Share

Bab 3 Kelaparan

Bab 3 Kelaparan

Meidina lelah. Sepanjang malam bayinya yang baru berusia dua bulan itu rewel terus. Baby Zavia demam. Semalaman ia menggendong putri bungsunya itu hingga menjelang waktu Subuh.

Di samping letih, Meidina juga kelaparan. Dari kemarin perutnya belum diisi makanan. Terakhir sarapan hanya dengan mie instan saja. Sekadar ingin membuat teh manis sebagai pengganjal perut saja, gulanya habis pula.

Meidina bingung. Entah hari ini anak-anaknya masih bisa makan. Sementara isi dompetnya benar-benar kosong. Bahkan uang recehan koin saja tidak ada.

Sayup-sayup terdengar azan Subuh berkumandang dari kejauhan. Meskipun kepalanya terasa berat dan pusing akibat kurang tidur, Meidina memaksakan dirinya untuk segera bangun. Ia bangkit, berjalan sambil berpegangan pada dinding, terhuyung melangkah ke kamar mandi untuk mengambil air wudu.

Selesai melaksanakan sholat Subuh, tidak lupa Meidina berdoa. Memohon untuk diberikan kesabaran dan keluasan rezeki juga mendoakan arwah almarhum suaminya.

Meidina mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajah sebagai penutup rangkaian doanya.

Perempuan berstatus janda itu menyusut air mata dari kedua sudut matanya yang basah. Setiap selesai sholat dan berdoa batinnya tenang dan perasaannya terasa lega.

Meidina mengambil mushaf Al-Qur'an yang berada di atas lemari plastik empat susun. Belum sempat membuka lembaran firman Allah, terdengar tangisan bayi menggema di ruangan sempit kontrakan rumahnya.

Meidina meletakkan Al Qur'an kembali ke tempat semula dan melipat mukenanya dengan asal. Dengan terburu-buru ia menghampiri bayinya untuk memberinya ASI. Meski ASI-nya hanya sedikit.

Tangisan bayi itu reda seketika setelah mulutnya tersumpal dengan ASI. Sambil menyusui bayinya, Meidina memperhatikan wajah polos bayinya yang sangat mirip dengan mendiang suaminya.

"Zavia, kasihan kamu, Nak! Kamu belum pernah melihat dan merasakan sentuhan kasih sayang dari ayahmu," bisiknya lirih dengan air mata berderai.

Setiap mengingat Firman, air matanya pasti luruh tanpa bisa ditahannya. Meski sudah tiga bulan berlalu, setiap mengingat suaminya, dadanya masih terasa sesak karena separuh napasnya pergi, meninggalkan ruang hampa di sudut hatinya.

Betapa malangnya nasib bayi Zavia. Ayahnya meninggal saat ia masih berada dalam kandungan. Terbayang kembali saat ia bertaruh nyawa sendirian dalam melahirkan Zavia tanpa di dampingi siapa pun dua bulan yang lalu. Ibu mertua dan saudara iparnya bahkan tidak ada yang datang menengok bayinya.

Kadang Meidina berpikir apa mungkin almarhum suaminya bukan anak kandung ibu mertuanya. Perlakuan keluarga suaminya sering membuatnya sakit hati. Firman seperti anak yang tidak dianggap. Kedua kakak perempuannya di sekolahkan hingga sarjana. Sementara Firman sebagai anak bungsu hanya lulusan SMA.

Pandangan mata Meidina beralih pada dua anaknya yang lain yang tengah tertidur pulas hanya dengan beralaskan kasur busa tipis. Ayara, si sulung yang kini berusia 8 tahun dan duduk kelas dua SD dan adiknya, Bimo yang berusia 5 tahun yang harusnya bersekolah TK. Namun, setelah suaminya meninggal, Bimo keluar dari TK karena Meidina tidak sanggup lagi membayar SPP dan biaya lainnya.

Ketiga buah hatinya harus menjadi anak yatim dalam usia sekecil itu.

Tiga purnama Firman berpulang menghadap Sang Pencipta. Namun, hingga saat ini Medina masih belum bisa benar-benar mengikhlaskan kepergiaan suaminya. Rasa kehilangan, kesedihan yang mendalam dan kesepian. Itu yang masih dirasakannya hingga saat ini.

Betapa saat ini ia sangat merindukan sosok suaminya. Rasanya ia tidak sanggup menahan beban hidup ini sendirian. Menjadi single parent bagi ketiga anaknya juga menghadapi stereotip negatif terkait status janda yang disandangnya kini.

Demi anak-anak, Meidina berusaha bangkit dari keterpurukan. Ia harus kuat dan tangguh. Ia tidak boleh cengeng. Anak-anaknya masih sangat tergantung padanya.

Meidina percaya dengan janji Allah  bahwa  setelah kesulitan akan ada kemudahan. Itu sangat ia yakini kebenarannya. Tanpa ada keraguan sedikit pun.

Nasib orang tiada yang tahu. Disaat usianya baru mau menginjak 28 tahun, Meidina sudah menyandang status janda. Status yang sering dianggap miring.

Keluarga si penabrak suaminya bertanggung jawab dengan memberikan uang damai sebesar seratus juta. Andai saja ibu mertuanya memberikan sedikit saja untuknya, mungkin saat ini Meidina masih memiliki simpanan uang untuk bertahan hidup.

"Astagfirullah hal adzim," ucapnya lirih. Keadaan yang sulit terkadang membuat Meidina masih sering mengeluh dan berandai-andai. Kadang ia lupa untuk bersyukur.

"Bunda ... laper!" Rengekan Bimo menyadarkannya dari lamunan.

Semalam Ayara dan Bimo tidak makan nasi. Siangnya tetangga sebelah kontrakan memberikan semangkok bubur kacang hijau untuk mereka. Pantas saja ketika terbangun di pagi hari perut anaknya terasa lapar. Ia sama sekali sudah tidak mempunyai uang untuk membeli bahan makanan.

"Ya, Allah apa yang harus aku lakukan sekarang?" rintihnya pilu.

Meidina mulai berpikir untuk mencari jalan keluar. Solusi yang pertama kali melintas di benaknya adalah ia akan meminjam uang kepada tetangga sebelah kontrakan. Namun, ia merasa malu terlalu sering meminjam uang kepada Mbak Wangi. Tetangganya itu juga sudah terlalu sering membantunya.

Mau meminjam ke ibu mertua dan saudara iparnya yang mampu, rasanya tak mungkin. Saat almarhum suaminya masih hidup saja, suaminya tidak pernah mau meminjam uang kepada keluarganya sendiri. Meidina yakin suaminya pasti tidak suka andai ia mengemis meminjam kepada saudara iparnya.

Solusi kedua, berhutang ke warung. Di mana ada peraturan tidak tertulis, warung baru buka biasanya tidak mau memberikan utangan. Itu pamali, seperti mitos yang berkembang. Pemilik warung bisa dipastikan tidak akan mau memberikan utangan takut mendapatkan kesialan sepanjang hari

Pembeli pertama adalah pembuka rezeki, sebagai penglaris. Bila pembeli pertama saja sudah berutang, dikhawatirkan sepanjang hari akan banyak pembeli yang datang berutang.

Bila hendak berutang harus ke warung agak siang. Itu pun bila pemilik warung masih mau memberikan utangan. Mengingat utangnya di warung sudah menumpuk.

"Bun, laper mau makan!" Bimo terus-terusan merengek minta makan, membuat batin Medina terasa pedih.

"Sabar, ya, Sayang! Bobok lagi aja, Bim. Di luar rumah juga masih gelap, kok." Meidina berusaha menenangkan putra keduanya, menyuruhnya kembali tidur.

Solusi ketiga, menjual barang. Barang apa yang bisa dijual di kontrakan itu? Perhiasan pun ia tak punya. Satu-satunya perhiasan adalah cincin kawin yang sudah ia jual untuk biaya melahirkan Zavia di bidan dua bulan yang lalu.

Tak ada televisi di rumahnya. Ponselnya pun jadul dan murahan. Tidak ada yang bisa dijual. Ponsel yang di miliki suaminya hilang saat kecelakaan. Ia tak habis pikir ada orang tega mengambil barang berharga milik orang yang telah meninggal.

Tiba-tiba pandangan matanya tertuju pada tumpukan buku tulis bekas dan buku paket tema bekas milik Ayara yang teronggok di sudut ruangan.

Zavia tidur kembali setelah menyusu. Sementara Ayara juga masih tertidur pulas. Meidina bergegas melangkahkan kaki ke warung sayur di ujung jalan, dengan tangan kanan menenteng kantong kresek berisi tumpukan buku bekas. Sementara tangan kiri menggandeng tangan Bimo.

Buku bekas itu biasa untuk membungkus cabai dan bawang. Medina bersyukur buku bekasnya dihargai sepuluh ribu rupiah. Cukup untuk membeli setengah liter beras dan sepotong tempe.

"Alhamdulillah, terima kasih, Ya, Allah untuk rezeki hari ini." Meidina bersyukur hari ini anaknya masih bisa makan.

Selama seminggu kemarin Meidina rutin menitipkan gorengan di warung. Ada bakwan, tempe goreng, pisang goreng, dan ubi goreng. Namun, dagangannya kurang laku hingga modal untuk berjualan pun tergerus habis.

Hari ini Meidina terpikirkan untuk memulung saja, yang tidak membutuhkan modal uang. Almarhum suaminya dulu, sering memulung jika sedang tidak ada pekerjaan di proyek. Ia sudah kenal dengan juragan pengepul barang bekas.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status