Share

Satu Mobil Dengan Nathan

Sinar matahari yang keemasan, menyeruak masuk melalui celah tirai. Bersamaan dengan bunyi alarm yang cukup nyaring, membuat Leona terusik dalam lelapnya.

Wanita itu membuka mata, mengerjapkannya perlahan. Setelahnya menoleh ke samping, di mana dia dapati Nathan masih meringkuk membelakangi tubuhnya dalam balutan selimut tebal berwarna putih.

Masalah semalam belum mereda. Leona menghela napas panjang. Perlahan-lahan, dia bangkit dari kasur dan berjalan ke kamar mandi untuk membasuh muka.

Setelah keluar, diliriknya jam yang bertengger di dinding menunjukkan pukul enam pagi. Dia harus bersiap ke kantor sekarang. Tidak peduli seberapa besar masalah yang menghadang. Dia akan menghadapinya.

Meski raga rasanya ingin menyerah, namun hari ini. Ada calon malaikat kecil yang tumbuh dalam rahimnya harus ia rawat dan ia jaga dengan sebaik mungkin.

Meski dia datang bukan sebagai pengharapan, tapi dia suci dan tidak memiliki dosa. Saat ini ..., bukan karena cinta Leona akan berusaha mati-matian mempertahankan rumah tangganya. Tetapi karena ada anak yang dia kandung dalam tubuhnya.

Bagaimana jika dia sampai lahir tanpa ayah? Adalah hal menyakitkan seumur hidup Leona jika hal itu sampai terjadi.

'Demi apapun, aku rela mengorbankan perasaanku demi kamu, nak?' Batin Leona berkata, sembari menunduk dan mengelus perutnya yang masih rata. Wanita itu lalu mendongak, menatap cermin di hadapannya yang memantulkan tubuh ramping Leona di sana.

Dengan senyum, wanita itu memberikan afirmasi positif pada dirinya sendiri.

"Kamu baik, kamu cantik, kamu adalah calon ibu yang akan menyayangi anakmu dengan sepenuh hati," ucapnya dengan nada super lirih seolah tak membiarkan seorang pun bisa mendengarnya.

Baru saja ketika wanita itu hendak mengambil handuk untuk bergegas mandi, Leona teringat sesuatu.

"Dea?" ucapnya.

"Ada apa sama Dea?" Suara yang cukup familiar itu mengejutkan Leona hingga membuatnya berjengit. Dia lalu berbalik ke belakang, mendapati sosok Nathan sedang duduk bersandar di kasur sambil mengucek kedua bola matanya.

"Kau sudah bangun?"

"Hm."

"A-aku ... aku mau mandi dulu," tandas Leona sambil berlalu pergi.

"Aku belum selesai bicara." Lagi-lagi suara Nathan membuat langkahnya terhenti. Wanita itu berbalik dan memasang raut wajah masah.

"Bukan urusan kamu, mas."

"Aku suami kamu jika kau lupa."

"Suami pura-pura maksudmu."

"Tidak bisakah kau bersikap lembut sedikit saja denganku?"

Leona memicingkan mata dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada. "Setelah apa yang sudah kau lakukan padaku, kau masih bisa memintaku untuk bersikap lembut, mas?"

Nathan tak menjawab.

"Aku masih bisa bersikap sabar menghadapi semua sifatmu dengan memilih diam. Tetapi kau?"

"...."

"Aku tidak pernah menginginkan apapun darimu, mas. Aku hanya ingin kamu minta maaf dan menyadari semua kesalahanmu," tandas Leona.

Tapi mustahil dia akan mendengar kata maaf dari mulut Nathan. Bahkan sampai kiamat terjadi, pria pemilik mata hazel itu tidak mungkin akan menyadari kesalahannya.

"Salahku apa?" Dengan santainya pria itu berbicara dan membuat Leona melongo.

"Bisa kau ulangi sekali lagi pertanyaanmu?"

"Salahku apa?"

'Astaga! Jika saja dia bukan ayah dari anak yang sedang kukandung, sudah kuceburkan dia ke laut. Biarkan saja dia mati hidup-hidup di telan hiu.'

Leona menghela napas panjang, berusaha menahan amarah yang kian memuncak. Hari masih pagi tetapi Nathan sudah berhasil membuatnya naik darah.

"Aku tidak mau berdebat lagi denganmu, mas. Cukup urusi urusanmu saja. Dan jangan pernah kau campuri urusanku. Mengerti?!" Tandas Leona. Dia lalu pergi.

Si tampan Nathan lantas tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang putih rapi. Dia membatin. 'Aku senang melihatmu marah. Kau begitu cantik dan menggemaskan. Maafkan aku Leona, kau mungkin sangat membenciku dengan semua sikap yang kuberikan padamu, tetapi hanya dengan cara inilah aku menutupi rasa yang sesungguhnya kusimpan untukmu.'

Saat Leona di dalam kamar mandi, ponsel wanita itu tiba-tiba bergetar. Nathan yang melihat, tanpa pikir panjang langsung menyambar benda pipih yang menyala tersebut di atas meja.

Sebuah pesan masuk atas nama Dea.

"Aku on the way ke rumah kamu sekarang ya, Le. Sampai nanti." Tulis pesan Dea kepada Leona.

Membuat setungging senyum mengembang di kedua sudut bibir Nathan. Pria itu memilih mengabaikan pesan tersebut usai menekan tombol tandai telah dibaca pada layar.

Tepat jam tujuh pagi, Leona dan Nathan sudah bersiap ke kantor. Meski sudah berstatus sebagai pasangan suami istri, tak pernah sekali pun Leona dan Nathan berangkat bersama menuju kantor.

Hal itu bukan tanpa alasan. Mereka tidak ingin ada salah satu rekan kantor yang mengetahui status mereka.

'Tapi mau sampai kapan?' Geram Leona. Apalagi melihat kondisinya yang tengah berbadan dua.

"Tunggu!" Cegah Nathan saat melihat istrinya keluar dari kamar.

"Ada apa lagi?"

"Pagi ini kau berangkat denganku!" Titah Nathan. Sukses membuat Leona membulatkan mata.

"Apa aku tidak salah dengar?"

"Apa aku perlu membawamu ke klinik THT untuk memeriksa pendengaranmu, hem?"

Si cantik Leona hanya menggeleng sambil tersenyum. "Sayangnya, kau tidak perlu repot melakukan itu, mas. Aku sudah terbiasa berangkat sendiri. Dan lagi .... kita sudah sepakat untuk merahasiakan pernikahan kita, bukan? Aku tidak mau ada orang lain yang curiga karena melihat seorang karyawan sepertiku satu mobil dengan bosnya."

"Aku tidak peduli." Tandas Nathan, dia lalu mendahului langkah Leona pergi menuju halaman rumah dan masuk ke mobil.

'Apa otak Nathan sudah bergeser? Tumben sekali mau mengajakku satu mobil dengannya?' batin Leona penuh tanda tanya.

Din!

Suara klakson itu membuat Leona berjengit saking kagetnya. Dan tanpa pikir panjang dia pun keluar menuju suaminya yang sudah berada di mobil.

"Cepat masuk! Mumpung aku sedang baik."

"Tidak perlu, aku bisa berangkat sendiri."

"Kau bisa lihat jam tidak? Lihat! Kita hampir terlambat."

'Sialan!' Umpat wanita itu kesal usai melirik arloji yang menempel di lengan. Jarak tempuh rumah Nathan ke kantor memang cukup jauh. Dan hanya tersisa waktu lima belas menit untuk sampai di sana. Kalau dia nekat naik kendaraan umum, mungkin saja dia akan terlambat. Tetapi berada satu mobil dengan Nathan adalah hal yang membuatnya malas.

"Ini kesempatan terakhir saya menawarkan bantuan untukmu. Naik sekarang, atau mau kutinggal." Ancam Nathan.

Huff

Leona mendesah pasrah. "Jangan GR. Saya terpaksa ikut denganmu karena terpaksa." Tandas Leona. Dia baru saja akan membuka pintu belakang tetapi—.

"Siapa yang menyuruhmu duduk di situ?"

"Lalu aku harus duduk di mana, mas?"

"Depan. Kau pikir aku sopirmu. Pindah!" Titahnya.

Sambil memutar jengah kedua bola matanya. Leona terpaksa mengikuti perintah dari suaminya yang menyebalkan itu.

Nathan tersenyum dalam hati melihat kepatuhan Leona sebelum akhirnya bergegas berangkat ke kantor.

Ketika sudah hampir sampai, buru-buru Leona menyuruh Nathan untuk menghentikan laju mobilnya.

"Stop, mas! Eh, maksud saya pak." Tiba-tiba gugup mendera. Meski dengan suaminya sendiri, tetapi saat di kantor. Leona dan Nathan tetaplah dua orang asing yang tak memiliki hubungan apapun selain rekan kerja.

"Apa?" Nathan menoleh sambil menahan senyum.

"Aku sudah bilang berhenti di depan. Kenapa malah sampai pintu masuk, pak?" Wanita itu menepuk jidatnya pelan. Hal itu semakin diperparah dengan melihat keberadaan Dea yang sedang berdiri tepat di halaman kantor.

'Sialan. Bagaimana ini?'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status