada jawaban."Baiklah, kalau kamu memang tidak suka aku panggil sayang. Kamu maunya aku panggil apa?"Masih tak mau bicara. Entah apa yang sudah merasuki pikiran Nathan hingga pria itu berubah secepat kilat yang menyambar pohon. "Sayang?" Untuk ketiga kali, tangannya melambai tepat di depan wajah Leona yang sedari tadi melamun."Iya.""Apa kamu tidak suka aku