Share

Bab 2 Sumbangan RT

Bab 2 Sumbangan RT

"Kenapa bayinya, Mbak?"

Meidina terkesiap saat ada seseorang menepuk pundaknya pelan. Spontan perempuan muda itu mendongak. dan mendapati seorang perempuan paruh baya menatapnya sambil tersenyum.

Meidina ingat, perempuan itu adalah Bu Maharani, orang tua dari pemuda yang sudah menabrak suaminya yang sebulan yang  lalu memberikan uang damai kepada ibu mertuanya.

"Bayi saya ditolak karena saya tidak mampu membayar uang deposit, Bu," jawab Meidina di tengah isak tangisnya.

Bu Maharani terkejut. Padahal sebulan yang lalu ia sudah memberikan uang damai sebesar dua ratus juta, tetapi istri almarhum bisa-bisanya tidak mempunyai uang untuk membayar biaya rumah sakit.

Tanpa banyak tanya lagi Bu Maharani  membayarkan uang deposit.

"Terima kasih banyak untuk pertolongannya, Bu Rani." Meidina sangat berterima kasih kepada Bu Maharani.

"Mbak Dina, saya minta maaf gara-gara putra saya, suami Mbak Dina jadi meninggal," ucap Bu Maharani dengan penyesalan yang mendalam.

"Iya, Bu saya sudah memaafkan. Semua yang terjadi sudah suratan takdir."

"Putra saya sedang koma di rumah sakit ini. Tolong doakan untuk kesembuhannya," mohon Bu Maharani dengan mengiba. Kristal bening berjatuhan dari sudut mata perempuan paruh baya itu.

Entah doa siapa nanti yang bisa mengetuk pintu langit, ia mengharapkan banyak doa untuk kesembuhan putranya.

Meidina mengangguk. "Semoga putranya lekas sadar dari koma dan bisa pulih seperti sedia kala. Aamiin."

Setelah melakukan pembayaran deposit, bayi Zavia lalu di bawa ke Ruangan Penitarium untuk mendapatkan perawatan fototerapi.

"Bu, bayinya nggak usah dipakaikan gurita. Kasihan jadi susah napas," ujar seorang perawat bertampang jutek sambil membuka baju dan gurita yang dikenakan bayinya.

Dengan hanya mengenakan popok dan pelindung mata, bayi Zavia dimasukkan ke dalam inkubator yang diterangi dengan sinar khusus yang berwarna biru kehijauan untuk menjalani fototerapi atau terapi sinar.

"Silakan pulang saja, Bu. Besok ke sini lagi sekalian mengantar ASI dalam botol, ya," ucap perawat satu lagi dengan ramah.

Dengan berat hati Meidina meninggalkan Ruang Penitarium. Kasihan juga Ayara dan Bimo sudah menunggunya di rumah.

Keesokan harinya, sebelum menjenguk anaknya ke rumah sakit, Meidina memerah ASI-nya dengan sebuah alat pompa.

"Hah, masak hanya dapet lima puluh mili saja, Bu?" tanya perawat kaget melihat sedikitnya ASI yang dibawa Meidina.

"Iya, Sus, ASI saya hanya keluar sedikit." Dari anak pertama ASI yang keluar memang sedikit bila dipompa.

"Nanti bisa dibantu susu formula, Bu. ASI Ibu tidak mencukupi untuk bayi."

"Baik, Sus," jawab Meidina sambil menyusui bayinya. Meskipun ASI yang keluar hanya sedikit saja, tetap ia akan berikan.

Setelah empat hari dirawat di ruangan Penitarium, bayi Zavia sudah diperbolehkan pulang.

"Setiap dua jam kasih ASI ya, Bu! Kalo bayinya malas bangun, sentil-sentil aja telapak kakinya sampai nangis nggak papa," pesan Pak Dokter anak berparas tampan.

"Baik, Dok," jawab Meidina singkat.

"Satu lagi, jangan lupa dijemur. Dua puluh menitanlah cukup," imbuh Pak Dokter muda, berkulit putih dan bermata sipit, mirip oppa-oppa Korea.

Meidina lega, akhirnya sang bayi bisa kembali lagi dalam dekapannya.

***

"Aya, Bimo, jangan berisik! Dedeknya lagi tidur!" teriak Meidina saat kedua anaknya bertengkar, sementara bayi Zavia tidur.

Meidina tengah melipat popok kain, baju bayi, dan kain bedong. Ia memilih menggunakan popok kain dibandingkan diapers sekali pakai. Di samping ramah di kantong juga ramah lingkungan. Daripada buat beli diapers sekali pakai, uangnya bisa buat beli beras, pikirnya.

"Bun, Ayah kok nggak pulang-pulang? Bimo kangen pengen ketemu Ayah."

Bimo, bocah berusia lima tahun itu tidak paham bahwa ayahnya sudah meninggal.

"Ayah nggak akan pulang, Bim. Ayah sudah meninggal. Dikubur di tanah." Ayara mencoba menjelaskan kepada adiknya.

"Kasihan Ayah, Kak Aya. Pasti Ayah kesepian sendirian tidur di dalam tanah," ucap Bimo dengan mata berkaca-kaca.

"Besok kita tengokin makam Ayah. Kalian bisa doakan Ayah, ya," ucap Meidina sambil mengusap kepala kedua buah hatinya dengan dada sesak menahan kesedihan dan kerinduan. Sepeninggal suaminya hidupnya terasa hampa.

Karena ASI yang keluar hanya sedikit, bayi Zavia harus dibantu minum susu formula setiap hari.

Susu Zavia tinggal sedikit. Sepertinya tidak cukup sampai malam. Meidina

sudah tidak mempunyai uang lagi. Betapa nelangsa hidupnya lantaran tidak bisa membelikan susu untuk buah hatinya.

Meidina bingung hendak ke mana meminjam uang. Pinjam uang kepada kakak iparnya sering dinyinyirin dan diremehkan. Bahkan almarhum suaminya saja tidak pernah mau bila disuruh meminjam uang ke kakaknya.

Akhirnya Meidina melipir ke tetangga sebelah kontrakannya.

"Maaf Din, uangku tinggal lima puluh ribu. Ini aku kasih dua puluh ya. Nggak usah dibalikin," ucap Wangi sambil mengangsurkan selembar uang berwarna hijau.

Suami Wangi yang bekerja sebagai kuli bangunan baru gajian besok.

"Nggak papa, Mbak. Terima kasih."

Meidina sedikit kecewa. Uang pinjaman dari Wangi tidak cukup untuk membeli sekardus kecil susu formula. Ia sudah terpikirkan untuk membelikan susu kental manis saja yang harganya lebih murah. Meski kata orang tidak boleh diberikan untuk bayi. Meidina tidak punya pilihan lain.

"Kamu yang sabar ya, Din. Saat ini Allah sedang mengujimu dengan kekurangan harta dan kehilangan orang yang kamu cintai. Jadikanlah sholat dan sabar sebagai penolongmu."

Wangi memberikan sedikit tausiah untuk menguatkan dan menenangkan Meidina yang tampak bersedih dengan sorot mata tak bersemangat.

Meski Wangi sendiri juga merasakan hatinya resah karena lebih dari sepuluh tahun menikah belum dikaruniai seorang anak. Akan tetapi, ia pandai menyembunyikannya dengan wajah cerianya di depan semua orang. Ketiga anak dari Meidina sedikit bisa mengobati kerinduan akan hadirnya buah hati.

"Karena kamu masih nifas, coba kamu banyakin baca istighfar ya, Din! Dengan banyak beristighfar, insyaAllah akan membukakan perisai yang menjadi penghalang bagi rezeki keluargamu," nasihat Wangi. Meidina pun pulang ke rumahnya. Sambil menggendong bayinya ia terus melafazkan istighfar.

Tok ... tok ... tok!

Saat masih beristighfar, terdengar pintu diketuk dari luar cukup keras, diikuti suara orang berbincang-bincang. Dengan masih menggendong bayinya, Meidina membukakan pintu.

"Eh, Pak RT dan ibu-ibu semua, mari silakan masuk!"

Meidina dengan ramah menyambut para tetangganya yang berkunjung. Ia melebarkan pintu, mempersilakan tamu-tamunya masuk. Ruang tamu kontrakannya yang sempit itu jadi penuh.

"Gimana bayinya, Din?" tanya seorang perempuan berjilbab lebar, yang tak lain adalah istrinya Pak RT.

"Alhamdulilah Bu RT, berkat doa Bapak dan Ibu sekalian, bayi saya sudah sehat sekarang," jawab Meidina sedikit canggung.

Setelah mengobrol banyak hal dan berbasa-basi, rombongan Pak RT akhirnya pamit pulang.

"Ini ada sedikit sumbangan dari warga. Mohon diterima ya, Din," ucap Bu RT sambil menyelipkan sebuah amplop putih di genggaman tangan Meidina sebelum pulang.

"Terima kasih, Bu RT dan ibu-ibu semua. Semoga Allah membalas dengan kebaikan berlipat. Aamiin," ucap Meidina dengan mata mengembun karena terharu dengan kebaikan para tetangganya.

Setelah rombongan Pak RT itu pergi, Meidina buru-buru menutup pintu. Bayinya yang tampak tertidur pulas dalam gendongannya, pelan-pelan dipindahkan ke kasur.

Setelah itu bayinya ditutup dengan tudung kelambu supaya tidak digigit nyamuk Aedes Aegypti yang berbahaya bisa menyebabkan penyakit demam berdarah. Jangan sampai Zavia dirawat lagi di rumah sakit gegara demam berdarah, Meidina membatin.

Dengan rasa penasaran, Meidina membuka amplop yang diberikan Bu RT. Ternyata berisi uang sejumlah 425 ribu. Perempuan muda itu lantas sujud syukur. Betapa sangat mudah bagi Allah memberikan rezeki dari arah yang tidak di sangka-sangka.

Meidina jadi malu, sebelumnya sempat berkeluh kesah dan kurang bersyukur dengan nikmat Allah.

Meidina memandangi wajah putri bungsunya yang terlelap. Menatap wajah Zavia yang sangat mirip dengan ayahnya, sedikit bisa mengobati kerinduannya akan sosok almarhum suaminya.

"Mas, tunggu aku di surga," lirih Meidina. Ia tak sanggup membendung air mata yang terus membanjiri pipinya. Setelah kepergian Firman, separuh jiwanya juga terbawa pergi.

Uang sumbangan dari warga satu RT itu cukup untuk membeli dua kardus susu dan biaya makan mereka selama seminggu.

"Alhamdulilah, Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya sendirian. Setiap kesulitan pasti akan datang kemudahan. Yang terpenting apa pun kondisimu, tetaplah untuk selalu bersyukur," ucap Wangi ikut senang Meidina mendapatkan santunan dari warga.

***

Sementara itu, di rumah sakit Bu Maharani duduk di kursi menunggui putranya yang masih koma.

Radeva Adyatama, putranya yang berusia 30 tahun terbaring koma di ruang ICU dengan banyak selang melilit tubuhnya. Putra kesayangannya itu kritis setelah mengalami kecelakaan tunggal menabrak pembatas jalan.

Sebelum hilang kendali menabrak pembatas jalan, ia sempat menabrak pengendara sepeda motor yang hendak menyeberang hingga tewas. Pengendara sepeda motor itu adalah Firman, suaminya Meidina.

Radeva mengalami pendarahan di bagian otak hingga membuat gegar otak dan juga mengalami patah tulang di beberapa bagian tubuhnya. Kondisinya kritis. Kata dokter hanya keajaiban yang membuatnya bangun dari koma.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status