Share

Bayi Telantar di Rumah Sakit
Bayi Telantar di Rumah Sakit
Author: EstrianaTamsir

Bab 1 Ditolak Rumah Sakit

Bab 1 Ditolak Rumah Sakit

"Bu, ini sepertinya bayinya kuning. Lihat ini kulit dan matanya tampak kuning. Apa Ibu jarang menyusuinya?" tanya seorang Bidan di sebuah klinik bersalin usai memeriksa tubuh seorang bayi.

Meidina, sang Ibu bayi tampak syok. "Betul, Bu Bidan. Bayi saya tidur terus jadi jarang menyusu," sahutnya membenarkan.

Mata perempuan muda berusia 28 tahun itu mengembun. Ia mengigit bibirnya berusaha menahan kesedihan saat mengetahui kondisi bayinya yang baru berusia empat hari ternyata tidak baik-baik saja.

"Bayinya kurang minum ini, jadi kuning. Kalo bayinya tidur terus jangan dibiarin saja, Bu. Harus dibangunin untuk menyusu. Saya beri pengantar untuk memeriksakan kadar bilirubinnya di laboratorium ya, Bu!"

"Baik, Bu Bidan."

Meidina hanya bisa mengangguk pasrah, lalu meraih tubuh bayi mungil itu, menggendongnya dengan kain jarik.

Kelopak matanya memanas saat kembali teringat akan mendiang suaminya yang baru meninggal sebulan yang lalu karena kecelakaan lalu lintas. Suaminya itu ditabrak pengendara sepeda motor yang sedang mabuk saat hendak berangkat bekerja.

Kini Meidina harus membesarkan ketiga buah hatinya sendirian. Tidak ada lagi tempat bersandar baginya di saat fisik dan psikisnya lelah. Tidak ada lagi orang yang menguatkan dan menenangkan dirinya saat gelisah dan khawatir seperti saat ini saat memikirkan keadaan bayinya yang tidak baik-baik saja.

"Jangan lupa hasil tesnya dibawa ke sini lagi. Kalau memerlukan perawatan lanjutan, nanti akan saya buatkan surat pengantar ke rumah sakit." Bidan itu mengangsurkan secarik kertas kepada Meidina.

Dengan langkah gontai Meidina  keluar dari sebuah klinik bersalin. Saat sudah tiba di pinggir jalan raya, perempuan muda dengan bayi dalam gendongannya itu memberhentikan sebuah angkot warna biru muda yang melintas.

Dengan sedikit kepayahan, Meidina berusaha naik ke dalam angkot sambil menggendong bayinya dan menenteng sebuah tas yang berisi perlengkapan bayi. Bekas jahitan di jalan lahirnya masih terasa ngilu untuk duduk dan berjalan. Andai suaminya masih hidup tentu bisa mengantarkan periksa ke bidan.

Meidina menatap nanar wajah bayinya yang berwarna kuning dengan perasaan hancur. Ia begitu cemas dengan kondisi bayinya saat ini. Kehilangan suami sebulan yang lalu saja sudah menjadi pukulan berat baginya. Nyaris merenggut semangat hidupnya.

Matanya berkaca-kaca. Perempuan berstatus janda itu mendongak, susah payah menahan supaya air mata yang mengenang di pelupuk matanya agar tidak terjatuh.

Setibanya di laboratorium, bayi mungil itu langsung ditusuk jarum suntik di lengan kirinya untuk diambil darahnya guna dicek kadar bilirubinnya. Meidina menunggu hasil tes sang buah hati dengan perasaan cemas dan khawatir.

Meidina meneliti  kondisi bayinya yang tengah tertidur dalam gendongannya. Bayinya tadi hanya menangis sebentar saat ditusuk jarum. Kini bayi itu tampak makin lemah tak berdaya.

Meidina terus berdoa semoga hasil pemeriksaan laboratorium baik-baik saja, bayinya tidak perlu mendapatkan perawatan di rumah sakit.

Meidina baru teringat kedua buah hatinya yang dititipkan di rumah tetangga sebelah kontrakannya. Ayara yang berusia delapan tahun dan Bimo lima tahun. Keduanya pasti sudah menunggu kepulangannya.

"Orang tua dari Zavia."

Terdengar sebuah panggilan dari meja administrasi. Meidina segera bangun dari tempat duduknya, tergopoh-gopoh menuju ke tempat administrasi dengan jantung berdegup kencang, tak sabar ingin mengetahui hasil tesnya.

Setelah hampir satu jam menunggu, akhirnya hasil tes darah sang bayi keluar juga. Ternyata kadar bilirubin bayi Zavia 18 mg/dL. Angka ini tergolong tinggi sehingga  memerlukan perawatan di rumah sakit untuk menurunkan kadar bilirubinnya.

Itu artinya bayinya harus dirawat di rumah sakit. Meidina kembali naik angkot menuju klinik tempat Zavia dilahirkan untuk meminta surat jalan dari Bidan.

Setelah membawa surat jalan dari Bidan, Medina kembali naik angkot menuju ke sebuah rumah sakit pemerintah. Angkot bergerak membelah jalanan yang ramai lalu lintasnya saat menjelang jam pulang kerja. Langit telah berubah menjadi gelap.

"Sus, tolong anak saya," jerit Meidina sambil menyerahkan surat jalan dari Bidan.

"Silakan bayar deposit dulu, Bu," jawab seorang perawat bertubuh tambun dengan ketus.

"Maaf, Sus, tolong rawat bayi saya dulu. Kasihan, bayi saya sudah lemah ini. Saya takut bayi saya kenapa-kenapa. Saya saat ini belum membawa uang." Meidina memohon-mohon kepada perawat bertampang judes agar bayinya segera ditangani. Medina melirik bayi yang terkulai makin lemah dalam gendongannya.

"Tidak bisa, Bu! Silakan ke ruang administrasi dulu," tolak perawat itu tegas, tetap pada keputusannya.

Meidina melangkah menuju ruang administrasi.

"Ada kartu BPJS, Bu?"

"Nggak ada, Mbak."

"Bayar dulu depositnya tiga juta."

"Maaf, Mbak, saat ini saya tidak membawa uang."

Uang yang tersisa di dompet Meidina tinggal puluhan ribu saja. Seminggu yang lalu ia baru menjual cincin kawinnya untuk biaya persalinannya di bidan. Sisanya tadi sudah untuk membayar biaya pemeriksaan di bidan dan biaya tes di laboratorium.

"Kami tidak bisa menangani, sebelum Ibu membayar deposit sebesar tiga juta rupiah."

"Tolong, rawat bayi saya dulu. Besok saya akan membayar," mohon Medina dengan wajah memelas.

"Tetap saja tidak bisa. Orang miskin kayak kalian suka nggak tahu diri. Setelah di tolong malah kabur tidak mau membayar."

Deg! Medina terkejut. Ucapan petugas administrasi itu membuat hatinya sakit, terasa nyeri. Kenapa rumah sakit  ini begitu teganya menelantarkan pasien yang tidak bisa membayar biaya rumah sakit.

"Tolong, Mbak, tangani anak saya dulu. Anak saya makin lemes ini." Meidina mencoba  memohon sekali lagi, meski hatinya sakit diperlakukan rendah oleh petugas administrasi. Demi bayinya, Meidina rela mengemis dan merendahkan dirinya.

"Ya sudah, bayar dulu setengahnya, baru anak Ibu kami layani."

Tanpa menjawab, Medina meninggalkan ruang administrasi dengan raut wajah kecewa. Meidina duduk lunglai di sebuah bangku panjang. Ia menyeka sudut matanya yang terus mengucurkan air mata dengan ujung kain jarik yang digunakan untuk menggendong bayinya. Ia frustrasi, bingung hendak ke mana mencari pinjaman uang.

Peraturan di rumah sakit memang sering kaku dan saklek. Mereka tidak mau menangani pasien miskin dan menolaknya karena takut setelah sembuh pasien kabur begitu saja tanpa mau melunasi biaya perawatan.

Mungkin petugas itu hanya melaksanakan perintah atasan dan apa yang tertulis pada peraturan. Tetapi kenapa mereka sering kali tidak memakai hati nuraninya saat tega menolak pasien miskin.

Meidina terisak pilu sambil memeluk erat-erat bayi dalam gendongannya. Kemiskinan membuatnya terlantar di rumah sakit dengan dihantui perasaan cemas akan kondisi sang bayinya yang bisa saja kritis karena tertunda mendapatkan perawatan.

Mau tidak mau, Meidina harus mencari pinjaman uang. Setelah tenang, Meidina mencoba menelpon ibu mertuanya. Meski ia ragu ibu dari almarhum suaminya mau membantu.

"Bu, boleh saya pinjem uang untuk biaya perawatan cucu Ibu di rumah sakit," ucap Meidina takut-takut ketika telepon tersambung.

"Nggak ada!" jawab Ibu mertuanya ketus.

"Uang damai dari keluarga yang menabrak Mas Firman bukannya cukup besar ya, Bu?"

Semua ibu mertuanya yang urus. Tidak sepeser pun Meidina mendapat uang duka cita dan uang damai dari meninggalnya suaminya.

"Dah habis untuk biaya selamatan suamimu!" Ibu mertuanya menjawab ketus langsung menutup telepon.

Sudah sering Meidina dibuat sakit hati oleh ibu mertuanya. Sejak ia melahirkan Zavia, ibu mertuanya juga belum juga menjenguk cucunya. Padahal kontrakannya tidak begitu jauh dari rumah ibu mertuanya.

Meidina lalu menghubungi kakak iparnya, Tika, kakak pertama suaminya.

"Kenapa, Din? Aku sekeluarga lagi nginep di Bandung." Belum sempat mengutarakan maksudnya, kakak iparnya itu sudah menutup telpon.

Meidina menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan, mencoba bersabar dengan perlakuan buruk ibu mertua dan kakak iparnya yang sering meremehkan dirinya.

Tidak putus asa Meidina mencoba menelpon kakak ipar keduanya, Dewi.

"Utang terus ngga malu kamu, Din? Utangmu yang dulu aja belum dibayar!" tolak Dewi langsung menutup telepon.

Hingga detik ini, Meidina tidak habis pikir ibu mertua dan kedua kakak iparnya tidak pernah menyukai suaminya.

Meidina hanya bisa menangisi bayinya yang malang. Ia bingung ke mana lagi hendak mencari pinjaman uang.

Terpikir mau meminjam tetangga sebelah kontrakannya yang sering membantunya, Wangi. Namun, ia ragu tetangganya itu memiliki simpanan uang. Apalagi ini sudah akhir bulan, tanggal tua.

"Kenapa bayinya, Mbak?"

Meidina terkesiap saat bahunya ditepuk pelan oleh seseorang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status