Share

Bab 4 Tegar di Tengah Badai

Bab 4 Tegar di Tengah Badai

Hari ini Meidina terpikirkan untuk memulung saja. Pekerjaan yang tidak membutuhkan modal uang, hanya tenaga saja. Almarhum suaminya dulu, sering memulung jika sedang tidak ada pekerjaan di proyek. Meidina juga sudah kenal dengan juragan pengepul barang bekas. Dulu ia pun pernah ikut suaminya memulung.

Berbekal karung dan besi pengait, Meidina menggendong bayinya dan menggandeng Bimo. Sementara Ayara berjalan sendiri. Hari Minggu, Ayara libur sekolah. Sementara Bimo tidak melanjutkan sekolahnya di TK karena terkendala biaya.

Meidina mengajari Bimo baca tulis sendiri. Tahun depan putra keduanya baru akan di masukkan SD negeri tempat Ayara bersekolah.

Meidina tidak tega meninggalkan anaknya di rumah. Jadi, ia memulung dengan membawa ketiga anaknya.

Di sepanjang jalan yang dilalui, Meidina merasa orang-orang yang ditemuinya di jalan melihatnya dengan tatapan iba.

Meidina merasa risih dan mencoba cuek tidak memedulikan pandangan orang di sekitarnya. Dengan semangat ia memunguti gelas, botol dan kardus yang sudah di buang di pinggir jalan dan juga mengorek tong sampah.

Tak ia pedulikan lagi aroma busuk menyengat yang menguar dari  tempat sampah yang dikoreknya. Meidina tetap fokus mengais-ngais sampah berharap menemukan sesuatu yang bisa diambil dan dijual.

Demi menafkahi anaknya, ia singkirkan perasaan jorok, jijik, dan malu. Perut anaknya yang harus diisi menjadi prioritas utama dalam hidupnya. Rasa gengsi dan malu sudah dibuangnya jauh-jauh. Yang penting ia bisa mendapatkan rezeki secara halal.

Masih pukul sepuluh kurang lima belas menit, tetapi matahari sudah terasa panas menyengat kulit. Zavia menangis. Sepertinya bayinya itu kehausan dan kepanasan.

Meidina memutuskan untuk beristirahat sebentar di bawah pohon besar yang rindang untuk menyusui bayinya. Meski ASI yang keluar hanya sedikit, Meidina tetap menyusui anaknya. Beruntungnya bayinya perempuan, menyusunya tidak sekuat bayi laki-laki.

Sementara Ayara dan Bimo dengan cepat menghabiskan bekal air minum yang dibawa dari rumah. Meidina menatap prihatin wajah kedua buah hatinya yang berpeluh. Mungkin juga kaki kecil anaknya pegal, tetapi mereka tidak mengeluh.

Tenggorakannya terasa kering, tetapi air minum di botol sudah dihabiskan kedua anaknya. Meidina menghela napas mencoba bersabar. Mungkin nanti bila melewati masjid ia akan meminum air dari kran saja sebagai pelepas dahaganya.

Sambil menyusui bayinya, untuk menghibur dirinya yang nelangsa, Meidina sering membandingkan betapa ujian hidupnya ini masih belum seberapa beratnya dibandingkan dengan ujian istri kedua Nabi Ibrahim yaitu Siti Hajar.

Tetangga sebelah kontrakannya, Mbak Wangi pernah menceritakan kisah Siti Hajar kepadanya dengan maksud supaya Meidina meneladani kesabaran dan ketegaran Siti Hajar.

Siti Hajar dan bayinya Ismail ditinggalkan begitu saja di gurun pasir yang tandus dan gersang. Tanpa adanya air, tanpa adanya pepohonan, dan juga tanpa adanya tanda-tanda kehidupan.

Saat bayinya menangis, Siti Hajar tanpa mengenal lelah bolak-balik berlari di antara Bukit Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali untuk mencari seteguk air demi buah hatinya yang kehausan. Bagaimanapun seorang Ibu akan berjuang demi anaknya tanpa mengenal lelah dan putus asa.

Perjuangan Siti Hajar berlari di antara kedua bukit Shafa dan Marwah bolak balik itu menjadi rukun haji yang disebut Sa'i.

Siti Hajar berkeyakinan Allah pasti tidak akan membiarkannya. Allah selalu menolong hambanya yang sedang dilanda kesusahan. Allah menunjukkan kuasa-Nya. Sebuah mukjizat, dari jejak hentakan kaki bayi Ismail keluar mata air yang deras yang dikenal orang sebagai air Zam-zam.

Belajar dari kisah Siti Hajar. Meidina ingin meneladani kesabaran dan ketegaran dari wanita sholehah itu.

Meidina hanya bisa berupaya semampunya dan sebisanya. Seperti memulung saat ini. Ikhtiar yang sudah diupayakan diakhiri tawakal dan kepasrahan serta doa. Ia tak tahu lewat jalan darimana Allah akan memberikan rezekinya. Itu sepenuhnya menjadi rahasia Ilahi.

Yang Meidina yakini, Allah tidak akan membiarkan hamba-nya sendirian, kesepian, dan kelaparan. Dia telah menjamin rezeki setiap makhluk yang berada di muka bumi.

"Ini ada sedikit uang buat beli es anaknya."

Meidina tersentak kaget saat seorang perempuan tua menghampirinya dan tiba-tiba saja mengangsurkan selembar uang berwarna biru. Meidina terdiam, berpikir berusaha mencerna. Apa mungkin ia dikira pengemis, pikirnya overthinking.

"Maaf, Bu, saya tidak bisa menerimanya. Saya bukan peminta-minta. Saya insyaAllah masih sanggup untuk memberi makan anak saya dengan bekerja," tolaknya dengan sopan.

Perasaan Meidina merasa campur aduk. Ia merasa tidak nyaman dengan tatapan iba dari Nenek itu.

Tampak gurat kecewa di wajah perempuan renta itu. Niat baiknya untuk bersedekah justru ditolak.

Meidina merasa tidak enak hati kepada sang Nenek. Namun, ia juga tidak bisa menerimanya. Ia bukan peminta-minta. Ia masih sanggup untuk bekerja. Ia tidak ingin hidup dari berharap belas kasih dari orang.

Allah melaknat orang yang meminta-minta. Di akhirat kelak seorang peminta-minta akan datang menghadap Allah tanpa memiliki muka.

Nenek itu menatap iba pada Meidina dan ketiga anaknya dengan mata berkaca-kaca. Mungkin ia merasa kasihan melihat seorang pemulung membawa tiga anaknya yang masih kecil-kecil. Terlihat sekali bila hidup Meidina tampak susah dan menyedihkan. Meski keadaannya terlihat mengenaskan, Meidina tidak mau dikasihani.

"Bunda, Aya dikasih ini sama Nenek itu!" Ayara menunjukkan selembar uang biru dan seorang Nenek yang berjalan menjauh.

Perempuan tua itu tak kehilangan akal. Sebelum pergi ia memberikan uang itu kepada Ayara dan segera pergi begitu saja tanpa menoleh lagi.

Meidina menitikkan air mata antara rasa malu dan rasa haru. "Ya Allah, inikah rezeki dari-Mu melalui perantara seorang Nenek?" lirihnya.

"Uangnya boleh buat jajan, Bun?" Bimo memandang Meidina dengan tatapan memohon.

"Boleh."

Ayara dan Bimo berjingkrak-jingkrak kegirangan. Sudah lama keduanya tidak pernah jajan di warung.

Setelah cukup beristirahat Meidina melanjutkan memulung lagi hingga tengah hari. Kasihan anaknya pasti juga lelah. Sebelum pulang ke rumah Meidina menjual hasil mulungnya ke lapak pengepul.

"Ini uang hasil mulungmu, Din!"

"Terima kasih, Bang," sahut Meidina sambil menerima uang sebesar lima belas ribu rupiah dan segera memasukkannya ke dalam saku bajunya yang lusuh.

"Kasihan anak-anakmu kalo setiap hari diajak mulung, Dina. Lebih baik kau jadi istri kedua Abang saja. Nggak usah capek kerja."

Bang Jae, juragan pengepul barang rongsokan berusaha menggodanya. Meidina merasa malu dan jengah.

"Terima kasih tawarannya, Bang. Tapi saya tidak berniat menikah lagi. Permisi," jawab Meidina sebelum pergi meninggalkan lapak pemulung dengan hati pedih merasa dilecehkan karena seorang janda.

Meskipun masih muda, Meidina tak ingin menikah lagi. Ia ingin setia kepada mendiang suaminya.

Meidina menyadari, pekerjaan memulung dengan membawa tiga anak balita, kurang sesuai untuknya. Ia merasa tidak tega, kasihan melihat anaknya capek berjalan dan kepanasan.

Meidina terpikir ingin mengambil pekerjaan sebagai ART paruh waktu yang sore bisa pulang ke rumah. Namun, ia bingung siapa yang akan menjaga anak-anaknya. Bekerja dengan membawa tiga anak, mana ada majikan yang mengizinkan. Bisa-bisa kerjaannya tidak selesai keseringan mengurus anak sendiri.

Tok! Tok! Tok!!!

Terdengar suara pintu diketuk. Meidina segera menyambar jilbab bergo yang tersampir di belakang pintu sebelum membuka pintu.

"Ada apa, Engkong Haji?" tanyanya kepada lelaki renta yang berdiri di depan pintu kontrakannya.

"Sudah dua bulan lo belum bayar kontrakan rumah."

"Mohon maaf, Engkong. Saya belum ada uang untuk membayarnya. Tolong beri saya waktu."

"Baiklah ... Jika dalam waktu satu minggu lo belum bayar, silakan angkat kaki dari rumah ini! Kecuali ...."

"Kecuali apa, Engkong?" tanya Meidina antusias.

"Lo mau menjadi isteri ketiga. Gue jamin hidup lo bakalan enak. Gue punya banyak kontrakan dan tanah."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status